Putusan Hakim Bisa Berbeda
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 02 April 2015
Pada hakikatnya hakim di Indonesia tidak wajib mengikuti putusan
hakim sebelumnya dalam perkara sejenis. Hakim tidak terikat sepenuhnya pada
asas ”the binding force of precedent”
(asas preseden) dalam perkara sejenis seperti pada negara-negara yang menganut
sistem hukum ”common law (anglo saxon)”.
Itulah yang tecermin dalam putusan praperadilan di Pengadilan
Negeri (PN) Purwokerto soal penetapan tersangka oleh penyidik. Hakim
Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar pada Selasa 10 Maret 2015 menolak gugatan
praperadilan yang diajukan Mukti Ali yang ditetapkan tersangka korupsi oleh
penyidik kepolisian. Hakim praperadilan PN Purwokerto menyatakan penetapan
tersangka bukan ranah praperadilan seperti dimaksud Pasal 77 KUHAP.
Perkara yang dapat diputus melalui sidang praperadilan hanyalah
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian
penuntutan, serta rehabilitasi nama baik dan mekanisme permintaan ganti rugi.
Termasuk penyitaan sebagaimana tersirat dalam Pasal 82 Ayat (3) huruf-d KUHAP
bahwa ”Jika putusan menetapkan bahwa
benda/barang bukti yang disita tidak termasuk alat pembuktian, maka
beda/barang bukti tersebut harus dikembalikan kepada tersangka/terdakwa atau
dari siapa benda itu disita”.
Rupanya hakim Kristanto Sahat punya keyakinan tidak memiliki
kewenangan untuk mengubah status tersangka Mukti Ali yang ditetapkan oleh
Polres Banyumas. Tentu publik akan bertanya, mengapa ada dua pengadilan
memutus berbeda pada perkara sejenis? Sebab pertimbangan hukum Kristanto
Sahat berbeda dari yang digunakan hakim PN Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi
yang membatalkan status tersangka korupsi yang ditetapkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hakim PN Jakarta Selatan menggunakan pertimbangan lain dengan
alasan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Ia ingin mengisi kekosongan hukum, padahal dipahami bahwa ketentuan hukum
formil (hukum acara) yang sudah jelas dan tegas tidak boleh ditafsirkan
menyimpang dari yang sudah diatur melalui penemuan hukum. Berbeda pada hukum
materiil yang memang diperbolehkan melakukan penemuan hukum secara progresif.
Pertimbangan
Hukum
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus senantiasa
membekali dirinya dengan ilmu hukum yang luas. Hal ini ditekankan Soedikno
Mertokusumo (1993:45- 46), bahwa ”pekerjaan
hakim kecuali bersifat praktisrutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya
menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk
memantapkan pertimbangan hukum sebagai dasar dari putusannya”.
Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum dalam putusan hakim
yang secara teoretis mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kiranya
para hakim perlu lebih mendalami sistem peradilan ”civil law system (Eropa kontinental) ” yang secara teori dianut
di Indonesia. Hakim diikat oleh undang- undang (hukum tertulis) dan kepastian
hukumnya dijamin melalui bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang.
Hakim Indonesia boleh saja mengikuti putusan hakim sebelumnya
pada perkara sejenis, tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat. Tugas dan
tanggung jawab hakim adalah memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan
bersalah atau tidak, atau pihak yang beperkara sekaligus menerapkan hukumnya.
Metode berpikir hakim dilakukan secara deduktif, yaitu berpikir dari yang
umum ke yang khusus.
Hakim berpikir dari ketentuan umum untuk diterapkan pada kasus
in-konkreto (aturan khusus) yang sedang diadili. Hakim pada sistem hukum civil law boleh saja mengikatkan diri
pada preseden, tetapi tidak wajib. Bahkan di Inggris yang menganut sistem
hukum common law, hakim sering juga melepaskan diri dari keterikatan asas
preseden tertentu apabila kebutuhan masyarakat menghendaki lain.
Pertimbangan hukum harus jadi rujukan (reference) terhadap amar putusan. Setiap putusan harus
berdasarkan pada pertimbangan hukum yang diperkuat oleh teori hukum terhadap
fakta yang terungkap dalam sidang. Dalam merumuskannya, hakim harus
melepaskan diri dari kepentingan politis, serta mengikatkan diri pada
ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Tidak menafsirkan hukum formil dan
prosesnya melebihi kebutuhan masyarakat.
Ada dua pendekatan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Pertama, ”pendekatan keilmuan” yang bertujuan untuk mengukuhkan putusan dari
sisi teori hukum agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridish en filosofich veranwoord).
Itulah dasar ilmiah suatu putusan hakim yang diharapkan dapat menyelesaikan
konflik, sekaligus diterima secara luas oleh masyarakat atau pihak yang
beperkara.
Kedua, ”pendekatan empiris” karena dalam realitasnya hukum tidak
otonom. Hukum selalu dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial yang ada di luar
hukum, seperti kekuatan ekonomi, politik atau kekuasaan, sosial, dan budaya
masyarakat. Hukum bukan kaidah yang bebas nilai lantaran bertitik tolak pada
manusia (orang) sebagai subjek yang berorientasi pada kulturaldanmoral.
Teorihukum yang direfleksi dalam pertimbangan hukum, selain menuntut
koherensi logikal, juga menuntut pembuktian empiris.
Keyakinan Hakim
Perbedaan penafsiran hakim pada kasus sejenis menunjukkan bahwa
kacamata yang dipakai untuk melihat perkara yang ditangani juga berbeda.
Penafsiran itu dituangkan dalam pertimbangan hukum yang akan menjadi penguat
amar putusan. Maka itu, konsekuensi dari pertimbangan hukum secara
substansial dapat ditafsirkan menjadi dua makna. Pertama, hakim yang
memeriksa dan memutus perkara diberi kemandirian atau kemerdekaan.
Tidak boleh ada intervensi sehingga pertimbangan hukumnya juga
mencerminkan putusan yang dihasilkan. Kedua, kemandirian hakim bukan berarti
kebebasan tanpa batas. Hakim harus memerankan nuraninya sebagai tanggung
jawab moral melalui putusan yang dijatuhkan agar sejalan dengan rasa keadilan
masyarakat.
Di belahan dunia mana pun, sistem hukum tidak akan mungkin bisa
menciptakan keadilan substantif kalau hakim yang merupakan wakil Tuhan di
dunia tidak memiliki independensi dalam memutus perkara. Putusan hakim yang
tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang sudah jelas dan tegas yang tidak
perlu lagi ditafsirkan, selain mencederai rasa keadilan masyarakat, juga
mendegradasi kepercayaan masyarakat pada hukum.
KUHAP adalah hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara
mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil yang dilanggar. Penafsiran
yang jauh menyimpang dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas bisa
menghambat, bahkan mengacaukan proses penyelesaian perkara. Berbeda pada
hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi mengikuti
dinamika kehidupan serta menghargai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Perbedaan tafsir terhadap ketentuan normatif, tentu dihargai
sebagai bagian dari proses mencapai keadilan. Di situlah fungsinya hakim sebagai
pengadil dengan memosisikan nurani dan keyakinannya, sehingga siapa pun yang
beperkara akan diputus secara adil. Setiap hakim diberi kebebasan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang tidak bisa diintervensi
oleh siapa pun.
Akan tetapi, hakim harus tetap berpijak pada keyakinan dan
ketentuan normatif yang mengatur tata cara menjatuhkan putusan. Apabila
pedoman itu tidak ditaati, akan membuka celah bagi pihak lain yang memiliki
kepentingan untuk mengintervensi hakim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar