Selfie, Juga Narsis
Rhenald Kasali
; Akademisi, Praktisi
Bisnis dan Guru Besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
|
JAWA
POS, 07 April 2015
SAYA kira, kita sudah semakin akrab menyaksikan fenomena semacam
ini. Anak-anak muda pergi ke restoran. Mereka memesan hidangan. Sambil
menunggu pesanan datang, mereka sibuk memotret diri sendiri. Selfie, begitu
istilahnya.
Ketika pesanan datang, mereka juga tak langsung makan. Mereka
sibuk memotret makanan atau minuman yang tersaji. Bukan dengan kamera,
melainkan dengan smartphone.
Kadang beberapa di antara mereka meminta bantuan para pelayan
restoran untuk memotret. Pada bulan Ramadan, bukannya membaca doa begitu
waktu berbuka, tetapi meng-upload dulu hasil foto ke akun media sosial
mereka. Bisa ke Twitter, Facebook, atau Instagram. Kita menyebutnya dengan
istilah update status.
Baru setelah itu, mereka menyantap hidangan.
Sebagian kalangan menilai wajar aksi anak-anak muda itu. Tapi,
ada juga yang menilainya sudah berlebihan. Silakan kalau Anda punya penilaian
tersendiri.
Promosi Gratis
Hanya, bukan itu yang menjadi bahasan saya kali ini. Saya hanya
ingin mengingatkan kalangan praktisi bisnis agar tidak memandang sepele aksi
anak-anak muda tersebut. Saya tahu persis, ada beberapa pebisnis restoran
yang menganggap serius hal itu. Mereka tidak hanya melihat aksi selfienya,
tetapi juga berkombinasi dengan fenomena narsistisnya.
Foto-foto itu pasti tidak hanya digunakan sebagai dokumentasi
pribadi, melainkan diunggah ke media sosial sehingga menjadi informasi
bersama. Itu sebabnya banyak pemilik restoran kini sudah menambah satu lagi
persyaratan bagi calon karyawan yang ingin bekerja di restorannya, yakni tahu
cara memotret dengan smartphone.
Bagi karyawan yang telanjur bergabung, mereka harus belajar cara
memotret yang benar dengan smartphone. Itu bukan pekerjaan yang sulit, meski
juga tidak bisa dibilang gampang. Mengapa?
Catat, mereka bukan asal bisa memotret. Tapi, mereka juga harus
mampu serba sedikit untuk bertindak sebagai pengarah gaya. Lalu, mereka juga
harus tahu dan mampu mengarahkan pelanggan agar mau berpose di lokasi-lokasi
yang bagus di restorannya.
Sebagai pebisnis, Anda tahu bukan apa yang dimaksud dengan
lokasi yang bagus? Iya, benar. Lokasi di mana logo atau nama perusahaan atau
restoran tercantum.
Atau lokasi yang menjadi penanda kehadiran perusahaan Anda.
Begitu foto-foto selfie itu di-upload oleh pelanggan ke akun
media sosial mereka, entah di Twitter, Facebook, atau Instagram, bayangkan
berapa banyak pasang mata yang akan melihat logo atau nama perusahaan Anda.
Lalu, ada mesin pencari Google yang menautkan foto-foto dari media sosial
dengan kebutuhan orang lain akan informasi. Klop.
Jadi, ketika ada orang mencari via Google tentang tempat makan
yang enak, sangat boleh jadi yang bakal muncul adalah nama restoran Anda.
Bukankah itu semua merupakan sarana promosi yang gratis.
Kalangan yang paham periklanan bahkan memberikan nilai lebih
bagi promosi gratisan semacam itu. Mengapa? Sebab, yang menjadi endorser adalah orang ketiga. Pihak
yang netral. Bukan bintang iklan yang sengaja dibayar untuk itu.
Jadi, dalam kasus ini, maraknya aksi selfie dan narsis dari customer akan meningkatkan reputasi
restoran. Apa jadinya kalau makanan dari restoran Anda tidak enak,
pelayanannya buruk, tak ada sudut-sudut yang menarik untuk berfoto, atau
pelayannya tak mampu memotret dengan baik? Anda menuai badai.
Menurut Sherry Turkle, profesor psikologi dari Massachusetts
Institute of Technology, selfie merupakan cara seseorang merekam momen untuk
diperlihatkan kepada orang lain. Katanya, orang tidak lagi merasa menjadi dirinya sendiri,
kecuali mereka berbagi pikiran dan perasaan kepada orang lain. Jadi, kalau dulu Descartes, filsuf Prancis, mengatakan, "I think, therefore I am," sekarang
dengan adanya internet dan media sosial berubah menjadi, "I share, therefore I am."
Berbagi, termasuk berbagi foto atau cerita, adalah sesuatu yang
baik-baik saja. Namun, yang perlu mendapat perhatian, sebagian besar remaja
cenderung narsis kalau mengalami depresi.
Selain itu, sisi aktivitas sosial mereka cenderung rendah. Itu
sebabnya mereka menghabiskan banyak waktu di dunia maya. Jadi, betul kata
pepatah klasik, "Sesuatu yang
berlebih-lebihan itu tidak baik." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar