Musim
Pancaroba Politik
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 23 Desember
2016
Iklim politik nasional di penghujung 2016
ibarat musim pancaroba. Kondisi politik kerap berubah cepat seiring dengan
suhu yang memanas diiringi relasi antagonistis yang mengemuka tak hanya di
level elite, melainkan juga di kalangan warga biasa.
Musim pancaroba butuh daya tahan karena
perubahan menuntut kondisi prima untuk mengatasi masalah bersama-sama. Sejak
September hingga sekarang suhu politik kita terus eskalatif dan diprediksi
akan mengalami titik kulminasi awal 2017. Penting bagi kita untuk membuat
refleksi dari apa yang terjadi sepanjang tahun ini dan membuat proyeksi
politik untuk tahun depan.
Ujian Kekitaan
Semester pertama 2016 situasi politik sudah
berada di zona nyaman. Pemerintahan Jokowi memanen banyak dukungan politik,
terutama di DPR. Beberapa partai yang sebelumnya berbeda kongsi dengan
pemerintah pindah haluan. Beberapa pihak menyebut fase ini sebagai titik
keseimbangan politik Jokowi. Di saat bersamaan, menjadi fase menentukan dalam
ujian keberbedaan kepemimpinan Jokowi.
Koalisi besar partai politik penyokong
pemerintahan bermakna semakin besar pula beban kepentingan yang harus
diakomodasi dan dinegosiasikan Jokowi. Pertanyaan mendasarnya, seberapa besar
asas kemanfaatan dari koalisi besar penyokong pemerintahan tersebut bagi
akselerasi kerja pemerintah pada tahun kedua dan ketiga yang sering disebut
sebagai tahun produktivitas. Selalu ada dilema antara bonnum commune atau
prinsip kepentingan umum dan kepentingan oligarki partai politik.
Memasuki semester kedua, saat Jokowi sedang
berupaya menjawab tantangan menuntaskan janji kampanyenya untuk bekerja,
ujian dahsyat pun tiba. Titik panasnya ada di DKI, yakni polemik ucapan
kandidat petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) soal Al-Maidah ayat 51. Bak
bola panas, pernyataan Basuki yang oleh sebagian kalangan diduga menodai
agama Islam menyulut gerakan massa lintas teritorial yang mewujud dalam
gerakan 4 November dan 2 Desember 2016.
Perang informasi ibarat air bah yang menerjang
ragam kanal komunikasi warga. Banyak yang tiba-tiba ”sakit” dan tak lagi bisa
menggunakan kewarasan nalar dan keajekan sikap yang berimbas pada klaimklaim
kebenaran sepihak. Pemerintahan Jokowi tentu harus memastikan hukum dan
keadilan tegak tanpa intervensi siapa pun dan kelompok mana pun. Ujian
kekitaan lainnya adalah kontestasi elektoral di Pilkada Serentak 2017. Contoh
paling nyata juga Pilkada DKI.
Agresivitas verbal antarpendukung membuncah di
ragam kanal terutama media sosial. Lini masa disesaki sumpah-serapah, cacian,
ujaran kebencian, rumor, gosip, fitnah yang berkelindan dengan berita palsu.
Proses produksi, reproduksi, dan konsumsi informasi banyak tercemar oleh kepentingan
politik. Dukungmendukung berubah menjadi perang informasi yang tak seluruhnya
berkeadaban.
Sebaliknya, justru menghidupkan semangat kita
dan mereka, in group dan out group tanpa berorientasi pada adu gagasan dan
program nyata secara lebih memadai. Dalam menyikapi audiens yang
terfragmentasi seperti ini, James Stanyer dalam Modern Political Communication (2008) menyarankan agar ada
rekonseptualisasi hubungan antarwarga dan beradaptasi dengan perubahan.
Hubungan antarwarga di dunia maya harus diletakkan
dalam koridornya yang tepat, mana informasi dan mana propaganda, mana yang
”sampah” dan mana yang ”nutrisi”. Adaptasi dengan perubahan terutama dalam
berbincang politik di media digital harus memastikan informasi yang diterima
verifikatif, bukan berita palsu.
Tahun Serbapolitik
Tahun 2017 akan menjadi tahun serbapolitik.
Pertama, agenda pilkada serentak yang akan
menentukan proses konsolidasi demokrasi ke depan. Pilkada digelar serentak
parsial mulai tahun 2015, 2017, 2018, 2020, 2022, 2023, 2025 sebelum akhirnya
serentak nasional pada 2027. Karena itu, pilkada awal tahun besok ini menjadi
ujian daya tahan penyelenggaraannya. Meski pada 15 Februari tahun depan
pilkada serentak digelar di 101 daerah, tetapi yang menjadi hot spot adalah
DKI, Aceh, dan Papua.
Kedua, jagat politik akan diramaikan permainan
politik di wilayah regulasi. Awal tahun akan disambut dengan pembahasan
revisi UU MD3 yang rencananya akan disahkan pada persidangan awal Januari.
Tarik-menarik kepentingan tak terelakan. Apakah pembahasan revisi terbatas
pada akomodasi PDIP di penambahan kursi pimpinan atau akan ada pertarungan
kocok ulang pimpinan DPR. UU Pemilu juga akan ramai, mengingat belum semua
fraksi bersepakat tentang beberapa hal prinsip seperti sistem yang akan
digunakan, terutama dalam menyikapi pemilu legislatif yang digelar serentak
dengan pemilu presiden. Sementara itu, KPU menuntut awal tahun depan UU
Pemilu bisa disahkan mengingat akan ada beberapa tahapan yang harus sudah
dijalankan. Misalnya soal verifikasi partai peserta pemilu dan juga pemetaan
daerah pemilihan untuk pemilu DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota.
Ketiga, akselerasi kerja pemerintahan Jokowi
di tengah padatnya agenda politik nasional.
Sebagaimana kita ketahui, jagat politik
nasional kita akan diramaikan oleh Pilkada Serentak 2017, 2018 dan Pileg
serta Pilpres 2019. Sangat biasa agenda politik ini menyebabkan tarik-
menarik kepentingan di masyarakat. Sementara publik menuntut kerja nyata
Jokowi harus optimal pada tahun ketiga hingga semester kedua tahun keempat
karena tahun kelima energi pemerintah akan lebih banyak tersedot pada
pertarungan perebutan kuasa jelang Pemilu 2019.
Dalam teori inokulasi (inoculation theory) dari William J McGuire sebagaimana dikutip
dalam tulisan Pfau, The Inoculation
Model of Resistance to Influence (1997) bisa kita analogikan seperti di
dunia medis. Orang harus diberi vaksin untuk merangsang mekanisme daya tahan
tubuhnya. Pun demikian juga dalam hal komunikasi, orang yang tak memiliki
informasi mengenai suatu hal, akan lebih mudah dipersuasi.
Agar tak mudah terpengaruh secara rapuh, harus
ada upaya ”menyuntik” warga dengan ”vaksin” argumentasi balasan (couter-arguments). Dalam konteks
inilah, literasi politik selalu dibutuhkan sebagai suntikan ”vaksin” agar
warga memiliki daya tahan dalam melampaui musim pancaroba. Warga harus lebih
berdaya dalam menyikapi setiap perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar