Negara
dan Kebinekaan
Eko Sulistyo ;
Deputi Komunikasi Politik dan
Diseminasi Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KORAN SINDO, 15 Desember
2016
TOLERANSI dan kebinekaan dalam bingkai
Indonesia adalah wacana yang kerap digulirkan Presiden Jokowi dalam berbagai
kesempatan. Menurut Presiden, sebagai bangsa yang majemuk Indonesia harus
memperkuat diri dengan semangat toleransi dan persatuan di tengah kebinekaan.
Toleransi dan persatuan adalah modal bangsa yang kokoh untuk menghadapi
berbagai tantangan bangsa.
Ancaman intoleransi dan krisis kepribadian
bangsa terjadi akibat politik penyeragaman yang telah mengikis karakter
Indonesia sebagai bangsa pejuang, memudarkan solidaritas dan gotong-royong,
serta meminggirkan kebudayaan lokal. Jati diri bangsa terkoyak oleh
merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi.
Sementara sikap tidak mau hidup bersama
dalam sebuah komunitas yang beragam telah melahirkan ekspresi intoleransi
dalam bentuk kebencian, permusuhan, diskriminasi dan tindakan kekerasan
terhadap ”yang berbeda”.
Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa
negara tidak boleh kalah melawan intoleransi, tapi harus hadir menegakkan
hukum, keamanan, dan ketertiban melalui perangkat negara sesuai peraturan
undang-undang. Dalam Nawacita, salah satu program prioritas pemerintah adalah
menghadirkan negara menjaga persatuan, kebinekaan dan melindungi anak bangsa.
Kehadiran negara untuk menjaga toleransi
dan kemajemukan memerlukan kebijakan yang memperkuat pendidikan kebinekaan
dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.
Negara juga perlu melindungi segenap bangsa
dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara; membuat pemerintah tidak
absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis, dan tepercaya; melakukan revolusi karakter bangsa melalui
kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan
aspek pendidikan kewarganegaraan.
Penegakan
Hukum
Menurut Wahid Institute (WI), lemahnya
penegakan hukum adalah salah satu sebab tindakan aksi intoleran semakin
berkembang. Hampir tidak ada perubahan dalam pola penanganan kasus seperti
penegakan hukum dan pemulihan hak-hak korban. WI berpandangan, pemerintah
pusat mempunyai keinginan untuk menyelesaikan namun niat itu tidak
diimplementasikan secara nyata.
Presiden Jokowi merespons masukan banyak
pihak atas lemahnya penegakan hukum dengan memberikan arahan khusus kepada
Kapolri untuk menindak tegas pelaku intoleransi dan SARA. Presiden juga prihatin atas aksi beberapa kelompok
yang melarang kelompok lain beraktivitas atau mengadakan kegiatan. Padahal,
kebebasan berserikat dan berkumpul sudah jelas diatur dalam UUD 1945.
Dalam hukum yang berlaku tindakan intoleran
dapat berupa ”ujaran kebencian” (hate
speech) dan sudah termuat dalam KUHP, Pasal 156-157. Agar aparat
kepolisian tidak ragu menindak perbuatan ujaran kebencian Polri menerbitkan
Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.
Perbuatan dengan ujaran kebencian apabila
tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai ketentuan undang-undang,
berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas dan menimbulkan tindak
diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa.
Upaya
penegakan hukum yang keras juga
dilakukan pemerintah atas radikalisme yang menggunakan kekerasan bersenjata,
pengeboman, dan pembunuhan dalam segala bentuk terorisme dengan menggunakan
UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Beberapa hari lalu pemerintah dan DPR
berkonsultasi untuk merevisi undang-undang ini karena dirasa kurang memadai
lagi sebagai payung hukum untuk mencegah dan menanggulangi terorisme di
Indonesia. Revisi ini perlu diawasi oleh publik agar tidak dianggap
berpotensi melanggar HAM dan
undang-undang yang sudah ada.
Salah satu perkembangan tercanggih dalam
ujaran kebencian sampai terorisme adalah kampanye, propaganda oleh provokator
isu SARA dan jaringan teroris melalui internet dan media sosial. Pemerintah
menggunakan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk
melakukan penyaringan, memblokir, dan counter propaganda atas penyebaran ide
radikal dan terorisme melalui dunia maya sebagai dasar pemidanaan dan
memblokir pemilik blog dan akun yang mendukung terorisme. Untuk melawan
pemahaman radikalisme, Kementerian Komunikasi dan Informasi telah bekerja
sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme serta tokoh-tokoh agama.
Islam
Rahmatan Lil’alamin
Indonesia adalah negara dengan mayoritas
penganut Islam dan menjadi negara Islam terbesar di dunia dengan hampir 200
juta penganut. Agama Islam sangat berpengaruh dalam sejarah, kehidupan
sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat.
Indonesia adalah negara yang memisahkan
urusan agama dan negara. Namun, Indonesia adalah negara yang menghargai
nilai-nilai ketuhanan menurut konstitusi UUD 1945. Aspek religius bangsa
sangat jelas ditunjukkan dalam sila pertama Pancasila, ”Ketuhanan Yang Maha
Esa” yang menjadi roh dari empat sila berikutnya.
Islam dalam konteks Indonesia adalah Islam
moderat yang inklusif dan dapat hidup bersama dengan agama dan keyakinan
lain. Secara umum Islam moderat diwakili dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Menurut Din Syamsuddin, Mantan Ketua PP
Muhammadiyah, Islam Berkemajuan berjalan beriringan dengan konsep negara
Indonesia. Cita-cita yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 adalah hal yang
dicita-citakan oleh Islam Berkemajuan.
Berlainan dengan itu, menurut Ketua Umum
PBNU, KH Said Agil Siradj, Islam Nusantara adalah wujud Islam yang santun,
ramah, beradab, dan berbudaya. Islam Nusantara menjadi dasar bagi NU untuk
menjaga tegaknya konstitusi dan semangat kebangsaan.
Presiden Jokowi sendiri pernah menyatakan
kebanggaannya karena Islam di Indonesia memiliki peran penting dalam
mengonsolidasikan demokrasi. Bertindak sebagai penjaga kemajemukan dan
toleransi. Menentang radikalisme, segala bentuk terorisme, ekstremisme
kekerasan, dan dapat menjadi inspirasi bagi dunia. Menurutnya, di Indonesia Islam dan demokrasi dapat berjalan seiring
karena disatukan oleh satu rujukan, yaitu Pancasila yang menjadi dasar
negara.
Islam di Indonesia adalah Islam rahmatan lil’alamin, pembawa rahmat
dan kedamaian bagi seluruh alam dan bagi semua makhluk hidup di muka bumi
tanpa terkecuali. Islam rahmatan
lil’alamin tidak mengajarkan permusuhan dan perpecahan, tetapi
persaudaraan (ukuwah), mengasihi (rahman), dan menyayangi (rahim). Dalam
konteks lebih luas, perbedaan yang ada dalam Islam bukanlah untuk diperuncing,
tetapi menjadi sebuah kekuatan bersama untuk kemajuan bangsa.
Pancasila
Pemersatu Bangsa
Pada akhirnya bangunan pokok untuk
melindungi toleransi dan kemajemukan bangsa adalah dengan kembali membumikan
Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Lunturnya
nilai-nilai Pancasila adalah dampak dari penyalahgunaan Pancasila untuk
kepentingan kekuasaan.
Pancasila sebagai ideologi yang hidup tidak
boleh terkerangkeng lagi ke dalam formalitas penataran, sehingga tidak kontekstual
memasuki ruang-ruang hidup anak bangsa yang majemuk. Menjawab persoalan makin
menjauhnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara direspons serius
Presiden Jokowi dengan menjadikan Pancasila sebagai landasan dan arah dalam
membangun jiwa bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan, martabat, dan
kebanggaan sebagai sebuah bangsa.
Menegaskan kembali fungsi publik negara
serta menemukan jalan bagi masa depan bangsa dengan meneguhkan kembali jiwa
gotong-royong.
Pancasila yang sempat dijadikan alat
kekuasaan pada masa Orde Baru harus dikembalikan seperti yang dirumuskan para
pendiri bangsa sebagai dasar dan falsafah negara sekaligus sebagai alat
pemersatu bangsa. Karena Pancasila telah menjadikan Indonesia milik semua,
bukan milik sebuah kelompok, apalagi milik penguasa sebagaimana dikemukakan
oleh Soekarno, ”Kita mendirikan negara
Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar