Mungkinkah KPI Berperan tanpa Kewenangan?
Redi Panuju ; Pengajar Ilmu Komunikasi Unitomo Surabaya
|
JAWA
POS, 01 April 2015
PADA 30 Maret
hingga 2 April 2015 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan menggelar rapat
koordinasi nasional (rakornas) di Makassar. Acara tersebut merupakan forum
tahunan yang dikoordinasi KPI untuk membahas berbagai persoalan penyiaran,
baik yang tengah menghampiri maupun proyeksinya ke depan. Biasanya akan hadir
semua anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dari seluruh tanah
air, jajaran Kementerian Kominfo, industri penyiaran, dan para pengamat
media.
Antara Harapan dan Kenyataan
Sebagaimana
kita ketahui, pada awal Undang-Undang Penyiaran (UU Nomor 32 Tahun 2002)
dirancang, bangsa ini masih diliputi semangat gerakan reformasi untuk
mengubah suasana berbangsa dan bernegara yang otoriter sentralistis menjadi
demokratis desentralistis. Maka, ketika UU tersebut disahkan, semangat
berpihak kepada rakyat sangat besar.
Hal itu
terbukti, misalnya, dengan amanat UU untuk membentuk komisi yang khusus
menangani penyiaran (televisi dan radio) sebagai representasi kekuatan
masyarakat sipil (civil society).
Namun, realitas politiknya di parlemen tidak mengerucut pada idealisme
tersebut. Kekuatan Orde Baru masih cukup besar di parlemen yang
kecenderungannya ingin mengembalikan status quo, penyiaran dikelola negara
(baca: pemerintah) secara penuh.
Konsekuensinya,
ketika UU 32/2002 itu akan diloloskan, pandangan anggota dewan terbelah
menjadi dua. Yakni, (1) ada yang menghendaki bahwa untuk menjamin
demokratisasi dalam sistem penyiaran, harus ada kewenangan yang besar dari
kalangan sipil (civil society) guna mengatur dunia penyiaran, maka lahirlah
bayi civil society yang disebut KPI dan (2) ada kalangan yang menginginkan
keseimbangan kewenangan antara negara dan sipil untuk menata sistem
penyiaran.
Pada awalnya
pandangan pertama yang unggul sehingga banyak kewenangan penting di bidang
penyiaran diberikan kepada KPI. Ternyata, lahirnya lembaga baru yang
superbodi tersebut banyak menggalaukan kalangan industri. Beberapa asosiasi
penyiaran menggugat kewenangan KPI di Mahkamah Konstitusi dan berakhir dengan
diamputasinya kewenangan KPI. Termasuk kewenangan membentuk peraturan
pemerintah (PP) yang disebut dalam UU menjadi kewenangan pemerintah bersama
KPI, frasa tersebut tinggal pemerintah saja. Dengan demikian, pemerintah
melenggang membuat PP yang mengatur penyiaran pada 2005. Meskipun perlawanan
KPI lewat judicial review di Mahkamah Agung menggebu, toh tetap saja KPI
kalah telak. Sejak itulah KPI –yang semula diharapkan menjadi lembaga
independen dengan kemampuan mewarnai demokratisasi dalam dunia penyiaran–
berakhir menjadi macan ompong yang tak berdaya.
Selentingan
para pengamat media sering memerahkan telinga dengan memelesetkan kepanjangan
KPI sebagai Kantor Pos Indonesia. Maksudnya, ada kecenderungan KPI menjadi
koordinator problem penyiaran daerah dengan Kementerian Kominfo hanya dengan
meneruskan surat dari KPID ke Kominfo. KPI tidak lagi berjuang melawan
kebijakan Kominfo untuk menyelesaikan problem-problem penyiaran di daerah.
Padahal, KPI bukanlah kepanjangan kekuasaan pemerintah. KPI adalah
representasi masyarakat dalam dunia penyiaran.
Keadaan
seperti itu diakui sendiri oleh salah seorang Komisioner KPI pusat Bekti
Nugroho dalam "KPI Bukan Ikan Koi di Kolam" (Penyiaran Kita, edisi
September–Oktober 2014, halaman 18–20). Tulisan tersebut sungguh menyentuh
hati saya karena Saudara Bekti seolah menggiring empati semua stakeholder
sistem penyiaran untuk ikut "nelangsa" merasakan kewenangan lembaga
negara independen itu telah "dikebiri" habis-habisan. Sehingga
membuat KPI seperti satpol PP, macan ompong, atau ikan koi, yang hanya indah
saat bisa bercuap-cuap di kolam untuk dinikmati pemilik kolam. KPI tinggal
punya dua alternatif, menyerah tanpa perlawanan sehingga menjadi ikan koi
yang indah dipandang mata atau melawan habis-habisan dengan kewenangan yang
tersisa bak para pahlawan kita yang berjuang menggunakan bambu runcing
melawan senapan mesin milik penjajah.
Beberapa Opsi Perjuangan
Dalam
konstelasi kewenangan seperti itu, menurut saya, masih banyak yang bisa
dilakukan KPI untuk menguatkan perannya dalam sistem penyiaran. Justru ketika
KPI diposisikan sebagai ikan koi, ini merupakan keuntungan tersendiri.
Pertama,
kewenangan kita menjalankan P3-SPS menjadi pintu menguatkan posisi tawar KPI
kepada lembaga penyiaran dan pemerintah. Apa yang sudah diperbuat KPI dengan
memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran sama sekali bukan hal yang
sia-sia. Itu termasuk amar makruf nahi mungkar, amal saleh yang bisa membuat
warga KPI masuk surga karena telah menunjukkan kepada khalayak masyarakat
mana tontonan yang masuk kategori racun dan mana madunya.
Masalahnya,
temuan KPI ini perlu diperkuat "ikan koi" yang tidak hanya
bernyanyi, tapi juga "berteriak". Bila teriakannya kuat dan meluas
(karena itu peran humas harus didorong lebih kuat dan difasilitasi lebih
besar), lama-lama juga akan berdampak kepada masyarakat. Sedikit banyak media
akan kehilangan khalayaknya. Dalam industri penyiaran yang takluk pada rezim
rating, hilangnya pendengar dan penonton sama dengan hilangnya sebagian
napas. Karena itu, jadilah ikan koi yang menarik bukan karena warna-warni
tubuhnya, melainkan karena gerakannya yang meliuk-liuk dan kadang perlu
melompat-lompat.
Kedua, masih
dalam konteks ikan koi yang meliuk-liuk dan melompat, temuan-temuan
pelanggaran oleh KPI mestinya tidak berhenti sebagai outcome dokumen negara,
tetapi diteruskan sebagai "power" saat lembaga penyiaran sampai
pada evaluasi uji coba siaran (EUCS). Bukankah tanpa rekomendasi lulus
program siaran dari KPI, lembaga penyiaran tidak dapat meneruskan IPP
prinsipnya menjadi IPP tetap? Pernahkah ini dicoba?
Ketiga, suatu
ketika perlu meneruskan pelanggaran-pelanggaran program siaran ke pengadilan untuk
menguji daya sakti pasal 34 ayat 5 UU 32/2002, yakni bahwa izin
penyelenggaraan penyiaran bisa dicabut karena lembaga penyiaran melanggar
ketentuan standar program siaran (SPS). Dari rakornas ke rakornas yang
diselenggarakan KPI, SPS ini selalu dikritisi dan direvisi, tetapi belum
pernah dicarikan yurisprudensinya agar berlaku efektif. Masalahnya, maukah
KPI bersimbah keringat berurusan dengan pengadilan?
Keempat, KPI
masih punya kewenangan menutup dan membuka pintu masuk perizinan melalui
evaluasi dengar pendapat (EDP). Forum ini juga anugerah Tuhan bahwa KPI
memiliki kesempatan untuk menutup masuknya penyelenggara penyiaran dalam
belantika penyiaran. Khususnya untuk memastikan hak masyarakat memperoleh
siaran yang sehat serta terjaminnya siaran yang variatif (diversity of content). Karena itu,
rencana isi siarannya harus dicermati serta mencegah terjadinya pemusatan
kepemilikan yang dikhawatirkan memengaruhi terjadinya homogenitas program
siaran. Forum EDP menjadi bukti bahwa ikan koi masih punya taji (he he he,
kayak ayam saja!, pen).
Kelima,
Kementerian Kominfo harus diposisikan sebagai mitra yang harmonis. Terutama
penguatan peran KPI bisa masuk melalui keputusan-keputusan Kominfo.
Dialog-dialog segi tiga (Kominfo, KPI, dan lembaga penyiaran) yang selama ini
diadakan sudah sangat strategis. Masalahnya, outcome-nya sering hanya menjadi
kesepakatan yang tidak tertulis sehingga kekuatan hukumnya kurang mengikat.
Lobi merupakan satu kata kunci untuk menitipkan aspirasi KPI dalam
produk-produk kebijakan publik Kominfo dan begitu juga sebaliknya.
Selamat berakornas...! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar