Rabu, 01 April 2015

Perangkap Kenaikan HPP

Perangkap Kenaikan HPP

M Husein Sawit  ;  Mantan Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset
Kementerian Pertanian; Senior Advisor Perum Bulog 2003-2010
KOMPAS, 01 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pemerintah akhirnya mengumumkan kenaikan harga pembelian pemerintah gabah/beras. HPP beras menjadi Rp 7.300 per kilogram, naik 11 persen daripada HPP lama. Pengumuman itu disampaikan Presiden Joko Widodo di hadapan para petani di Indramayu, Jawa Barat (Kompas, 19/3). Sebelumnya, Presiden mengatakan, kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) didasarkan informasi berbagai sumber, seperti petani, bupati, dan gubernur (Kompas, 7/3). Melihat tempat pengumuman dan sumber informasi yang dirujuk dalam memutuskan kenaikan HPP, semakin kental muatan politiknya, semakin minim pertimbangan ekonomi/daya saing.

HPP yang diumumkan itu, HPP kualitas tunggal, beras kualitas rendah, yang diterapkan di Indonesia sejak 45 tahun lalu. HPP ini jauh lebih tinggi daripada harga ekspor beras Thailand atau Vietnam. Rata-rata harga beras kualitas premium (FOB Bangkok) 423 dollar AS per ton pada 2014. HPP beras yang baru setara dengan FOB Jakarta, 617 dollar AS per ton, lebih tinggi hampir 50 persen. Padahal, harga beras di pasar internasional cenderung turun.

HPP menjadi referensi pihak penggilingan padi dan pedagang, pembentuk harga beras di pasar. Kalau HPP beras kualitas rendah naik, akan diikuti kenaikan harga beras untuk semua jenis kualitas. Harga beras beruntun akan naik, mulai dari tingkat usaha tani, penggilingan padi, pasar grosir/eceran, hingga konsumen.

Kebijakan dukungan harga untuk komoditas padi sudah lama diterapkan di Indonesia. Pada pertengahan 1960-an, pemerintah mendorong petani meningkatkan produksi dengan memberikan sejumlah insentif. Pada awalnya hanya dikenal insentif non-harga, seperti varietas unggul, pemupukan, dan pemberantasan hama/penyakit.

Namun, kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi. Pada waktu produksi berlimpah, terutama pada musim panen raya, harga gabah sering berada di bawah ongkos produksi, petani menjadi kapok mengikuti anjuran pemerintah. Menyadari hal itu, pemerintah menambah dengan insentif harga dasar gabah/beras yang mulai diterapkan pada musim tanam 1969/1970.

Harga dasar diubah menjadi HPP pada 2005. HPP berbeda dengan harga dasar, pemerintah hanya membeli beras dalam jumlah tertentu sesuai kebutuhan penyaluran. Walaupun insentif harga berganti nama, berbeda fokus, tetapi persyaratan kualitas beras HPP sama seperti yang diterapkan 45 tahun lalu. Kecuali persyaratan butir patah yang sebelumnya 25 persen dinaikkan menjadi maksimum 20 persen, persyaratan kualitas lain tetap sama: derajat sosoh (minimum 95 persen), butir menir (maksimum 2 persen), dan kadar air (maksimum 14 persen). Itu persyaratan beras kualitas rendah.

Kini, situasi pasar beras di dalam negeri banyak berubah seiring peningkatan pendapatan masyarakat dan berkurangnya jumlah orang miskin. Beras kualitas bagus kian banyak diminati tidak hanya oleh masyarakat kota, tetapi juga masyarakat desa, menjadi penentu harga beras di 66 pasar referensi inflasi.

Pengadaan Bulog

Pengadaan gabah/beras dalam negeri Bulog berkaitan erat dengan besaran HPP, harga pasar, dan pertumbuhan produksi padi. Proporsi pengadaan setara beras Bulog pada musim panen raya (rata-rata 66 persen), musim panen gadu (30 persen), dan panen musim paceklik (4 persen). Itu terkait perkembangan harga dan kualitas gabah/beras, yaitu rendah pada periode panen raya (Februari-Mei), mencapai puncaknya tinggi periode Oktober-Januari (panen musim paceklik). Saat pemerintah menerapkan HPP tunggal (beras kualitas rendah) sama harganya sepanjang tahun, penetapan HPP itu "melawan" pergerakan harga gabah/beras antarmusim.

Jadi, kualitas beras pengadaan Bulog menjadi taruhannya, apalagi jika Bulog didorong pengadaan besar, lebih dari 2,5 juta ton beras per tahun. Salah urus di lapangan akan tinggi.

Implikasi dari kenaikan HPP beras kualitas rendah sangat luas. Pertama, pangsa pasar beras kualitas rendah semakin menarik buat penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S) sebagai produsen beras mutu rendah yang jumlahnya dominan, 93 persen dari jumlah penggilingan padi. Semakin banyak pengadaan Bulog, semakin besar pangsa pasar buat mereka, semakin enggan PPK/S memperbaiki/melengkapi alat mesin dan penggunaan mesin pengering (dryers).

Kedua, susut pada tahap pengeringan dan penggilingan sebesar 6,52 persen akan sulit diturunkan, rendemen giling juga sulit ditingkatkan di atas 62,74 persen. Pada saat yang sama, modernisasi PPK/S sulit terealisasi. Ketiga, kalau liberalisasi pasar ASEAN diimplementasikan, akan mempercepat tutup usaha PPK/S dan menurunkan harga gabah tingkat petani.

Pemerintah sebelumnya juga gagal meraih kembali swasembada beras, sebagian disumbangkan oleh penerapan HPP tunggal. Itu telah menciptakan disinsentif buat pelaku usaha untuk menekan susut pasca panen, meningkatkan rendemen giling, dan memperbaiki kualitas beras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar