Niat dan Perbuatan Jahat
Hikmahanto Juwana
; Guru Besar
Ilmu Hukum UI
|
KOMPAS,
01 April 2015
Denny
Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan sejumlah pegiat
anti korupsi lain dijadikan tersangka tindak pidana korupsi oleh penyidik
pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri.
Penyidik
menyangka adanya kerugian negara yang diakibatkan proyek paspor elektronik
atau payment gateway.
Sementara
Denny Indrayana mengatakan, sistem yang dibangun bertujuan agar praktik
percaloan pengurusan paspor dapat diberantas, dan masyarakat nyaman dan tidak
perlu antre dalam pengurusan paspor mereka.
Saat ini,
proses hukum sedang berjalan. Semua tentu wajib menghormati proses tersebut.
Hal penting
Artikel ini tidak bertujuan
membela Denny Indrayana.
Artikel ini untuk mengingatkan
kita akan satu hal penting dalam pemberantasan korupsi, yaitu aparat penegak
hukum harus menemukan bukti-bukti yang mengarah pada niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus) dari pelaku tindak pidana
korupsi.
Banyak pihak
yang telah divonis atau sedang menjalani proses hukum sebagai tersangka atau
terdakwa merasa bahwa mereka tidak memiliki niat dan perbuatan jahat. Jadi,
tidak seharusnya sangkaan, dakwaan, dan penjatuhan vonis korupsi ditujukan
kepada mereka.
Niat dan
perbuatan yang dimaksud adalah niat dan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi.
Dalam Pasal 2
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), niat dan perbuatan yang
harus dibuktikan adalah yang melawan hukum, sementara dalam Pasal 3 UU
Tipikor adalah niat dan perbuatan yang menyalahgunakan kewenangan.
Dalam tindak pidana korupsi,
membuktikan adanya niat sekaligus perbuatan jahat dari pelaku sangatlah
penting.
Ini berbeda dengan tindak pidana
yang terkait dengan nyawa. Dalam tindak pidana tersebut, ada sejumlah
variasi.
Apabila
seorang pelaku sengaja menghilangkan nyawa yang oleh awam disebut sebagai
pembunuhan, harus dibuktikan adanya niat sekaligus perbuatan untuk
menghilangkan nyawa tersebut.
Menyebabkan
matinya orang dapat terjadi meski tidak ada niat. Semisal pengemudi yang
menabrak seseorang hingga tewas. Pengemudi tersebut tentu tidak pernah
memiliki niat sejak mengemudikan mobil untuk membunuh orang.
Namun,
perbuatannya berakibat pada matinya orang. Pelaku dipersalahkan karena
kelalaian atau ketidaksengajaan.
Dalam situasi
lain bisa terjadi pelaku memiliki niat menghilangkan nyawa dengan meracun,
dan perbuatan sudah dilakukan, tetapi orang yang hendak diracun ternyata
tetap hidup.
Pelaku yang
mempunyai niat membunuh tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana meski tidak
ada yang mati. Dalam hukum pidana, ini disebut sebagai percobaan melakukan
tindak pidana.
Memang
percobaan melakukan tindak pidana korupsi bisa saja terjadi. Sebab, niat
telah ada dan perbuatan sudah dilakukan. Namun, karena satu dan lain hal,
perbuatan tersebut berakhir secara tidak sempurna. Dalam
tindak pidana korupsi, niat sekaligus perbuatan jahat harus ada. Tidak
mungkin pelaku melakukan korupsi jika tidak ada niat jahat. Dalam tindak
pidana korupsi, yang harus dipahami
adalah tidak mungkin karena ketidaksengajaan.
Tindak pidana
korupsi mensyaratkan adanya niat atau motif dari pelaku.
Hingga saat ini, ada terpidana
korupsi yang merasa tidak memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya
dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi.
Mereka menjadi terpidana karena
aparat penegak hukum menekankan pada adanya kerugian negara. Padahal,
tidak semua kerugian negara harus berujung dalam ranah pidana.
Kerugian
negara yang dapat diproses dalam ranah pidana adalah kerugian negara yang
pelakunya memiliki niat dan perbuatan jahat untuk memperkaya dirinya sendiri,
orang lain, atau korporasi, baik secara melawan hukum maupun dengan
menyalahgunakan kewenangan.
Penyidik yang
memulai suatu proses hukum tindak pidana korupsi kerap memulai suatu perkara
dengan melihat ada tidaknya kerugian negara. Mereka tidak memulai penyidikan
dengan menelusuri ada tidaknya niat jahat dari pelaku untuk memperkaya
dirinya sendiri, orang lain, atau korporasi.
Bagi penyidik, jika kerugian
negara telah dinyatakan ada, barulah dicari unsur melawan hukum atau
menyalahgunakan wewenang.
Repotnya
apabila dicari menjadi dicari-cari. Unsur melawan
hukum, misalnya, dicari-cari dari kesalahan administratif hingga pengambilan
keputusan atau kebijakan yang pada kemudian hari dianggap salah.
Keuntungan
Hal lain yang
perlu dicermati adalah ketika pelaku yang disidik dianggap memperkaya orang
lain atau korporasi.
Jika
keuntungan yang diperoleh dari orang lain atau korporasi merupakan proses
yang tidak berkaitan dengan niat jahat pelaku korupsi, hal tersebut tidak
seharusnya dikategorikan sebagai memperkaya orang lain atau korporasi.
Adalah wajar jika orang lain atau
korporasi dalam pengadaan barang atau jasa dengan pemerintah mendapat
keuntungan. Namun, apabila memperkaya
orang lain atau korporasi berkaitan erat dengan niat jahat dari pelaku korupsi,
barulah ini masuk dalam ranah tindak pidana korupsi.
Korupsi yang
merupakan musuh bersama tentu harus diperangi. Namun, jangan sampai munculnya
kerugian negara tanpa bukti niat dan perbuatan jahat menjadikan seseorang
sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.
Jika ini
terjadi, akan muncul kesan kriminalisasi atas seseorang. Inti kriminalisasi di sini adalah orang yang tidak mempunyai niat dan perbuatan jahat
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, tetapi ada
kerugian negara diproses dengan UU Tipikor.
Oleh karena
itu, di mana pun penyidik tipikor berada, baik di Kepolisian, Kejaksaan,
maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, harus cermat. Jika tidak cermat, jaksa
penuntut umum maupun pengadilan harus berani meluruskan. Jangan sampai orang tidak jahat harus mendekam di
penjara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar