Rabu, 08 April 2015

Rupiah dan Daya Saing Indonesia di Pasar MEA

Rupiah dan Daya Saing Indonesia di Pasar MEA

Baddrut Tamam  ;  Ketua Fraksi PKB DPRD Jawa Timur
JAWA POS, 07 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

''Een natie van koelias en een koelie onder de naties.'' 
(“Bangsa yang tidak berdaya saing adalah bangsa kuli dan kulinya bangsa lain.”)
(Soekarno)

Di tengah upaya Indonesia mengejar ketertinggalan dalam persiapan menyongsong era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, situasi makroekonomi nasional justru menghadapi turbulensi. Yakni, masih lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Seiring dengan membaiknya fundamental ekonomi AS dan Uni Eropa pascaresesi ekonomi beberapa tahun silam, sedikit demi sedikit arus modal global mulai masuk kembali ke perputaran ekonomi negara-negara maju. Dana para investor yang sebelumnya ''parkir'' sejenak di berbagai pasar ekonomi Asia kini mulai ''mudik'' ke kampung halamannya semula (AS dan Uni Eropa). Hal inilah yang mengakibatkan rupiah mengalami kontraksi. Nilai tukar rupiah yang awalnya berada dalam kisaran Rp 11.000 per USD kini merosot dalam kisaran Rp 13.000 per USD.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana pengaruh melemahnya nilai tukar rupiah ini terhadap daya saing perekonomian Indonesia di level regional (baca: ASEAN)? Lebih khusus lagi, bagaimana pengaruh posisi nilai tukar rupiah terhadap daya saing produk-produk Indonesia di pasar MEA? Pertanyaan tersebut relevan mengingat problem utama Indonesia dalam menghadapi MEA adalah daya saing ekonomi, terutama daya saing produk nasional untuk berkompetisi dengan serbuan produk-produk kompetitor dalam pasar MEA. Meskipun bukan segala-galanya, variabel daya saing merupakan faktor utama dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Sebab, negara yang tak berdaya saing ekonominya akan hancur lebur, akan bangkrut (a failed state) (Stiglitz, 2001; Perkins, 2005).

Bukti lemahnya daya saing kita dapat dirujuk dalam laporan ASEAN Community Progress Monitoring System (ACPMS) 2013 yang menyebutkan, ongkos ekspor per kontainer untuk produk-produk dalam negeri Indonesia merupakan yang termahal ketiga di ASEAN setelah Brunei dan Kamboja. Sebaliknya, ongkos impor justru merupakan yang termurah ketiga di ASEAN. Secara kritis, kondisi ini menggambarkan pelaku usaha akan sulit menjual produknya di luar negeri karena harga yang tidak kompetitif. Namun, customer di dalam negeri justru akan dapat menikmati barang impor yang cukup murah dari pasar ASEAN. Vicious cycle akan muncul ketika pelaku usaha tidak melihat MEA sebagai peluang untuk memperoleh bahan baku murah dan di saat yang sama sulit berkompetisi dengan produk-produk asing.

Begitu pula dengan hasil penelitian LPPM UGM dan JICA (2013) yang menunjukkan bahwa kendala utama pengembangan daya saing bisnis di Indonesia berkaitan dengan berbagai aspek seperti permodalan, pemasaran, bahan baku, ketersediaan energi, keahlian tenaga kerja, kemudahan transportasi (infrastruktur), dan upah buruh.

Menjadi Peluang

Bak pedang bermata ganda, fenomena pelemahan nilai tukar rupiah belakangan ini sebenarnya mengandung dampak positif dan negatif sekaligus. Berdampak negatif karena akan berpengaruh langsung terhadap fundamen ekonomi nasional, terutama naiknya harga komoditas-komoditas penting yang selama ini kita peroleh melalui jalur impor. Sebaliknya, gejala ini juga menyimpan potensi positif dari sudut pandang terbukanya kesempatan bagi produk-produk nasional yang berkategori barang impor untuk bersaing di kancah global.

Argumennya, pelemahan nilai tukar rupiah dapat meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia karena harga (cost) produk Indonesia menjadi relatif lebih rendah terhadap dolar. Namun, meski membuka celah peluang, bukan berarti kondisi ini otomatis menghasilkan keuntungan. Sebab, selain aspek harga (cost), ada dua komponen lain yang ikut berkontribusi dalam menentukan kualitas daya saing sebuah produk, yaitu kualitas produk (quality) serta kecepatan dan ketepatan waktu pengiriman barang (service) (Rifai Gani, 2015).

Peluang bagi peningkatan daya saing produk-produk ekspor Indonesia secara harga jual (cost) di pasar ASEAN dan global yang diawali dengan ''momentum'' pelemahan rupiah terhadap dolar ini tidak dapat termanfaatkan dengan optimal karena tidak maksimalnya peran dua faktor penunjang lainnya. Yakni, faktor peningkatan kualitas produk dan service produk Indonesia di kancah global. Merujuk pada laporan ASEAN Community Progress Monitoring System (ACPMS) 2013, kualitas dan service produk-produk Indonesia belum kompetitif dibandingkan para kompetitornya di kancah regional.

Parahnya, peran pemerintah hingga saat ini belum optimal karena sebagaimana ditengarai oleh Lim Jock Hoi (dalam Basu Das, 2012), kelemahan kebanyakan pemerintahan negara berkembang di ASEAN adalah kegagalan mereka menyeimbangkan regulasi pertumbuhan aliran investasi langsung (padat modal) dengan kebijakan mengembangkan pertumbuhan usaha-usaha padat karya (level kecil-menengah). Indikasinya, hingga saat ini, pemerintah belum menginisiatori pembentukan lembaga yang mengurusi peningkatan daya saing yang mampu melakukan kolaborasi lintas sektor untuk menghadapi pasar MEA.

Belum Siap

Gambaran di atas diperparah dengan persepsi para pelaku usaha. Cita-cita integrasi ekonomi ASEAN dalam nomenklatur MEA yang digagas sejak 2007 masih dipandang berbeda oleh para pelaku usaha di ASEAN. Basu Das (2012) mengungkapkan kesadaran mengenai MEA terlihat rendah di kalangan mayoritas pelaku usaha di ASEAN. Hanya pelaku usaha di Singapura yang merasa lebih optimistis karena mereka tertarik dengan ukuran pasar regional ASEAN yang besar, kedekatan geografis, dan ongkos produksi yang lebih rendah.

Sedangkan di Indonesia, dari riset yang dilakukan ASEAN Studies Centre (ASC) Fisipol UGM tahun 2014, banyak pelaku usaha, terutama usaha level menengah, yang kurang siap dalam menyambut pemberlakukan MEA 2015. Para pelaku usaha tersebut masih terbiasa dengan strategi mengelola pasar domestik, sehingga tidak memiliki ide yang jelas mengenai strategi pemerekan (branding) dan pemasaran (marketing) yang berorientasi ASEAN. Bahkan, mereka tidak pada posisi mendukung liberalisasi dan perluasan pasar di luar batas negara karena ketakutan akan erosi pemain lain yang lebih kompetitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar