Agama
di Kehalusan Budaya
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA INDONESIA,
03 Desember 2016
SALAH satu hal paling menarik dari doa bersama '212' kemarin,
selain rasa sejuk dan damai yang menggenangi hati seluruh peserta doa, ialah
tampil bersama--mungkin untuk pertama kalinya--pimpinan Front Pembela Islam
(FPI) bersama kepala negara di panggung. Hal itu secara simbolis
menggambarkan banyak hal.
Sekurangnya, FPI pastilah bukan pihak yang pernah diarah oleh
persangkaan makar, baik oleh petugas keamanan bahkan pejabat pemerintahan.
Kedua, FPI menjadi salah satu representan juga dari kesejukan dan kedamaian
aksi doa bersama di atas. Ketiga, kita atau sekurangnya saya, mafhum--sejak
lama sebenarnya--Muhammad Rizieq Shihab, Ketua FPI, sesungguhnya ialah
pemikir dengan lidah yang cerdas dan nasionalis tulen.
Bahwa mungkin Rizieq Shihab yang juga dipanggil Habib itu
sebagai cendekiawan muslim memiliki pandangan tersendiri--katakanlah
tergolong keras bahkan radikal dalam mereaksi situasi mutakhir masyarakat dan
negara kita, terutama dalam konteks keislaman--hal itu lumrah saja. Dalam
sejarah republik ini yang 70 tahun lebih, bangsa ini yang ribuan tahun,
ekspresi-ekspresi semacam itu merupakan bagian dari cara kita membentuk diri,
memperkaya budaya, juga mendewasakan karakter kita bersama.
Sejarah Indonesia adalah juga sejarah para pemikir atau
cendekiawan muslim, atau yang kita sebut juga secara jamak, ulama. Peran dan
kontribusi mereka, baik yang merasa dirinya pribumi maupun yang nenek
moyangnya berasal dari negeri seberang, entah Tiongkok, India, Persia, atau
Arab, tercatat dengan baik bukan hanya dalam buku tertulis, melainkan juga
dalam memori publik rakyat negeri ini.
Dalam kebudayaan di negeri ini, ulama (yang secara etimologis
berasal dari bahasa Arab) memiliki padanan lokalnya: kiai. Kedua istilah
tersebut bukan gelar, apalagi secara formal, yang disematkan dengan upacara,
selebrasi, dan cap institusi ternama. Bukan. Kedua sebutan tersebut merupakan
bentuk penghargaan, respek, dan rasa hormat publik pada seseorang yang karena
ilmu atau kapasitas dan kapabilitasnya (dalam agama, misal saja) memberikan
maslahat yang besar dan meluas di khalayak.
Frasa 'maslahat besar dan luas' di atas memiliki makna konotatif
yang sifatnya tidak abstrak melulu, sebagaimana keilmuan atau
kecendekiawanan. Frasa tersebut memiliki juga arti yang praktis atau
material. Artinya, dalam budaya bahari kita, seorang kiai atau ulama dilihat
tidak hanya dari kecanggihan pengetahuan serta retorikanya saja, tapi juga
bagaimana ilmu itu menjadi jejak, menjadi tapak, menjadi kerja praktis yang
melibatkan (banyak) orang lain, dan memberi manfaat langsung bagi perbaikan
kehidupan.
Maka, boleh saja seseorang mengklaim dirinya seorang ulama atau
kiai, tetapi pengujian sebenarnya ialah pada hati konstituen atau masyarakat
yang ada di lingkungannya, yang melihat klaim tersebut dalam implementasi
kehidupan sehari-harinya. Tidak mengherankan jika dalam penyebutan
tradisional kita terdapat majemuk 'alim ulama' yang menunjuk pada kealiman,
dalam arti--yang mungkin berbeda dari makna aslinya--memiliki tingkat
kesalehan tinggi. Saleh di sini, tentu, dalam terminologi akidah, adalah
akhlak atau perilaku yang mulia.
Kemuliaan, sekali dalam tradisi bangsa-bangsa Indonesia yang
begitu kaya ragamnya, ialah sikap (berpikir, merasa, dan spiritual) yang
mampu berada di 'atas' sentimen lokal, beyond of interests, mengatasi semacam
chauvinisme daerah, asal usul atau dalam bahasa Orba ke-'SARA'-an. Pribadi
seorang kiai atau 'alim ulama' ialah pribadi yang mengacu pada peribasa kita,
'Kian merunduk kian berisi'. Semakin ia saleh dan berilmu, ia kian tenang,
kalem, dan merendahkan hati bahkan dirinya.
Jadi, baik itu ulama, ustaz, ataupun habib yang saleh, walaupun
mungkin ia berisik lidahnya, tetapi pikiran dan hatinya tetap tenang, sejuk,
dan damai. Itulah inti dari kebudayaan bahari, budaya yang ditanam,
ditumbuhkan, dan diwariskan nenek moyang penghuni kepulauan ini. Apa pun
bentuk ekspresi hingga ideologi yang dimiliki atau diyakini seseorang, termasuk
kepercayaan juga agama, tetap memiliki kearifan kultural itu.
Belakangan ini, di masa dunia dipenuhi pergolakan yang sebagian
dijiwai atau diberi alasan spiritual/agama, bangsa Indonesia selalu mendapat
apresiasi dari seluruh penjuru bumi. Sebagai bangsa yang mampu melerai,
menyelesaikan, dan menciptakan keharmonisan, kedamaian, dan kesejukan dalam
hidup kebinekaannya, termasuk dalam agama, Islam terutama. Tentu saja, kita
tidak akan mencederai standing ovation yang telah diberikan masyarakat dunia
dengan jujur itu. Sebaliknya, kita mesti balas mengapresiasi apresiasi dunia
yang penuh respek tersebut, dengan meningkatkan kemuliaan, antara lain
kesalehan dari praksis beragama kita.
Maka kita bisa menguliti sejarah umat muslim di banyak negara.
Seperti lebih dari 100 juta muslim (terbesar kedua di dunia setelah
Indonesia) di Tiongkok, yang dapat hidup dengan sejuk dan damai walau dalam
pemerintahan nonmuslim, ribuan tahun lamanya, termasuk dalam kekuasaan
komunis yang ateis. Begitu ratusan juta muslimin di pelbagai negara
nonmuslim, di Eropa dan Amerika, seperti Prancis tempat Islam menjadi agama
kedua di negeri itu, dapat dengan baik menyelenggarakan hidup yang baik
dengan sesama warga negara lainnya.
Indonesia, dengan kaum alim ulamanya yang memiliki sejarah cukup
kuat dalam mengisi khazanah pemikiran Islam, selayaknya menjadi contoh bagi
bangsa-bangsa lain, bagaimana Islam ialah agama yang menaungi dan melindungi
semua umat manusia. Agama besar yang memeluk si kecil, agama yang penuh
kasih, kelembutan dan rasa maaf tak terhingga, sebagaimana Rasul
junjungannya, sebagaimana sifat Maha dari Allah yang disembahnya setiap
waktu.
Bersyukurlah, doa bersama yang terjadi kemarin di seputaran Tugu
Monas dapat menjadi simbol atau representasi agama yang memiliki kehalusan
budaya di atas, budaya kita yang bahari. Sesungguhnya, tidaklah keliru jika
proklamator kita, pencipta Pancasila, sebenarnya menempatkan sila pertama
dalam frasa yang sejuk, 'Ketuhanan yang berkebudayaan'. Ketuhanan yang tak
hanya toleran, tapi juga 'akseptan' terhadap ekspresi-ekspresi religius
lainnya. Bukan hanya agama langit dan bumi saja, melainkan juga yang
tradisional, yang dulu dipeyoratifkan sebagai paganistik.
Kekuatan budaya dalam agama itu, dalam Islam itu terutama,
sesungguhnya ialah senjata dahsyat untuk melawan 'musuh' kita sebenarnya,
musuh bangsa kita. Musuh yang belakangan ini ndompleng atau jadi
penumpang-sembunyi dalam jargon-jargon modernitas.
Jargon-jargon, sebagiannya kini sistemis, yang telah memerangkap
dan membungkus generasi muda kita dalam identitas yang virtual, artifisial,
bahkan ilusif. Di sini para kiai dan alim ulama dapat mengambil peran, bahkan
lebih utama dan signifikan ketimbang pejabat publik yang diberi amanah,
dipercaya, dan dibiayai rakyat tapi justru mengkhianatinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar