Minggu, 12 April 2015

Urgensi Evaluasi Sistem Pengamanan Bandara

Urgensi Evaluasi Sistem Pengamanan Bandara

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 11 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Untuk yang kesekian kalinya, berulang kembali tragedi penyusupan ke dalam pesawat terbang. Aksi Mario Steven Ambarita (21) menyusup ke roda pesawat Garuda Indonesia pada Selasa (7/4/2015) lalu tak hanya menjadi sorotan media nasional. Beberapa media internasional menyoroti aksi gilanya. Media internasional yang menyoroti itu seperti media Inggris, Guardian, yang memberitakan Mario dengan judul “Indonesian Man Survives Hour-Long Flight to Jakarta Clinging to Landing Gear“.

Kemudian juga situs berita publik Australia, ABC, yang menyajikan berita “Indonesian Man Survives One-Hour Flight Stowed Away in Passenger Jet Wheel Housing“. Tak ketinggalan situs dari harian ternama Australia, Sydney Morning Herald, menurunkan berita berjudul “Indonesian Man Mario Steven Ambarita Rides in Garuda Airliner’s Landing Gear“, Kamis (9/4/2015).

Kejadian penyusupan pesawat terbang tersebut mengingatkan kembali publik pada aksi seorang remaja usia 15 tahun di Amerika Serikat. Menyelinap masuk ke dalam ruang roda pesawat Boeing 767, remaja ini beruntung bisa selamat mendarat di Mauii, Hawaii. Tak pelak, aksi ini membuat banyak kalangan mempertanyakan tingkat pengamanan di bandar udara (bandara).

Pengamanan bandara seharusnya mendapatkan tingkat pengamanan maksimum (maximum security). Sistem pengamanan bandara adalah upaya gabungan sumber daya manusia, fasilitas dan materi, serta prosedur dalam suatu rangkaian unsur yang bekerja sama sebagai pencegahan terhadap penyusupan senjata, bahan peledak, atau bahan-bahan lain di bandara yang mungkin digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan melawan hukum sehingga tercapai suatu tujuan yaitu melindungi penerbangan sipil dari tindakan melawan hukum.

Sebenarnya sejak 2004 telah dikeluarkan kebijakan pengamanan bandara melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 54 Tahun 2004 tanggal 21 Mei 2004 yang mengatur bahwa setiap penyelenggara bandara dan operator pesawat udara wajib membuat program pengamanan bandara dan program pengamanan operator pesawat udara disesuaikan dengan kondisi perkembangan yang memengaruhi keamanan dan keselamatan penerbangan sipil pada bandara dan perusahaan angkutan udara dan mengacu pada Program Nasional Pengamanan Penerbangan Sipil.

Program nasional pengamanan penerbangan sipil bertujuan untuk melindungi keselamatan, keteraturan, dan efisiensi penerbangan sipil di Indonesia dengan memberikan perlindungan terhadap penumpang, awak pesawat udara, para petugas di darat, masyarakat, pesawat udara, dan instalasi di bandara dari tindakan melawan hukum serta memberikan perlindungan terhadap operator pesawat udara.

Konsep kewajiban pengamanan bandara tersebut sejalan dengan Annex 17 Chapter 2 General Principles , Objectives of Aviation Security yang menyatakan bahwa: “each contracting state shall have as its primary objective the safety of passenger, crew, ground personnel and the general public in all matters related to safeguarding against of unlawful interference with civil aviation”, Maksudnya, setiap negara anggota harus mempunyai tujuan utama untuk melindungi keamanan penumpang, awak pesawat, petugas yang beroperasi di darat, dan masyarakat umum dalam segala hal yang berhubungan dengan pengamanan terhadap tindakan yang melawan hukum pada penerbangan sipil.

Bentuk ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang berpotensi terjadi di daerah lingkungan kerja bandara dapat berupa: 1) Ancaman bom, 2) Bencana alam, 3) Demonstrasi / unjuk rasa, 4) Kebakaran, 5) Pembajakan pesawat udara, 6) Penggelapan/ penyeludupan, 7) Pemerasan, 8) Pemalsuan/penipuan, 9) Perusakan, 10) Pemogokan, 11) Pencurian, 12) Percaloan, 13) Perdagangan/ liar, 14) Sabotase, 15) Serangan bersenjata, 16) Teror, dan 17)

Lain-lain yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaran operasi bandara maupun ketenangan dan ketenteraman kerja di bandara. Itulah yang seharusnya selalu menjadi konsiderasi kebijakan pengamanan bandara udara.

 Aksi penyusupan pesawat yang telah terjadi kesekian kalinya di negeri ini bisa memberi inspirasi aksi terorisme yang bisa saja dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengamanan berbagai bandara. Di dalam bandara ada beberapa daerah yang diklasifikasikan ke dalam daerah-daerah pengamanan yaitu: 1) Daerah tertutup, 2) Daerah terbatas, 3) Daerah publik (public area).

Dalam sistem pengamanan penerbangan sipil ada fasilitas yang dikategorikan vulnerable points. Vulnerable points adalah beberapa fasilitas atau yang berhubungan dengan fasilitas yang berada di bandara yang jika dirusak atau dihancurkan akan menimbulkan masalah yang sangat serius yang dapat melemahkan fungsi bandara.

Ihwal yang termasuk dalam kategori vulnerable points adalah menara pengawas lalu lintas udara, fasilitas-fasilitas komunikasi, radio navigasi, trafo listrik, catu daya utama dan cadangan, dan instalasi bahan bakar yang terdapat di dalam dan di luar kawasan bandara. Komunikasi dan radio navigasi yang jika dipalsukan dapat memberikan sinyal-sinyal yang salah untuk pedoman pesawat sehingga membutuhkan pengamanan yang ketat.

Penyusupan yang beberapa kali berhasil dilakukan terhadap penerbangan di negeri ini, yang terbaru yang dilakukan oleh Mario Steven Ambarita, justru merupakan peringatan yang sangat serius mengenai lemahnya sistem pengamanan bandara di negeri ini yang membahayakan bagi penerbangan dan masyarakat pengguna jasa penerbangan komersial.

Di tengah meningkatnya ancaman terorisme internasional saat ini, tragedi penyusupan pesawat tersebut seharusnya disikapi secara sangat serius baik oleh Kementerian Perhubungan maupun berbagai otoritas bandara udara untuk segera mengkaji ulang dan meningkatkan pengamanan bandara udara di seluruh negeri ini.

Jika seorang anak muda yang tak terlatih mampu melakukan penyusupan pesawat dengan leluasa, tentu ini bisa menjadi ancaman keamanan nasional yang sangat serius jika penyusupan itu dilakukan oleh orang terlatih yang bermaksud melakukan aksi terorisme.

Dalam dokumen ICAO, DOC 8973, persyaratan pagar pengaman adalah terdapat pada bagian 4.10.9 yang menyatakan bahwa pada umumnya pagar pengaman dan penghalang lainnya harus dipasang untuk mencegah rencana sabotase dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan di dekat pesawat atau daerah-daerah rawan.

Pagar ini harus cukup tinggi dan kuat/ tahan untuk: 1) Sulit dipanjat, 2) Tidak mudah melengkung atau bengkok, 3) Mencegah mudah digali. Selanjutnya dalam dokumen ICAO, DOC 8973, pada bagian 4.10.10 Security fences lines dinyatakan pula bahwa jika mungkin, sepanjang jalur pagar pengaman harus bebas dari penghalang seperti tiang listrik, pohon, tempat penumpukan peralatan, kendaraan, dan lainlain sejauh 3 meter ke arah luar dan dalam pagar.

Bila hal tersebut tidak diterapkan, ketinggian pagar harus ditingkatkan hingga 2,44 meter di atas peralatan, kendaraan, dan lain-lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya guna keperluan pengawasan. Bahkan, dalam dokumen ICAO, DOC 8973 Chapter 4 pada bagian 4.10.12, jenis konstruksi yang cocok untuk pagar pengaman yaitu terbuatdari metal yang didukung oleh beton ataupun baja.

Kawat yang digunakan tebalnya tidak boleh kurang dari 10 gaug e US dengan lubang bidik kurang dari 5 cm2 sehingga sulit untuk dipanjat tingginya pagar bergantung topografi. Tinggi pagar minimal 2,13 meter dan pada atasnya diletakkan kawat duri yang melingkar yang sudutnya mengarah pada daerah yang diperkirakan menjadi sasaran terjadi gangguan. Selain dari peralatan pengamanan dan personal security, sistem perizinan juga diberlakukan untuk mencegah masuknya orang-orang yang tidak berkepentingan.

Sistem perizinan yang ditetapkan oleh unit kerja yang ditunjuk dan unit kerja yang melaksanakan sistem perizinan tersebut harus bertanggung jawab terhadap pengawasan penggunaan izin yang diberikan dan prosedur administrasi perizinan tersebut. Selain kepada penumpang dan pegawai, kendaraan yang digunakan untuk menunjang kegiatan penerbangan juga harus memiliki izin masuk.

Beberapa hal tersebut kiranya menjadi masukan bagi Kemenhub dan berbagai otoritas bandara untuk mengevaluasi kembali sistem keamanan bandara udara agar tak terjadi lagi penyusupan pesawat yang mengancam keselamatan penumpang, terlebih jika kemudian dilakukan oleh teroris!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar