Rupiah dan Daya Saing Indonesia di Pasar MEA
Baddrut Tamam
; Ketua Fraksi
PKB DPRD Jawa Timur
|
JAWA
POS, 07 April 2015
''Een natie van koelias en een
koelie onder de naties.'' (“Bangsa yang tidak berdaya saing adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa lain.”) (Soekarno)
Di tengah upaya Indonesia mengejar ketertinggalan dalam
persiapan menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, situasi
makroekonomi nasional justru menghadapi turbulensi. Yakni, masih lemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Seiring dengan
membaiknya fundamental ekonomi AS dan Uni Eropa pascaresesi ekonomi beberapa
tahun silam, sedikit demi sedikit arus modal global mulai masuk kembali ke
perputaran ekonomi negara-negara maju. Dana para investor yang sebelumnya
''parkir'' sejenak di berbagai pasar ekonomi Asia kini mulai ''mudik'' ke
kampung halamannya semula (AS dan Uni Eropa). Hal inilah yang mengakibatkan
rupiah mengalami kontraksi. Nilai tukar rupiah yang awalnya berada dalam
kisaran Rp 11.000 per USD kini merosot dalam kisaran Rp 13.000 per USD.
Pertanyaannya kemudian, sejauh mana pengaruh melemahnya nilai
tukar rupiah ini terhadap daya saing perekonomian Indonesia di level regional
(baca: ASEAN)? Lebih khusus lagi, bagaimana pengaruh posisi nilai tukar
rupiah terhadap daya saing produk-produk Indonesia di pasar MEA? Pertanyaan
tersebut relevan mengingat problem utama Indonesia dalam menghadapi MEA
adalah daya saing ekonomi, terutama daya saing produk nasional untuk
berkompetisi dengan serbuan produk-produk kompetitor dalam pasar MEA.
Meskipun bukan segala-galanya, variabel daya saing merupakan faktor utama
dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sebab, negara yang
tak berdaya saing ekonominya akan hancur lebur, akan bangkrut (a failed state) (Stiglitz, 2001; Perkins, 2005).
Bukti lemahnya daya saing kita dapat dirujuk dalam laporan ASEAN
Community Progress Monitoring System (ACPMS) 2013 yang menyebutkan, ongkos
ekspor per kontainer untuk produk-produk dalam negeri Indonesia merupakan
yang termahal ketiga di ASEAN setelah Brunei dan Kamboja. Sebaliknya, ongkos
impor justru merupakan yang termurah ketiga di ASEAN. Secara kritis, kondisi
ini menggambarkan pelaku usaha akan sulit menjual produknya di luar negeri
karena harga yang tidak kompetitif. Namun, customer di dalam negeri justru akan dapat menikmati barang impor
yang cukup murah dari pasar ASEAN. Vicious
cycle akan muncul ketika pelaku usaha tidak melihat MEA sebagai peluang
untuk memperoleh bahan baku murah dan di saat yang sama sulit berkompetisi
dengan produk-produk asing.
Begitu pula dengan hasil penelitian LPPM UGM dan JICA (2013)
yang menunjukkan bahwa kendala utama pengembangan daya saing bisnis di
Indonesia berkaitan dengan berbagai aspek seperti permodalan, pemasaran,
bahan baku, ketersediaan energi, keahlian tenaga kerja, kemudahan
transportasi (infrastruktur), dan upah buruh.
Menjadi Peluang
Bak pedang bermata ganda, fenomena pelemahan nilai tukar rupiah
belakangan ini sebenarnya mengandung dampak positif dan negatif sekaligus.
Berdampak negatif karena akan berpengaruh langsung terhadap fundamen ekonomi
nasional, terutama naiknya harga komoditas-komoditas penting yang selama ini
kita peroleh melalui jalur impor. Sebaliknya, gejala ini juga menyimpan
potensi positif dari sudut pandang terbukanya kesempatan bagi produk-produk
nasional yang berkategori barang impor untuk bersaing di kancah global.
Argumennya, pelemahan nilai tukar rupiah dapat meningkatkan daya
saing produk ekspor Indonesia karena harga (cost) produk Indonesia menjadi relatif lebih rendah terhadap
dolar. Namun, meski membuka celah peluang, bukan berarti kondisi ini otomatis
menghasilkan keuntungan. Sebab, selain aspek harga (cost), ada dua komponen lain yang ikut berkontribusi dalam
menentukan kualitas daya saing sebuah produk, yaitu kualitas produk (quality) serta kecepatan dan ketepatan
waktu pengiriman barang (service) (Rifai Gani, 2015).
Peluang bagi peningkatan daya saing produk-produk ekspor
Indonesia secara harga jual (cost)
di pasar ASEAN dan global yang diawali dengan ''momentum'' pelemahan rupiah
terhadap dolar ini tidak dapat termanfaatkan dengan optimal karena tidak
maksimalnya peran dua faktor penunjang lainnya. Yakni, faktor peningkatan
kualitas produk dan service produk Indonesia di kancah global. Merujuk pada
laporan ASEAN Community Progress
Monitoring System (ACPMS) 2013, kualitas dan service produk-produk
Indonesia belum kompetitif dibandingkan para kompetitornya di kancah
regional.
Parahnya, peran pemerintah hingga saat ini belum optimal karena
sebagaimana ditengarai oleh Lim Jock Hoi (dalam Basu Das, 2012), kelemahan
kebanyakan pemerintahan negara berkembang di ASEAN adalah kegagalan mereka
menyeimbangkan regulasi pertumbuhan aliran investasi langsung (padat modal)
dengan kebijakan mengembangkan pertumbuhan usaha-usaha padat karya (level
kecil-menengah). Indikasinya, hingga saat ini, pemerintah belum
menginisiatori pembentukan lembaga yang mengurusi peningkatan daya saing yang
mampu melakukan kolaborasi lintas sektor untuk menghadapi pasar MEA.
Belum Siap
Gambaran di atas diperparah dengan persepsi para pelaku usaha.
Cita-cita integrasi ekonomi ASEAN dalam nomenklatur MEA yang digagas sejak
2007 masih dipandang berbeda oleh para pelaku usaha di ASEAN. Basu Das (2012)
mengungkapkan kesadaran mengenai MEA terlihat rendah di kalangan mayoritas
pelaku usaha di ASEAN. Hanya pelaku usaha di Singapura yang merasa lebih
optimistis karena mereka tertarik dengan ukuran pasar regional ASEAN yang
besar, kedekatan geografis, dan ongkos produksi yang lebih rendah.
Sedangkan di Indonesia, dari riset yang dilakukan ASEAN Studies Centre (ASC) Fisipol UGM
tahun 2014, banyak pelaku usaha, terutama usaha level menengah, yang kurang
siap dalam menyambut pemberlakukan MEA 2015. Para pelaku usaha tersebut masih
terbiasa dengan strategi mengelola pasar domestik, sehingga tidak memiliki
ide yang jelas mengenai strategi pemerekan (branding) dan pemasaran (marketing)
yang berorientasi ASEAN. Bahkan, mereka tidak pada posisi mendukung
liberalisasi dan perluasan pasar di luar batas negara karena ketakutan akan
erosi pemain lain yang lebih kompetitif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar