Rekomendasi Ulama untuk Pemberantasan Korupsi
Romli Atmasasmita ;
Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
|
KORAN
SINDO, 02 April 2015
Baru-baru ini Johan Budi, salah satu komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), telah berdiskusi dengan para ulama Pondok
Pesantren Tebu Ireng. Diskusi tersebut melahirkan lima rekomendasi yang
ditujukan terhadap presiden.
Kelima rekomendasi tersebut adalah: Pertama, bahwa korupsi
merupakan kejahatan kemanusiaan. Kedua, negara harus dipimpin dengan akal
sehat dan berintegritas. Ketiga, dalam praktik pemberantasan korupsi ada
intervensi yang harus dicegah yang dapat melemahkan (baca KPK). Keempat, merekomendasikan
hukuman seberat- beratnya pemiskinan, sanksi sosial dan menolak pemberian
remisi dan bebas bersyarat.
Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan
dukungan politik bagi penguatan lembaga antikorupsi (baca KPK). Keikutsertaan
para ulama dan perhatian yang sangat besar terhadap pemberantasan korupsi
khususnya KPK sangat kita apresiasi, karena dalam pemberantasan korupsi
selain merupakan penegakan hukum adalah jugapenegakannilai-nilaiagama dan
moralitas individual dan masyarakat dalam kehidupan bangsa yang berlandaskan
pada Pancasila dan UUD 1945.
Kelima rekomendasi hasil diskusi para ulama dan Johan Budi
menunjukkan perhatian besar para ulama terhadap pemberantasan korupsi.
Penulis sangat sependapat dengan perhatian dan partisipasi kaum ulama. Namun,
masih ada yang terlewat dan tidak termuat dalam rumusan
halaqah para ulama karena saat ini dalam pengamatan penulis kinerja
pemberantasan korupsi oleh KPK jauh berbeda dengan Polri dan kejaksaan.
Perbedaan yang
mencolok adalah, baik dalam penganggaran yang jauh lebih besar dari Polri dan
kejaksaan yang memiliki cabang di seluruh kabupaten dan kota; termasuk
anggaran untuk iklan layanan (pemberitaan) antikorupsi dan anggaran untuk
koalisi antikorupsi. KPK memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan
Polri dan kejaksaan berdasarkan UU KPK.
Kewenangan luas tersebut diperkuat dengan strategi yang disebut ”naming and shaming” yang berarti ”menyebutkan terbuka nama tersangka dan permalukan” yang telah berhasil diwujudkan didukung oleh kedua pos anggaran
KPK tersebut. Selain langkah tindakan KPK tersebut, juga KPK telah
memanfaatkan media dan pers secara optimal sejak penyidikan sampai pada
proses penuntutan dan pemeriksaan pengadilan tipikor.
Bahkan dalam berbagai tayangan media elektronik, proses
penangkapan dan penggeledahan serta penyitaan harta tersangka selalu diikuti
media cetak dan elektronik. Sedangkan langkah dan tindakan tersebut sangat
terbatas dan jarang sekali dilakukan Polri dan kejaksaan;
bahkan di kedua institusi tersebut tidak ada dana untuk LSM antikorupsi.
Fakta terurai di atas menunjukkan bahwa baik pemerintah dan
parlemen justru telah memperkuat KPK dibandingkan dengan Polri dan kejaksaan.
Bahkan menurut penulis, pemerintah dan parlemen
telah bertindak diskriminatif terhadap Polri dan kejaksaan.
Strategi ”naming dan shaming” yang dilaksanakan KPK dan tidak
dimiliki oleh Polri dan kejaksaan, dalam pandangan penulis, tidak manusiawi
bahkan jauh dari nilai-nilai agama dan moralitas individual dan masyarakat
yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Karena dengan cara tersebut,
seorang tersangka KPK telah dizalimi jauh sebelum yang bersangkutan
ditetapkan sebagai terpidana.
Bahkan, sosok tersangka KPK telah berubah menjadi ”zombie”
ketika duduk berhadapan dengan majelis pengadilan tipikor tanpa daya dengan
pengacara yang terhebat sekalipun. Karena opini publik telah terbentuk bahwa
yang bersangkutan adalah penjahat dan harus dimusnahkan serta dimiskinkan dan
tidak perlu dimaafkan sehingga majelis hakim tipikor telah tersandera oleh karakter assassination yang
terbuka di ruang publik terhadap tersangka.
Kewenangan KPK berdasarkan UU KPK 2002 telah sangat luas dan
membuka ruang yang sangat leluasa terutama dengan kewenangan penyadapan yang
tidak dimiliki oleh Polri dan Kejaksaan sehingga kewenangan tersebut
sepatutnya diimbangi dengan proses hukum penemuan bukti-bukti permulaan yang
sesuai dengan UU.
Presiden Joko Widodo
menurut penulis telah bertindak benar dengan tidak melakukan intervensi
terhadap kasus BW dan AS karena telah berpegang teguh pada
amanahnya untuk tetap bersumpah setia pada UUD dan peraturan
perundang-undangan sesuai sumpah jabatannya selaku
presiden sekalipun sebagai kepala negara.
Para ulama mungkin belum memahami perbedaan hakiki antara kriminalisasi,
rekayasa dan politisasi. Kriminalisasi adalah perbuatan
yang semula tidak diancam pidana kemudian diancam pidana berdasarkan
undang-undang yang mengaturnya. Rekayasa
adalah perbuatan institusi penegak hukum (Polri, kejaksaan atau KPK)
yang telah menggunakan bukti-bukti yang diperoleh secara melawan hukum (ilegal) untuk menetapkan seseorang
sebagi tersangka.
Dan politisasi adalah perbuatan aparat penegak hukum menetapkan seseorang tersangka
dengan motif politik, didanai oleh partai politik atau disponsori oleh partai
politik. Untuk mengetahui bahwa ada pelemahan terhadap pimpinan KPK, sungguh
tidak perlu terjadi jika tidak ada kesalahan atau dosa masa lalu dari
pimpinan KPK atau kesalahan ketika menjalankan amanah sebagai pimpinan KPK.
Putusan hakim Sarpin membuktikan telah terjadi kekeliruan pimpinan KPK dalam menetapkan BG sebagai tersangka
yang bukan termasuk subjek hukum kewenangan KPK
berdasarkan UU KPK sendiri. Apakah juga putusan Pengadilan
Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan BG termasuk sebagai
upaya pelemahan KPK?
Dalam pandangan saya, pemiskinan koruptor merupakan salah satu
tujuan dan harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum sebagai tindakan
penyitaan dan perampasan aset koruptor yang tidak bertentangan dengan KUHAP
dan UU Tipikor atau UU TPPU; tidak boleh sekali-kali diartikan sebagai tujuan
menghalalkan cara (het
doelheiligdemidelen) karena cara-cara tersebut bertentangan dengan
keyakinan agama, Pancasila dan UUD 1945.
Presiden Joko Widodo
sudah benar dalam kebijakannya menghadapi masalah pimpinan KPK saat ini karena beliau telah menegaskan bahwa ”jangan ada sok kuasa hukum dan jangan kriminalisasi”! dan tentunya mereka yang
cerdik cendekia telah dapat menangkap arah pesan Presiden tersebut yang jelas dan
tegas! Penulis masih penasaran atas
rekomendasi hasil halaqah para ulama karena dalam KORAN SINDO (30 Maret 2015)
yang saya baca tidak memuat secara jelas masukan-masukan introspeksi kepada
KPK melalui Johan Budi.
Menurut penulis, seharusnya masukan-masukan para ulama juga
penting diketahui publik secara luas sebagai bentuk transparansi publik
sesuai dengan pertanggungjawaban KPK kepada publik berdasarkan UU KPK 2002. Transparansi dan
bentuk pertanggungjawaban kepada publik diperlukan agar publik juga dapat
mengawal langkah tindak lanjut pimpinan KPK terhadap masukkan dari hasil
halaqah para ulama tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar