Pendidikan
Kita Jalan di Tempat?
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
15 Desember 2016
PADA 2016, dunia pendidikan Tanah Air masih
seperti tahun-tahun sebelumnya, kurang menggembirakan jika ukurannya ialah
akses dan peningkatan kualitas. Akses pendidikan masih belum menggembirakan
karena menurut laporan terbaru pihak Kemendikbud dinyatakan, lebih dari 50%
jumlah ruang kelas rusak berat dan angka putus sekolah masih terbilang besar.
Pada aspek kualitas, tak sedikit bukti yang
memberikan penjelasan bahwa tingkat literasi siswa Indonesia juga masih
rendah, apalagi kemampuan penguasaan bidang matematika dan sains malah masih
semakin tertinggal jauh dari negara-negara lain. Semuanya mengindikasikan
bahwa peran dan kualitas guru tidak menjadi prioritas pembangunan pendidikan
di Indonesia.
T Manichander dalam Emerging Issues in Education (2016) mengindikasikan guru tak bisa
berdiri sendiri dalam mendesain upaya peningkatan kapasitas mereka tanpa
bantuan dari negara melalui lembaga-lembaga yang kredibel dan permanen dalam
upaya melatih dan menyegarkan persepsi guru dalam mengajar.
Dalam pandangannya, jika pendidikan ialah
proses memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengetahuan dan membentuk
karakter yang baik, kemampuan, nilai-nilai, keyakinan, dan kebiasaan para
guru dalam mengajar harus terus ditingkatkan melalui serangkaian pelatihan,
riset pengembangan kemampuan pedagogis guru, serta evaluasi dan monitoring
terhadap guru yang harus dilakukan secara terus-menerus.
Kehilangan
fokus
Di awal pemerintahan, Jokowi-JK
mencanangkan wacana revolusi mental bagi bangsa ini. Jawaban sederhana yang
ada di benak kepala saya ialah apalagi caranya jika bukan melalui perencanaan
dan proses pendidikan yang baik dan benar. Hampir tak mungkin melakukan
perubahan di dalam suatu negara jika tak dimulai dari evaluasi yang ketat
terhadap sistem pendidikan yang ada.
Namun, dari aspek teknis, baik pemerintah
maupun DPR tak terlalu memedulikan proses peningkatan kualitas pendidikan melalui
sistem penganggaran pendidikan berbasis sekolah. Anggaran pendidikan kita
habis dan mubazir karena kriteria yang digunakan sepenuhnya merupakan kontrol
negara tanpa ada peran serta masyarakat dan sekolah. Dalam sistem pembiayaan
pendidikan kita, asumsi yang digunakan ialah individual, yaitu jumlah siswa
dan guru.
Di beberapa negara maju, pembiayaan
pendidikan selalu melihat masyarakat dan sekolah sebagai pintu masuk atau
asumsi dasar tentang berapa besaran kebutuhan biaya pendidikan sebuah sekolah
yang mencakup biaya pelatihan guru, kepala sekolah, pengawas sekolah,
manajemen sekolah, serta pelatihan bagi masyarakat di sekitar sekolah.
Persis seperti dilaporkan Joan Payne dalam Choice at the end of compulsory schooling:
A research review (2007) bahwa kebanyakan negara maju selalu melihat
persoalan pendidikan dengan pendekatan dan model struktural (structural model), yakni masyarakat
sekolah diminta mengidentifikasi kebutuhan pembiayaan mereka per tahun
anggaran.
Sementara itu, kita di Indonesia lebih
sering melihat aspek pembiayaan pendidikan dari pendekatan ekonomi (economic model), yakni urusan supply and demand menjadi nomor satu.
Urusan untung-rugi selalu menjadi lebih penting daripada memperhatikan
pertumbuhan sekolah pada tingkat lokal. Contoh terakhir yang paling khas
menurut saya ialah komentar seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang
mementahkan rencana moratorium ujian nasional (UN) dengan mempertimbangkan
aspek untung-rugi.
Pernyataannya bahwa UN tetap harus
dilakukan karena daripada stres tak dapat kerja sungguh menggambarkan bahwa
pemerintah telah kehilangan fokus dalam melihat pendidikan. Saya menyesal
memilih Jokowi-JK karena mereka melihat urusan pendidikan ini sebagai hasil,
harus ada evaluasi jenis UN yang memakan banyak korban secara psikologis dan
ekonomis. Harus ada angka kelulusan, harus ada ijazah, daripada berpikir
proses.
Hampir lebih dari 15 tahun pembangunan
bidang pendidikan selalu terbelenggu oleh kepentingan politik praktis yang
banyak membuang anggaran, tenaga, dan pikiran. Kebijakan pembangunan bidang
pendidikan sejauh ini memang cukup membingungkan para guru dan siswa di
tingkat sekolah. Contohnya ialah kebijakan UN yang selalu membawa masalah
bagi struktur mental masyarakat yang ternyata tak siap menerima kegagalan.
Efek dari kebijakan UN ternyata sangat
dahsyat dari aspek pelemahan karakter siswa karena orientasi belajar-mengajar
siswa dan guru terfokus pada kelulusan semata. Bangsa ini seperti enggan
belajar tentang nikmatnya kegagalan. Saya mengapresiasi ketika Mendikbud
Muhadjir Effendy mengatakan akan menghentikan UN dan akan mengevaluasi secara
ketat kebijakan soal UN dalam koridor yang lebih sehat.
Dalam pandangan saya, eksistensi UN tetap
diperlukan sebagai upaya memetakan persoalan kualitas pendidikan kita, tetapi
bukan untuk penentu kelulusan seperti yang selama ini dilakukan. Kalaupun
harus dijadikan sebagai standar kelulusan siswa, sebaiknya hal itu hanya
berlaku bagi siswa SMA dan bukan di level SD dan SMP.
Jika mengacu pada arah perubahan kurikulum,
misalnya, pada tingkat SD proses belajar-mengajar lebih banyak menggarap
aspek afeksi dan psikomotorik siswa dengan lebih dari 80% sehingga penilaian
kognisi siswa belum dominan dan ini tidak memerlukan evaluasi secara
nasional.
Pada tingkat SMP, aspek afeksi dan
psikomotorik juga masih memperoleh ruang yang lebih banyak, yaitu sekitar
50%-60% dari sturuktur kurikulum yang ada sehingga lagi-lagi evaluasi jenis
high-stakes yang mengandalkan kognisi siswa belum terlalu dibutuhkan.
Evaluasi kognitif baru akan dilakukan secara ketat pada level SMA karena
proses tumbuh-kembang kognitif siswa sudah semakin baik serta karakter siswa
telah terbentuk di level SD dan SMP.
Miskin
riset kebijakan
Selain hilangnya fokus dan momentum untuk
melakukan perubahan orientasi pendidikan melalui penghentian UN, serta
mengubah asumsi anggaran dan pembiayaan pendidikan dari individual ke arah
pemberdayaan sekolah dan masyarakat, pemerintah tak kunjung menyadari
perlunya riset sebagai penunjang kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan.
Bagi saya, kebijakan dan keputusan
merupakan dua hal yang berlangsung dalam satu kali tarikan napas dan tidak
mungkin melihat keduanya sebagai hal yang terpisah. Kebijakan, dalam hal apa
pun, terutama dalam bidang pendidikan, biasanya dilemahkan ketiadaan respons
yang berkelanjutan dari pelaksana di tingkat daerah.
Keputusan biasanya sering kali berhenti
pada aturan tertulis, dan lagi-lagi, pelaksana di tingkat sekolah bisa dibuat
bingung tentang bagaimana cara melaksanakan sebuah keputusan. Ketika hal itu
terjadi, siapa yang dirugikan? Jelas masyarakat. David Halpin dalam Practice and Prospects in Education Policy
Research (2013) menggambarkan betapa masyarakat selalu dirugikan karena
antara kebijakan dan keputusan berjalan tidak seiring.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia,
pembuat kebijakan sering kali mengaku ketika mendesain sebuah keputusan
berbasis pada riset. Akan tetapi, jarang terlihat apakah ketika melakukan
riset, para pelaku atau user di lapangan disertakan?
Karena tradisi riset biasanya hanya
dimiliki sarjana tertentu dengan keahlian tertentu, sering kali mereka abai
untuk melibatkan para pelaku pendidikan seperti guru, kepala sekolah, dan
orangtua serta birokrasi di daerah untuk terlibat dalam sebuah riset
kependidikan yang komprehensif.
Dengan memisahkan Kemendikbud dan
Kemenristek Dikti itu sudah menandakan bahwa persoalan pendidikan dasar
seolah-olah tak memerlukan riset komprensif. Padahal, bukti dan fakta tentang
pendidikan dasar sangat banyak untuk dikerjakan, tetapi tak pernah dilakukan
secara serius. Riset seolah-olah hanya untuk pendidikan tinggi, sedangkan di
tingkat sekolah hampir tak memerlukan riset.
Dalam kasus kebijakan pendidikan dasar,
jenis social survey dan data administratif sangat penting untuk diketahui dan
diperbarui melalui sebuah survei. Memetakan kondisi sosial, budaya, dan latar
belakang pendidikan para pengelola sekolah, misalnya, merupakan keharusan
yang seharusnya dilakukan Kemendikbud setiap tahun.
Jenis data administratif sekolah yang
jarang dipublikasikan kepada publik seperti penggunaan dana operasional
sekolah, pola pelatihan dan pendidikan guru, serta data keterlibatan
masyarakat/orangtua terhadap sekolah merupakan data-data serius yang juga
layak untuk diketahui publik setiap tahun.
Pendek kata, survei dan riset menjadi
penting untuk dilakukan dan dalam rangka melihat dinamika operasional
penyelenggaraan sekolah dari waktu ke waktu sekaligus sebagai bahan
pertimbangan bagi kebijakan publik di bidang pembiayaan pendidikan yang
sesuai dengan kondisi aktual masyarakat.
Selain itu, survei dibutuhkan untuk melihat
tiga hal. Pertama, sebagai basis analisis untuk melihat dan mengetahui apa
yang dipikirkan masyarakat tentang sekolah dan pendidikan secara sederhana.
Kedua, sebagai verifikasi atas data dan atau asumsi yang berkembang di tengah
masyarakat tentang pola penyelenggaraan sekolah.
Yang ketiga, jelas survei menjadi penting
untuk sinkronisasi keluarnya sebuah kebijakan baru soal pembiayaan
pendidikan, peningkatan kapasitas guru, serta usaha-usaha melihat potensi
masyarakat terhadap bidang pendidikan yang lebih sesuai dengan kondisi aktual
masyarkat.
Selain ketiga hal di atas, arti penting
pengembangan riset bagi sebuah kebijakan dapat dilihat dari aspek kegunaan (use) dan pengaruh (influence). Tak jarang ditemui,
terkadang hasil dari sebuah riset digunakan untuk mengatasi sebuah masalah (problem solving) meski juga terkadang
digunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Akan tetapi, dari aspek pengaruh,
pengembangan dan kegunaan riset akan terlihat dari seberapa besar perubahan
kebijakan ke arah yang lebih efektif dan efisien di tubuh sebuah lembaga
seperti sekolah (Selby Smith et al, 1998). Arti penting riset juga akan
terlihat berguna karena semakin banyak riset dilakukan dengan keterlibatan
guru, kepala sekolah, dan masyarakat, validitas data dengan sendirinya akan
jauh lebih baik.
Jarangnya riset dan survei yang melibatkan
guru dan kepala sekolah inilah yang menyebabkan matinya tradisi riset di
lingkungan para guru karena riset selalu dimaknai sebagai sesuatu yang sulit
dan tak bermanfaat. Contoh paling konkret misalnya terlihat dari bagaimana
cara guru dalam menyikapi kebijakan tentang penulisan ilmiah sebagai
perangkat kelengkapan kenaikan pangkat.
Tak jarang guru hanya melakukan copy paste
terhadap persyaratan itu tanpa mau bersulit-sulit melakukan riset dan
analisis terhadap masalah yang ada di sekitar mereka. Ada banyak bukti yang
dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa bangsa ini sesungguhnya mencintai
kerja keras dan kesungguhan untuk terus mau belajar. James Tooley (2013)
dalam The Beautiful Tree: a personal
journey into how the world's poorest people are educating themselves
mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem
pendidikan dan politik yang tidak berpihak terhadap mereka.
Kehidupan ialah soal menjaga kemungkinan
untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang. Sistem pendidikan yang
baik tentu saja harus mengadopsi beragam kemungkinan, termasuk memelihara asa
dan kemungkinan anak-anak agar mau bekerja sama, bekerja keras, dan belajar
dengan sungguh-sungguh. Semoga di sisa dua tahun ke depan pemerintahan
Jokowi-JK tak malu untuk mengubah orientasi pendidikan yang telah berjalan di
tempat selama 15 tahun! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar