Tentang
Para Cendekiawan Medsos
yang
Pintar Tapi Sombong
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, untuk menemani
istri yang menempuh studi doktoralnya
|
DETIKNEWS, 27 Desember
2016
Sejak
media sosial menguasai segenap sendi kehidupan kita, rasanya kita jarang
tenang dalam menjalani hidup sebagai warga masyarakat dan warga negara. Ini
jauh berbeda dengan, katakanlah, 10 tahun silam. Masihkah untuk soal ini
diperlukan penjelasan?
Dulu,
bahkan sampai ketika bangsa manusia sudah menemukan makhluk bernama
Friendster, tak semua mulut bisa terdengar suaranya, dan tak semua jempol
bisa menggoyang dunia. Oke lah, sudah ada blog. Namun kesaktiannya masih saja
jauh di bawah media sosial di masa sekarang.
Maka
saya membayangkan, betapa pusingnya pemegang kuasa menghadapi gempuran nyaris
setiap saat di waktu ini. Ada langkah sedikit, isu ini-itu bertebaran. Muncul
di lapangan peristiwa seiprit, tudingan sana-sini muncul berentetan. Jadilah
bukan cuma orang-orang di atas saja yang tak pernah nyenyak tidurnya. Kaum
jelata pun tak beda.
Namun,
tak mengapa. Biarlah itu jadi takdir karakter wajah bumi di Zaman Kalabendu
ini. Kita sebagai masyarakat awam yang berjuang agar tetap waras, mestinya
cuma bisa berusaha agar "ngeli ning ora keli", kalau orang Jawa
mengibaratkan. Ikut arus, tapi tidak terhanyut. Karena itulah dalam segenap
keterbatasan, yang bisa kita lakukan cuma berhati-hati dan tekun menyimak
hingga tuntas setiap perkembangan. Sebab dari situlah kita bisa menemukan
banyak kesempatan untuk belajar.
Mari
ambil contoh. Baru saja ada kericuhan di medsos terkait uang baru yang
dikeluarkan Bank Indonesia. Ada sebagian pihak (ah, sebenarnya cuma itu-itu
saja sih) yang tiba-tiba menyatakan bahwa eksistensi umat Islam dipinggirkan
melalui pemilihan tokoh pahlawan yang dipajang di lembar-lembar uang
tersebut. Sontak, "tafsir kreatif" semacam itu segera disambut oleh
publik galau, misalnya dengan ungkapan-ungkapan tak pantas dan rasis yang
ditujukan kepada sosok yang terpampang di uang Rp 10.000.
Untunglah,
segera muncul beberapa orang yang dengan gamblang, pelan-pelan, dan
sederhana, menjelaskan tentang siapa itu Frans Kaisiepo, pahlawan nasional
Indonesia dari Tanah Papua. Bahwa ia menjadi wakil Papua dalam Konferensi
Malino tahun 1946 saat pembentukan Republik Indonesia Serikat, bahwa ia tokoh
yang mengusulkan nama Irian waktu itu, bahwa ia diangkat sebagai pahlawan
nasional pada era Orde Baru.
Jujur
saja, saya sendiri pun baru tahu semua itu. Kebangetan? Mungkin. Tapi ada
berapa puluh juta orang yang sama kebangetannya seperti saya? Maka saya
menghaturkan segenap penghormatan kepada siapa pun yang dengan rendah hati
mau menjelaskan dengan bahasa sederhana tentang siapa itu Frans Kaisepo.
Sungguh, hal sekecil itu sangat bermanfaat buat kami, para sudra pengetahuan
ini.
Satu
saja lah, contoh kasusnya. Anda semua tentu tahu, bahwa ada puluhan kericuhan
sejenis, dalam obrolan sehari-hari kita. Ada yang berujung happy ending seperti kisah uang
bergambar Frans Kaisepo, namun banyak juga yang tak berujung apa-apa selain
kerumitan, kebingungan, dan publik awam yang semakin tak paham.
Lalu
dalam situasi ruwet tak berujung begitu, siapa yang pantas digugat? Izinkan
saya menuding muka Anda, Anda, dan Anda: para orang pintar, para elite
pengetahuan yang aktif beraktualisasi di media sosial, namun lebih asyik
berbincang riuh-rendah dengan kalangan kalian sendiri.
Ambil
misal, ketika sedang ribut-ribut penggusuran di Jakarta. Dalam perdebatan
terkait hal itu, para fans Ahok selalu mengandalkan mantera legalitas.
"Orang-orang itu memang tidak punya legalitas atas tanah mereka. Lha
kenapa mereka dibiarkan? Sah-sah saja kan mereka digusur? Di mana salah Pak
Ahok?" Begitu kalimat standar mereka.
Saya
kira, jalan pikiran demikian itulah yang paling umum, paling lazim, dan
paling gampang masuk ke nalar publik. Orang tahunya cuma peraturan, hukum,
regulasi. Negeri ini sudah terlalu busuk dalam kegagalannya menjalankan hukum
dan peraturan. Maka, ketika ada upaya agar peraturan ditegakkan dan korupsi
dilawan, ya itulah yang pertama-tama akan didukung. Ini logika simpel saja
yang paling mudah dipahami kalangan awam.
Memang,
ada logika lain yang baru akan tampak jika kita menarik segala persoalannya
jauh ke belakang. Ini tentang problem struktural. Orang-orang yang menduduki
tanah ilegal itu adalah korban dari ketidakadilan pembangunan. Mereka korban
dari puluhan tahun obsesi atas pertumbuhan yang mengabaikan pemerataan.
Persis di titik itulah soal legal dan ilegal jadi tidak relevan.
Pertanyaannya, ada berapa gelintir kalangan awam yang paham logika demikian?
Malangnya,
alih-alih memberikan penjelasan yang gamblang dan sederhana tentang logika
struktural tersebut, para intelektual publik di medsos lebih doyan
menempelkan label kepada kalangan yang mereka hantam: "Percuma sekolah
tinggi-tinggi kalau tahunya cuma legalitas. Kalian ini kelas menengah ngehek
yang hanya mengejar kenyamanan bagi diri kalian sendiri!" Aduh, Mas...
Adegan
selanjutnya seperti yang biasa terjadi. Mereka riuh berbincang dengan
kalangan mereka sendiri, sesama intelektual hebat yang kenyang dengan
buku-buku berat, sambil abai bahwa orang-orang yang telah mereka bubuhi label
itu sesungguhnya membutuhkan penjelasan yang jauh lebih sederhana, dengan
bahasa manusia biasa, tentang di mana salahnya mengandalkan jargon legalitas.
Saya
sering menjumpai jenis-jenis orang pintar semacam itu. Kalangan tersebut
sangat terampil mengucap, "Nggak usah dilayani debat sama orang seperti
dia. Cuma bikin kita down grade saja."; "Tulisan yang itu ramai
dikutip orang, padahal dari kacamata ilmu, itu semua tak ada isinya.";
dan sebagainya. Atau yang paling sering bikin tertangkap mata ya ucapan
legendaris ini: "Sudah Bung, sana baca buku duluuu!"
Haha.
Mereka lupa, bahwa kesempatan mengakses pengetahuan pun tak dimiliki setiap
orang. Para kelas menengah yang mereka tuding-tuding itu pun belum tentu
mereka pahami "situasi struktural"-nya. Boleh jadi kelas menengah
itu adalah kelompok demografis pekerja kantoran yang pergi subuh dan pulang
menjelang tengah malam, yang sering terpaksa lembur karena teror bos mereka,
yang hanya memiliki kehidupan riil di akhir pekan dan itu pun habis untuk
keluarga. Kapan mereka punya kesempatan membaca kitab yang berat-berat,
apalagi pekerjaan mereka pun tak terkait dengan itu semua?
Barangkali
memang benar, para kelas menengah yang dicap sebagai pengejar kenyamanan itu
memiliki bawah sadar neolib. Mereka menganggap bahwa kaum miskin tergusur di
mana-mana semata karena kalah berkompetisi dalam realitas dunia yang semakin
ketat, padahal kenyataannya kompetisi tidak dimulai dari garis start yang
sama. Oke, di titik itu saya sepakat.
Namun
para intelektual publik itu pun lupa, bahwa mereka tak kalah neolibnya. Apa
dikiranya keberuntungan berupa kesempatan mengakses pengetahuan, takdir yang
mempertemukan mereka dengan buku-buku hebat, itu 100% murni karena kerja
keras mereka sendiri? Hahaha. Sombong sekali. Sombong sekali.
Saya
kira, sudah saatnya kelas intelektual mulai bertobat, berendah hati, untuk
memberikan pengajaran publik tentang setiap hal yang terjadi di tengah segala
keributan ini. Dengan cara sederhana, dengan bahasa-bahasa orang awam, dengan
melupakan keagungan posisi sebagai elite pengetahuan.
Percayalah,
itu akan jauh lebih berguna dalam ikhtiar membentuk masyarakat yang rasional,
dan jauh lebih mulia ketimbang sekadar "mengehek-ngehekkan". Kami
orang-orang bodoh ini butuh dicerahkan, Tuan. Bukan ditertawakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar