Menjinakkan
Inflasi Pangan 2017
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
|
MEDIA INDONESIA,
28 Desember 2016
TAHUN 2016 segera berlalu dan ada sejumlah prestasi di
dalamnya. Salah satu yang patut diacungi jempol ialah pengendalian inflasi.
Tingkat inflasi tahun kalender Januari hingga November 2016 tercatat 2,59%,
dan inflasi dari tahun ke tahun mencapai 3,58%. Hingga akhir tahun
diperkirakan inflasi berkisar 3,5%, lebih rendah dari target 4%. Inflasi yang
rendah tahun ini disumbang oleh terkendalinya kelompok harga-harga yang
diatur pemerintah (administered prices) dan inflasi inti. Sebaliknya, inflasi
lebih banyak disumbang sektor pangan (volatile foods). Sepanjang 2016, harga
sejumlah komoditas pangan, terutama pangan pokok, tidak stabil. Harga naik
turun mengikuti irama pasokan dan permintaan yang juga fluktuatif. Setidaknya
ada sembilan komoditas yang harganya tidak stabil, yakni beras, jagung, kedelai,
daging sapi, daging ayam, bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan cabai
keriting. Cabai, misalnya, hingga November menyumbang 0,5% dari 2,59% inflasi
atau 19,3%. Ini amat besar. Pasokan yang fluktuatif membuat harga cabai naik
turun bagai roller coaster.
Dalam beberapa tahun terakhir memang ada kecenderungan
inflasi didorong oleh fenomena nonmoneter, yakni volatile foods, bukan dari
administered goods. Pada 2014, dari inflasi 8,36% sekitar 2,06% disumbang
oleh bahan pangan dan 1,31% oleh pangan olahan dan tembakau. Secara
keseluruhan pangan berperan 40,31% pada inflasi nasional. Pada 2015
kecenderungannya sama, yang tecermin dari andil pangan sebesar 61,19%, dari
inflasi nasional sebesar 3,35%. Ditilik dari sumbernya, pangan yang berperan
besar dalam inflasi berturut-turut ialah beras, bawang merah, daging broiler,
ikan segar, nasi dengan lauk, telur ayam, bawang putih, mi, dan gula pasir.
Jika dibandingkan dengan 2014, komoditasnya tidak berbeda signifikan. Yang
berbeda hanya andilnya dalam inflasi.
Tahun 2017 pemerintah menargetkan inflasi 4%. Target
ini dibayangi tantangan internal dan eksternal, termasuk potensi kenaikan
tarif dasar listrik (TDL) dan kenaikan harga minyak dunia yang bakal
memengaruhi harga BBM di pasar domestik. Namun demikian, belajar dari
pengalaman 2016, pemerintah lebih siap mengendalikan harga-harga administered
goods. Indonesia juga terbiasa dengan fluktuasi ekonomi global. Sebaliknya,
tantangan pengendalian inflasi 2017 ada pada instabilitas harga pangan.
Jadi acuan
Fluktuasi harga pangan dan inflasi akan menekan daya
beli konsumen. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspos warga
miskin pada posisi rentan. Karena itu, para ekonom menyebut inflasi 'perampok
uang rakyat'. Per September 2015, BPS menetapkan garis kemiskinan sebesar
Rp344.809, dan 73,07% di antaranya disusun dari makanan. Artinya, warga
miskin membelanjakan 73% pendapatan keluarga untuk pangan. Dari semua jenis
pangan, beras paling dominan, menguras 29% pendapatan keluarga miskin. Mereka
mendadak jatuh miskin ketika harga pangan, terutama beras, melonjak tinggi.
Jumlah warga miskin di negeri ini tidak kunjung turun signifikan satu dekade
terakhir karena instabilitas harga pangan masih menjadi rutinitas yang
berulang.
Yang terbaru, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan
mengatur harga acuan tujuh komoditas pangan, yaitu beras, jagung, kedelai,
gula, cabai, bawang merah, dan daging sapi. Dalam Permendag No 63/2016
tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen
itu pemerintah ingin menjamin stabilitas harga dan pasokan tujuh komoditas.
Harga akan jadi acuan pemerintah untuk mengintervensi pasar saat terjadi
gejolak harga. Harga sudah memperhitungkan keuntungan petani, pedagang, dan
daya beli konsumen. Harga berlaku secara nasional dan akan dievaluasi empat
bulan sekali.
Pemerintah hakulyakin harga acuan bisa menjadi solusi
instabilitas harga pangan. Pemerintah menugaskan Bulog dan BUMN lain sebagai
stabilisator harga. Acuannya, saat harga jatuh, Bulog dan BUMN lain harus
menyerap produksi petani domestik sesuai harga acuan. Sebaliknya, saat harga
melentik tinggi, mereka harus mengguyur pasar dengan operasi pasar dan pasar
murah. Jika tidak mempan, pintu impor dibuka, terutama bila pasokan domestik
tidak cukup. Patokannya, harga jatuh/naik 9% dari harga acuan.
Pertanyaannya, akankah harga acuan menjadi panasea
instabilitas harga pangan? Tujuan beleid ini hanya acuan. Tidak lebih, tidak
kurang. Karena hanya sebagai acuan, pengaruhnya terhadap stabilitas harga
bersifat residual. Pertama, harga aktual di pasar saat ini jauh di atas harga
acuan. Harga beras di pasar saat ini rata-rata Rp10.610/kg, jauh di atas
harga acuan Rp9.500/kg. Harga bawang merah di pasar Rp42.110/kg, jauh di atas
harga acuan Rp32 ribu/kg. Kalau harga diturunkan, yang paling merugi ialah
petani. Kedua, tak ada sanksi tegas bila harga acuan tak dipatuhi. Permendag
ini tak lebih dari macan kertas. Ketiga, kebijakan ini tidak dibarengi
instrumen penting stabilisasi harga, seperti cadangan pangan tujuh komoditas,
dan pengaturan distribusi.
Ada atau tidak ada Permendag ini hampir tak ada
bedanya. Produsen, pengusaha, atau sekelompok kecil orang yang memiliki kuasa
mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar tetap terbuka celah untuk
melakukan kartel dan persekongkolan guna mengatur volume, harga, dan wilayah
distribusi. Saat ini hampir semua harga pangan, kecuali beras, masih
diserahkan kepada mekanisme pasar. Instrumen stabilisasi terbatas. Sejak
Bulog dikebiri, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki
kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Kini, penyangga dan
pengatur harga diambilalih swasta. Mereka menguasai distribusi komoditas
pangan. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua
sumber pasokan, yakni produksi domestik dan impor. Di tangan mereka, bisnis
ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking.
Untuk menstabilkan harga pangan secara sistemik dan
terencana, bisa dimulai dengan penetapan jenis pangan pokok tertentu yang
diatur cadangannya. Penetapan ini sebagai penanda negara hadir dan
menstabilisasikan harga dan pasokan pangan. Untuk itu, negara harus memilih
kemudian menetapkan, tidak mungkin semua jenis pangan direngkuh. Lalu,
menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU
Pangan. Selain menetapkan jumlah cadangan Pangan Pokok Tertentu, kepala
lembaga ini bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan
pembangunan pangan. Agar komplet, instrumen stabilisasi harus dilengkapi
dengan beleid harga (atas + bawah), aturan ekspor-impor, penyimpanan, dan
distribusi. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan
cadangan dan stabilisasi harga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar