Memperkuat
Diplomasi Energi
I Gede Wahyu Wicaksana ; Dosen
hubungan internasional FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
|
JAWA POS, 23 Desember
2016
LAPORAN periodik per dasawarsa Badan Energi
Internasional/ International Energy Agency (IEA) yang dirilis pada 14
Desember menempatkan Indonesia pada peringkat ke-74 dari 180 negara dalam hal
capaian ketahanan energi. Di Asia, menurut IEA, Indonesia berada di bawah
Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Masing-masing berada di urutan ke-25, ke-39,
dan ke-72. Bila ditelusuri ke belakang, menurut laporan serupa yang pernah
dikeluarkan pada 11 Desember 1996 dan 10 Desember 2006, ternyata peringkat
Indonesia molorot selama dua dekade survei, dari urutan ke-34 menjadi ke-56,
lalu sekarang ke-74. Apa yang salah dengan Indonesia?
IEA mendefinisikan ketahanan energi sebagai
kemampuan mengeksplorasi, mengelola, sekaligus melestarikan sumber daya
energi, baik terbarukan maupun tidak terbarukan. Artinya, kemampuan Indonesia
dalam tiga elemen esensial sektor energi terus berkurang selama 20 tahun
terakhir. Terlepas dari perdebatan akademik dan profesional yang kerap muncul
untuk merespons temuan institusi internasional, apalagi yang memuat informasi
kurang sedap mengenai kebijakan dan manajemen aset publik di Indonesia, patut
dipikirkan lagi mengapa kinerja di sektor energi belum memuaskan. Bukan hanya
dalam konteks domestik, tetapi juga yang berorientasi ke luar negeri. Kedua
aspek ketahanan energi saling berkaitan dan menimbulkan efek signifikan.
Khusus untuk aspek eksternal, yang mesti
menjadi sorotan adalah kinerja diplomasi energi. Bagaimana para pembuat
kebijakan pengembangan sektor energi melihat arti penting diplomasi energi
serta tindakan dan strategi apa yang sudah diterapkan. Satu ilustrasi saja.
Empat negara Asia dengan kebutuhan energi tertinggi di kawasan, yakni India,
Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, empat negara industri termaju di Asia,
sudah sangat berfokus pada upaya penguatan diplomasi energi yang diarahkan
pada lima bidang spesifik. Yakni, mencari sumber baru, antisipasi kebijakan
kompetitor, pengamanan jalur transportasi, pencegahan krisis berdimensi luas,
dan ekspansi pengaruh politik.
Dengan begitu, meskipun kebutuhan energi terus
naik, mereka tidak pernah mengalami situasi rawan maupun defisiensi energi
yang memaksa otoritas nasional memperketat regulasi dalam negeri. Dengan
demikian, diplomasi energi berperan untuk stabilisasi pasar domestik.
Secara global, ada empat tantangan diplomasi
energi yang harus dihadapi Indonesia. Keempat tantangan berhubungan erat
dengan lima fokus diplomasi energi.
Pertama, multilateralisme sektor energi telah
bertransformasi dari forum kerja sama menjadi arena kompetisi. Pada awal
pembentukan rezim energi antar pemerintah, misalnya Organisasi Negara-Negara
Pengekspor Minyak (OPEC), para anggota bersemangat dengan maksud diplomasi
kolektif guna mengatur tata kelola produksi serta mencegah permainan harga
yang berpotensi menciptakan kerugian dan ketegangan di antara produsen serta
konsumen utama. Namun, fungsi OPEC bergeser menjadi wadah unjuk kekuatan,
tekanan, bahkan paksaan, baik datang dari internal maupun pihak luar. Sebagai
konsekuensi, OPEC selalu gagal mengontrol dinamika ekonomi politik
perminyakan dunia. Kemudian, harga pun berfluktuasi tanpa kendali. Anggota
OPEC merugi, lalu terlibat polemik berkepanjangan.
Kedua, yang dialami OPEC berkaitan erat dengan
intrusi pengaruh aktor energi global seperti Amerika Serikat, Rusia, dan
Tiongkok yang berhasil memainkan kartu bilateral sehingga mengikis koherensi
multilateral OPEC. Ketiga pemain besar bahkan telah mampu membentuk poros
segi tiga pusat kekuatan diplomasi energi yang seolah beroperasi membatasi
ruang gerak OPEC dari luar serta merongrong sinergi OPEC dari dalam.
Instrumen yang digunakan untuk melancarkan diplomasi energi adalah bantuan
teknik, investasi menguntungkan, dukungan politik, hingga intervensi militer.
Tiongkok sangat intensif di negara-negara
Afrika yang kaya minyak dan mineral. Beijing menggelar Konferensi
Tiongkok-Afrika secara rutin serta setiap tahun menambah kucuran dana untuk
pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial di hampir 30 negara Afrika. Pada
2016, tidak kurang dari 60 miliar dolar AS sudah digelontorkan untuk
diplomasi energi Tiongkok di Afrika. Hasilnya efektif, Tiongkok secara
meyakinkan sudah memenangi sekitar 200 kontrak eksplorasi sumber minyak, gas
alam, dan mineral baru di 30 negara Afrika, melampaui raihan Amerika Serikat
dan Rusia. Prestasi Tiongkok semakin memanaskan geoekonomi Afrika.
Ketiga, berkaitan dengan intensitas kompetisi
di level internasional dan perluasan kepentingan aktor-aktor dominan,
geopolitik energi di berbagai wilayah menjadi semakin keras serta
menegangkan. Saat ini memang belum tampak menyeruak ke permukaan konflik
terbuka antara Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok. Namun, letupan-letupan
sporadis seperti Arab Spring, perang internal Syria, konflik perbatasan di
wilayah Kaspia, serta gelombang panas di Laut China Selatan dan Timur
mengindikasikan penguatan potensi militerisasi ekonomi energi global.
Keempat, fenomena relasi ekonomi politik
energi dengan isu transnasional yang sebenarnya tidak punya urusan langsung
dengan kebijakan energi. Ambil contoh Uni Eropa yang senantiasa
menghubung-hubungkan impor produk minyak sawit Indonesia dengan masalah
pelestarian lingkungan, perburuhan, dan korupsi.
Apa kebijakan Indonesia? Sayang sekali belum
ada jawaban memuaskan untuk pertanyaan krusial itu. Kementerian Luar Negeri
(Kemenlu) memang menunjukkan perhatian pada diplomasi energi. Setidaknya
terbukti dari publikasi hasil riset, seminar akademik, dan pertemuan kelompok
ahli, tapi lebih berorientasi justifikasi signifikansi isu energi bagi
politik luar negeri Indonesia. Implementasi yang konkret masih sangat samar.
Begitu pula dalam setiap paparan yang disampaikan menteri luar negeri pada
awal tahun, biasanya minggu kedua Januari. Arah, prioritas, agenda, serta
strategi diplomasi energi hanya disinggung sepintas, lalu secara garis besar
dijadikan catatan kaki proyek diplomasi ambisius seperti poros maritim dunia.
Meskipun kedua komponen politik internasional Indonesia bisa berkaitan erat
satu dengan yang lain, penguatan diplomasi energi sangat mendesak.
Kapasitas produksi minyak Indonesia diprediksi
akan terus menurun, bahkan cadangan dalam negeri bakal habis kurang dari 12
tahun mendatang. Pada 2025, tingkat kebutuhan energi Indonesia, khususnya
minyak bumi dan gas alam, akan mencapai puncak akibat pertumbuhan industri
dan akselerasi pembangunan infrastruktur. Sedangkan perbaikan tata kelola
nasional masih terhambat masalah-masalah akut: korupsi, oligarki, dan
kegaduhan politik kontraproduktif. Mari kita tunggu apakah awal tahun depan
Kemenlu menyampaikan kepada publik gebrakan strategis diplomasi energi ke
depan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar