Orang
Tua adalah Guru bagi Anaknya
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan;
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 26 Desember
2016
Pemandangan
paling menarik bagi saya pada Piala Dunia 2014 dulu adalah ketika Lukas
Podolski, pemain senior tim Jerman, turun ke lapangan untuk merayakan
kemenangan timnya sambil menggendong putranya Louis. Podolski sendiri tidak
turun bermain pada pertandingan final itu. Piala Dunia 2014 adalah kejuaraan
di mana Podolksi sudah memasuki masa senja pada karirnya. Ia hanya berperan
sedikit. Tapi bagi keluarganya, khususnya bagi anaknya, ini mungkin momen
terpenting.
Kelak
mungkin kita akan menyaksikan Louis Podolski bertanding dalam tim nasional
Jerman. Lalu, apa kata kita? Oh, dia menuruni bakat ayahnya. Sama halnya
seperti ketika kita Tomy Sugiarto bertanding. Kita akan bilang, dia hebat
karena bakat yang diturunkan oleh ayahnya.
Kita
sering membayangkan bakat itu sebagai pemberian Tuhan, dan karena itu ada
orang-orang yang menjadi hebat. Kita sering memahaminya secara sesederhana
itu. Tapi coba kita bayangkan lebih jauh. Bisakah Tomy Sugiarto menjadi
pemain nasional hanya bermodal bakat turunan dari Icuk Sugiarto ayahnya?
Tidak.
Perhatikanlah
proses yang dilalui oleh Tomy Sugiarto. Ia belajar dan berlatih bulu tangkis
sejak dini. Ia juga sudah mengikuti berbagai kejuaraan sejak usia belia.
Tanpa itu, seberapa besar pun bakat yang ia warisi, tidak akan cukup untuk
membawanya menjadi pemain nasional dan internasional. Hal yang sama akan
berlaku pada putra Lukas Podolski tadi.
Banyak
orang yang gagal memahami proses logis dalam kasus "like father like
son" itu. Orang hanya bisa melihatnya secara sederhana, yaitu bakat yang
diturunkan. Padahal ada proses lain yang lebih penting di situ, yaitu peran
orang tua yang mendidik serta mengarahkan anaknya sejak dini. Bagi saya, Tomy
Sugiarto itu menjadi pemain hebat karena ia punya guru yang sangat hebat,
yaitu ayahnya sendiri. Demikian pula akan berlaku kelak pada Louis Podolski.
Setiap
orang tua adalah guru bagi anak-anaknya. Ini sering dilupakan banyak orang.
Ketika berpikir tentang pendidikan, orang langsung berpikir tentang sekolah.
Mendidik anak adalah soal bagaimana mengirim anak-anak ke sekolah yang bagus,
agar mereka mendapat pendidikan yang baik. Anak-anak belajar dari guru mereka
di sekolah. Padahal peran terpenting dalam pendidikan anak harus diambil oleh
orang tua. Artinya, orang tua harus mengambil bagian terpenting dalam proses
pendidikan itu, dengan menjadi guru bagi anak-anaknya.
Apakah
itu berarti kita tidak usah mengirim anak ke sekolah? Tidak demikian. Home
schooling memang menjadi satu cara mendidik anak. Tapi kalau kita memilih
untuk menyekolahkan anak, bukan berarti kita lantas tidak berperan. Kita
harus mendampingi anak-anak pada setiap pelajaran yang mereka lalui,
khususnya pada usia dini.
Mengapa
ini perlu? Pertama, sistem pelajaran di sekolah bersifat massal. Guru tidak
punya cukup waktu dan tenaga untuk membimbing siswa satu per satu. Kalau ada
anak yang tertinggal, ia akan dipaksa untuk mengejar ketertinggalannya. Guru
tidak akan memberi bimbingan yang sifatnya pribadi. Bagian ini menjadi
tanggung jawab orang tua. Orang tua harus membimbing anak berbasis pada
pemahaman ia tentang watak dan potensi pribadi anaknya. Hanya ia yang bisa
menyelami kesulitan anaknya.
Kedua,
belajar bersama adalah waktu penting untuk berkomunikasi dengan anak. Dari
situ orang tua akan bisa mendeteksi potensi dan kelemahan anak. Dengan begitu
ia bisa bersikap tepat dalam membimbingnya. Ketiga, anak-anak cenderung
mencontoh dan mengidolakan orang tuanya. Ini adalah modal penting untuk
memberi motivasi kepada anak-anak.
Saya
membimbing sendiri anak-anak dalam pelajaran sekolahnya. Tidak hanya berlajar
menekuni buku, kami melakukan berbagai percobaan sains. Saya lakukan ini agar
kegiatan belajar menjadi menarik, sehingga bisa merangsang minat anak untuk
ingin tahu lebih banyak. Anjuran saya ini kerap mendapat kritikan dari
teman-teman. Alasan mereka, saya pakar di bidang itu, sehingga bisa
membimbing. Bagaimana dengan yang tidak pakar?
Itu
lagi-lagi salah kaprah. Saya tidak pakar dalam segala hal. Sering saya harus
belajar ulang, atau belajar sesuatu yang baru sama sekali, demi membimbing
anak. Kadang saya bawa anak saya kepada yang lebih ahli, tapi saya tetap
mendampingi sebagai pengarah.
Selama
liburan ini saya menyiapkan sebuah program belajar akuntansi untuk anak saya,
siswa kelas 2 SMP. Untuk apa? Saya ingin dia mengenal profesi ini, siapa tahu
ia berminat menekuninya. Selama ini ia lebih banyak terpapar pada profesi
terkait keahlian saya, yaitu sains. Saya harus memperluas cakrawalanya,
sehingga ia punya lebih banyak pilihan.
Tidakkah
akuntansi itu sulit? Di situlah pentingnya peran kita. Kita harus mampu
membuatnya jadi mudah dicerna. Dalam hal ini saya membuat bahan pelajaran
yang mudah dicerna anak-anak, dalam bentuk permainan simulasi. Tapi
sanggupkah siswa kelas 3 SMP mengikutinya? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab
oleh setiap orang tua. Orang tua yang biasa mendampingi anaknya belajar akan
mengenal level berpikir dan pengetahuan anaknya, sehingga ia bisa menilai
apakah anak ini sudah siap untuk menerima suatu pelajaran atau belum.
Apakah
saya pakar dalam bidang akuntansi? Sama sekali bukan. Saya hanya tahu hal-hal
mendasar. Selebihnya saya harus bertanya ke beberapa teman, khususnya ketika
menyusun bahan ajar dalam bentuk simulasi tadi.
Intinya,
kita bisa mulai menjadi guru bagi anak-anak kita dalam hal yang kita bisa.
Dalam hal yang kita tidak bisa, kita harus belajar. Masalahnya adalah, banyak
orang sudah memvonis diri mereka tidak bisa, sebelum ia memulai sama sekali.
Dalam hal ini, sebenarnya lebih tepat mereka disebut tidak mau, ketimbang
tidak bisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar