Langit
Merah di Atas Timur Tengah
MH Samsul Hadi ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS, 27 Desember
2016
Timur
Tengah telah memasuki era berakhirnya Pax Americana. Vladimir Putin membawa
Rusia menjadi aktor penting geopolitik di Timur Tengah. Tak akan ada
perubahan signifikan soal aliansi dan ketegangan selama isu Palestina dan
rivalitas Arab Saudi-Iran tak tertangani.
Tonggak
berakhirnya era Amerika Serikat di Timur Tengah dicatat Jeffrey Goldberg,
Pemimpin Redaksi The Atlantic-saat memaparkan hasil wawancara dengan Presiden
Barack Obama -terjadi pada 30 Agustus 2013. Hari itu, Obama memutuskan batal
melancarkan operasi militer ke Suriah sebagai respons atas hal yang dianggap
Washington sebagai pelanggaran "garis merah" oleh rezim Bashar al-Assad
terkait tuduhan penggunaan senjata kimia di Suriah.
Dalam
pikiran Obama, demikian tulis Goldberg, "Tanggal 30 Agustus 2013 adalah
hari pembebasannya" (The Atlantic,
April 2016). Sejak itu, beragam analisis muncul, mengapa Washington
memilih tidak mempertahankan status quo-nya di Timur Tengah yang disandang
sejak Perang Dunia II hingga peristiwa 9/11.
Berkurangnya
ketergantungan AS pada minyak-bahkan disebut-sebut AS bakal mengambil alih
posisi Arab Saudi sebagai produsen minyak mentah terbesar di dunia-dan persepsi
ancaman langsung teror pada AS, perlindungan Israel, dan pencegahan
berkembangnya nuklir merupakan beberapa hal yang memengaruhi kepentingan AS
di Timur Tengah.
Dari
kacamata itu, bisa dilihat mengapa Obama, misalnya, menarik pasukan AS dari
Irak, tidak meningkatkan peran signifikan di Libya atau Yaman, serta enggan
mengerahkan pasukan darat dalam krisis di Irak dan Suriah. Perkembangan
politik dan ekonomi Timur Tengah mengurangi peluang intervensi AS hingga
titik nadir (Foreign Affairs, November/Desember 2015).
Dalam
kekosongan itulah, Putin melihat celah untuk membawa Rusia kembali ke
panggung geopolitik global. Diawali operasi militer untuk membantu rezim
Assad di Suriah, September 2015, keterlibatan Putin di Timur Tengah kian
menonjol.
Melalui
operasi militer ataupun peran diplomasi dalam konflik Suriah sepanjang 2016,
Putin menancapkan kukunya di Timur Tengah. Di Suriah, Moskwa bukan lagi
pemain pinggiran, seperti yang dialami pada perundingan nuklir Iran. Beberapa
gencatan senjata di Suriah, termasuk berhentinya pertempuran di Aleppo, hanya
bisa diwujudkan berkat campur tangan Rusia, bukan PBB atau AS.
Tentu,
seperti halnya AS, Rusia membawa kepentingan nasionalnya. Di awal
intervensinya di Suriah, Putin menyebut soal ancaman teror bagi negerinya
oleh milisi tempur asal Rusia yang bergabung dalam kelompok ekstrem, seperti
milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Selain
itu, tak bisa dimungkiri juga, ada kepentingan mengamankan pangkalan Angkatan
Laut Rusia di Tartus, Suriah, satu-satunya pangkalan Rusia di Timur Tengah.
Namun, skor terbesar Rusia di Suriah, yakni menempatkan mereka sebagai aktor
utama geopolitik global.
Inilah
yang membuat Moskwa bisa menegakkan kepala di depan AS dan Barat setelah
isolasi pasca aneksasi Rusia ke Crimea, Ukraina, Maret 2014. Status aktor
global itu pula yang membuat Putin ikut-ikutan ingin menjadi broker konflik
Palestina-Israel.
Anti tesis AS-Barat
Berbeda
dari AS dan Barat yang menempatkan diri sebagai pendukung oposisi saat Musim
Semi Arab, dalam intervensinya di Timur Tengah, Rusia mengampanyekan sikap
anti tesis terhadap AS-Barat. Di mata Putin, kekacauan di Irak, Suriah,
Afrika Utara, dan kemunculan NIIS menunjukkan kegagalan Barat.
Melalui
operasi militer di Suriah untuk menopang rezim Assad, Putin seolah mengirim
pesan kepada Timur Tengah bahwa Moskwa akan mendukung pemimpin dan
pemerintahan dalam menghadapi perlawanan rakyat.
Pada
paruh kedua 2015, pemimpin dari Mesir, Israel, Jordania, Kuwait, Arab Saudi,
dan Uni Emirat Arab berkunjung ke Moskwa. Sebagian dari mereka menandatangani
kesepakatan pembelian senjata. Arab Saudi juga menjanjikan investasi 10
miliar dollar AS di Rusia (Foreign Affairs, Januari-Februari 2016).
Desember
ini, disatukan kepentingan di Suriah, Turki merapat ke Moskwa. Penembakan jet
tempur Rusia oleh jet tempur Turki dilupakan. Penembakan Duta Besar Andrey
Karlov oleh anggota polisi Turki di Ankara, 19 Desember, pun tak menggoyahkan
bulan madu dua negara itu.
Dengan
tampilnya Rusia sebagai aktor utama, bagaimana situasi Timur Tengah ke depan?
Apakah hadirnya Putin menciptakan peluang munculnya aliansi baru? Yang lebih
penting, adakah harapan ketegangan di Timur Tengah mereda?
Melihat
situasi terakhir, perkembangan NIIS sepertinya bisa diredam di Irak dan
Suriah meski belum bisa dimusnahkan dalam waktu dekat. Selain itu, muncul
tantangan baru, yakni merembesnya teror NIIS ke negara-negara lain, hingga ke
Indonesia.
Di
Timur Tengah, gejolak akan selalu muncul sepanjang dua masalah terkait
rivalitas Arab Saudi- Iran dan isu Palestina-Israel tak terselesaikan. Tahun
ini, rivalitas Riyadh-Teheran mencapai titik didih dalam kasus eksekusi ulama
Syiah, Sheikh Nimr al-Nimr, oleh Arab Saudi.
Kasus
itu berbuah pemutusan hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi.
Ketegangan dua negara itu juga diwarnai aksi boikot Iran yang tak mengirim
jemaahnya dalam haji tahun ini.
Arab
Saudi dan negara-negara Teluk mitranya cenderung melihat peran aktor luar,
termasuk Rusia, melalui kacamata rivalitas di kawasan. Rusia hadir di Timur
Tengah menjalin aliansi lama (Iran) di Suriah. Sulit membayangkan bakal
tercipta aliansi baru setelah Rusia masuk.
Isu
Palestina-Israel akan terus menyelimuti Timur Tengah, terlebih setelah
presiden terpilih AS, Donald Trump, memperlihatkan lebih pro Israel daripada
pendahulunya. Kasus voting resolusi DK PBB soal permukiman Yahudi, pekan
lalu, memperlihatkan indikasi itu. Dengan demikian, tak berlebihan dan bukan
karena pesimistis jika menyebut, kawasan itu akan terus membara. Di Timur
Tengah, langit akan terus memerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar