Robohnya
Sawah Kami
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi
Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, untuk menemani
istri yang menempuh studi doktoralnya
|
DETIKNEWS, 20 Desember
2016
Sejak lima hari yang lalu, istri dan anak saya
mudik ke Bantul. Pada hari kedua, belum-belum istri saya sudah ngirim satu
foto sambil mewek-mewek penuh duka.
Ceritanya, rumah kami di Bantul memang
menyenangkan. Di sebelah kiri ada kebun tebu, dan di depan rumah sampai
sekitar setengah kilometer ke utara membentang areal sawah luas. Karena
bentangan sawah itulah, bila langit cerah, setiap pagi kami bisa memandangi
Gunung Merapi yang membiru nun di sana. Benar-benar kemewahan tak terkira.
Malang, semua itu akan segera lenyap. Sebagian
sawah di depan rumah kami sedang ditanami fondasi-fondasi bangunan baru, dan
pemandangan itulah yang ada di foto sendu kiriman istri saya. Ya, sebuah
kompleks perumahan belasan kapling akan segera berdiri. Itu yang membuat
istri saya sedih setengah mati. Dia memang selalu sentimentil tiap kali
melihat persawahan lenyap, diganti perumahan. Kadang dia berpikir tentang
ketahanan pangan masyarakat. Tapi kali ini dia juga memikirkan pemandangan
Gunung Merapi yang dirampas tumpukan batu bata.
Tunggu dulu. Dirampas?
"Wis to," saya menenangkan istri
saya. "Itu sawah wong ya bukan punya kita. Suka-suka yang punya sawah
to. Mereka para petani yang butuh duit dan lelah dengan kehidupan bertani
yang tidak menghasilkan apa-apa. Saatnya kita merelakan indie mooi Merapi pagi di atas sawah-sawah petani yang nelangsa.
Hehehe."
Jawaban saya terdengar menistakan petani. Tapi
sebentar. Kalimat itu juga bukan asal-asalan. Saya coba ceritakan kisah
selengkapnnya.
Sejak kecil, saya tinggal di kampung yang
dikepung persawahan. Kakek-nenek saya dari jalur ibu adalah para petani
tulen. Paman-paman saya dari pihak bapak, meski mereka pada jadi guru, pun
nyambi bertani. Tetangga-tetangga saya apalagi, mayoritas mereka petani.
Selepas periode 1990-an, kehidupan bertani di
lingkungan kami mulai bergeser. Sawah-sawah mulai dikeringkan. Ada yang
dipakai untuk membangun rumah sendiri, namun yang lebih masif lagi adalah
pengeringan sawah di sepanjang pinggir jalan besar untuk disewakan.
Daerah kami saat itu memang mulai bangkit jadi
daerah wisata dan sentra industri cendera mata rupa-rupa. Maka, para pedagang
dari luar berdatangan, dan membutuhkan gerai-gerai. Mereka pun menyewa
lahan-lahan di sepanjang pinggir jalan. Walhasil, lenyaplah deretan sawah di
sekitar kami, berganti dengan bangunan-bangunan show room pernak-pernik aneka
rupa.
Salahkah para pemilik sawah? Apakah artinya
mereka abai pada masa depan ketahanan pangan Indonesia? Aih, pertanyaan
semacam itu terlalu sekolahan.
Begini. Hidup menjadi petani di Indonesia itu
serba mepet. Dukungan negara kepada sektor pertanian juga selalu
setengah-setengah. Para orang pinter bilang, negeri kita buru-buru melompat
ke tahap industri, sementara tahap pertanian sebagai basis paling dasar
kehidupan masyarakat kita belum dikembangkan dengan semestinya. Akibatnya ya
pertanian morat-marit, kehidupan para petani kembang kempis. Nggak percaya?
Sekarang coba tebak, untuk hasil panen setelah
kerja penggarapan selama empat bulan dengan luas lahan 1000 meter persegi,
berapa uang yang didapat? Rp 30 juta? Rp 50 juta? Hehe, bukan. Ini menanam
padi, bukan menanam saham.
Lazimnya, para petani di daerah kami menjual
padi mereka ke tengkulak. Dari tengkulak, harga padi siap panen rata-rata Rp
20 ribu per 'lobang' atau per 10 meter persegi. (Kalau musim jelek Rp 15
ribu, kalau musim bagus Rp 25 ribu). Artinya, untuk luasan 1000 meter
persegi, tengkulak ngasih duit Rp 20 juta. Eh, maaf, salah ketik, yang benar:
Rp 2 juta.
Kalau pemilik lahan menggarap sendiri, dia
akan dapat angka Rp 2 juta dikurangi ongkos benih, pestisida, dan lain-lain
senilai sekitar 500 ribu. Berarti hasil bersih dia Rp 1,5 juta. Itulah
hasilnya bekerja berikut hasil investasi lahannya selama empat bulan penuh.
Sebenarnya, petani akan lebih untung kalau
bisa menjual dalam bentuk beras dan tidak melalui tengkulak. Hasil penjualan
bisa 30% lebih banyak. Masalahnya, tenaga petik (ani-ani) di masa-masa panen
susah sekali carinya. Kebanyakan buruh-buruh panen sudah pada ikut jadi
tenaganya para tengkulak. Jadilah, padi 'ditebaske' atau dijual saat masih
tertanam.
Apa pun itu, dalam setiap masa tanam selama
empat bulan, nilai keekonomian lahan 1000 meter persegi hanya berkisar di
angka Rp 1,5 hingga Rp 2 juta. Dalam setahun, maksimal petani hanya akan
memperoleh Rp 6 juta. Begitulah kehidupan para petani kita.
Dengan kondisi demikian, tak usah heran-heran
amat kalau para petani tidak pernah bercita-cita agar anak mereka mengikuti
jejak mereka. Rata-rata ya pada berharap keturunan mereka jadi 'pegawai',
syukur-syukur jadi polisi atau tentara.
Problemnya, untuk bisa mendudukkan anak mereka
ke kursi PNS apalagi TNI, ongkosnya tinggi. Ratusan juta. Itu baru masuknya.
Belum lagi untuk 'biaya' penempatannya.
Beruntung jika posisinya seperti
tetangga-tetangga saya yang bisa menyewakan lahan mereka kepada toko-toko
suvenir. Sekarang mereka kaya-kaya. Lahan seluas 1000 meter bisa dibagi jadi
banyak kapling, disewakan sekian tahun, menghasilkan ongkos sewa ratusan
juta, dan sertifikat tanah tetap ada di tangan pemiliknya. Lha bagaimana
dengan para pemilik sawah di daerah-daerah lain yang tidak kecipratan berkah
daerah wisata?
Maka berlakulah pola itu. Berharap mendapatkan
uang cepat dari menjual padi tak lebih dari mimpi. Maka sawah-sawah pun
dijual. Hasil penjualannya dipakai buat 'ongkos' anak masuk tentara.
Harapannya anaknya nanti yang akan merawat orangtuanya.
Lagi-lagi, itu masih bagus. Tak jarang orang
terpaksa menjual sawahnya bukan untuk memasukkan anaknya jadi pegawai,
melainkan karena sakit berat. Sakit, masuk rumah sakit, sementara rumah sakit
tak bedanya 'monster penghisap darah' yang menyedot habis segala kekayaan
orang-orang desa yang tak mengenal asuransi kesehatan dan semacamnya.
Nah, di atas sawah-sawah yang terjual itu,
berdiri bangunan-bangunan baru. Masih mending kalau yang menempati kapling-kapling
itu mereka yang level sosialnya tak jauh-jauh amat dengan para petani. Toh
bagaimanapun manusia berkembang biak, dan membutuhkan perumahan. Yang sial,
jika bangunan-bangunan itu tidak ditinggali, namun cuma dibeli orang-orang
kaya sebagai investasi.
Ini bukan barang asing di Yogyakarta. Di
perumahan-perumahan mewah yang dulunya juga sawah, tak ada lagi kapling
tersisa. Semua sudah laku terjual. Namun para penghuninya tak banyak yang
tampak. Benar, rumah-rumah itu kosong saja. Para pemiliknya tinggal di
Jakarta, Balikpapan, Samarinda, dan entah mana pula. Mungkin rumah-rumah itu
jadi rumah kesembilan atau ketiga puluh yang mereka miliki. Semakin lama,
kepemilikan atas tanah semakin mengumpul di segelintir orang saja.
Memang demikianlah permainannya. Para petani
tidak didukung negara untuk mengembangkan kerja pertaniannya. Mereka juga
dicekik layanan pendidikan yang mahal, dibelit layanan kesehatan yang tak
terjangkau, disandera sistem yang korup dalam penerimaan kerja bagi anak-anak
mereka. Akhirnya, mereka terpaksa kehilangan sawah-sawah mereka.
Dari sekian juta orang yang kehilangan lahan,
ada sebagian yang kalah sekalah-kalahnya. Sawah tak lagi punya, sumber pangan
tiada, anak-anak yang disekolahkan tak juga berhasil sebagaimana diharapkan
semula. Lalu orang-orang kalah itu mencari hidup ke tempat di mana uang
berada: kota.
Di kota, mereka tinggal di tempat seadanya.
Kemudian mereka digusur, sembari para penggusur berkhotbah tentang legalitas.
Luar biasa, saya kira. Luar biasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar