Kamis, 02 April 2015

Metakomunikasi Eksekutif-Legislatif

Metakomunikasi Eksekutif-Legislatif

Nurudin  ;  Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

KONFLIK yang terjadi antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) DKI Jakarta sudah melenceng bukan pada inti pesan komunikasi, melainkan lebih pada cara mereka berkomunikasi. Jargon we cannot not communicate (kita tak bisa tidak berkomunikasi) telah menyeret kedua pihak pada suasana saling membenci dan saling menghujat dengan kata-kata kasar. Kasus itu memunculkan kajian baru: pentingnya cara berkomunikasi di samping isi pesan komunikasi.

Banyak di antara kita yang mengatakan telah berkomunikasi. Meski demikian, tak sedikit dari kita yang sebenarnya tidak berkomunikasi, dalam arti inti pesan yang disampaikan dipahami penerima pesan. Seseorang bisa jadi berkomunikasi lebih menitikberatkan pada aspek hubungan dan bukan pada substansi isinya. Dalam hal ini kita sebenarnya tidak melakukan komunikasi. Perilaku layaknya berkomunikasi terjadi lebih karena faktor hubungan, bukan pada substansi isinya.

Metakomunikasi

Komunikasi yang berkembang antara Ahok dan DPRD DKI menekankan kepada kita betapa penting metakomunikasi. Metakomunikasi diartikan sebagai berkomunikasi tentang komunikasi (Tubbs dan Moss, 2001). Dengan kata lain, metakomunikasi tidak hanya berfokus pada isi pesan, tetapi juga pada cara berkomunikasinya. Setiap pernyataan yang ditujukan pada cara orang berkomunikasi adalah contoh metakomunikasi.

Sekadar contoh misalnya, perseteruan Ahok dengan DPRD DKI tidak berfokus pada substansi isi apa yang dipermasalahkan Ahok dan apa yang dipermasalahkan DPRD. Keduanya justru banyak terlibat dalam perdebatan cara berkomunikasi masing-masing. Bahkan, masyarakat umum juga terjebak hanya mau membicarakan cara berkomunikasi, bukan pada substansi isi.

Pada awalnya Ahok mempermasalahkan dana siluman Rp 12 triliun terkait APBD DKI 2015. Namun, persoalan Ahok dengan DPRD berkembang ke arah lain. Keduanya sama-sama ngotot bahwa perilakunya paling benar. Yang patut disayangkan adalah keluarnya kata-kata kasar berkaitan dengan ”toilet” dan ”kebun binatang”. Ini jelas di luar substansi isi pesan.

Ahok bisa jadi benar, namun mengeluarkan kata-kata kasar tentu tidak pada tempatnya. Tak terkecuali DPRD, kenapa harus sewot dan dianggap menurunkan wibawa anggota dewan di mata eksekutif daerah saat disorot masalah? Di sinilah pesan komunikasi sudah mengalami pemutarbalikan fakta. Tepatnya telah mengalami metakomunikasi.

Problem

Jika ada seseorang mengatakan ”orang itu penjilat benar sama atasan”, kemudian dijawab orang lain ”omongmu yang lebih sopan dong, itu sangat kasar dan saya tidak suka”, orang yang menanggapi pesan di luar inti yang dikatakan tersebut adalah (cara) komunikasi itu sendiri. Ini adalah problem metakomunikasi.

Pesan akan menjadi sulit untuk sampai kepada orang lain jika ada metakomunikasi seperti itu. Pertama, adanya prasangka. Seseorang, jika sudah mempunyai syak wasangka, akan membangun ruangan dalam pikirannya bahwa orang lain itu tidak benar. Pekerjaannya apa lagi kalau bukan curiga terhadap apa yang dilakukan orang lain. Seseorang bisa saja selalu menyerang orang lain ketika melihat celah kecil untuk melontarkan ketidaksukaannya.

Syak wasangka juga berpotensi penyulut kebencian. Bahkan, kata-kata yang diucapkan ibarat kabar-kabar kebencian yang sengaja disulut. Lihat saja bagaimana masyarakat kita sekarang masih terbawa arus perseteruan perbedaan aspirasi calon dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014. Pilpresnya memang sudah selesai, tetapi para pendukungnya tetap terpecah.
Anehnya, komunikasi yang dilakukan hanya soal cara berkomunikasi yang disebut dengan metakomunikasi. Bukan pada substansi isi, melainkan lebih pada cara berkomunikasinya. Bangsa ini tidak akan pernah bisa bangkit jika syak wasangka terus dipelihara dan itu bisa disebabkan kesalahan dalam metakomunikasi.

Kedua, jika hubungan kedua pihak sudah dilatarbelakangi konflik yang disebabkan pola hubungan dan bukan isi pesan, metakomunikasi menguat. Sillars dan Weisburg (1987) pernah mengungkapkan, jika dua orang berkomunikasi namun tanpa punya kemampuan memahami isi pesan (baca: gagalnya metakomunikasi), apalagi ada konflik, tujuan komunikasi akan sulit tercapai.

Bisa jadi kedua pihak sebenarnya ingin menyelesaikan konflik yang terjadi. Tetapi, tidak ada kesepakatan mengenai akar konflik yang sebenarnya. Di sinilah konflik yang melatarbelakangi seseorang dalam berkomunikasi akan menggagalkan tujuan komunikasi yang sebenarnya, meskipun caranya benar.
Bisa saja Ahok benar bahwa ada dana siluman Rp 12 triliun terkait APBD DKI 2015. Meski demikian, kesalahan dalam memahami metakomunikasi justru akan menjadi pintu masuk musuh-musuhnya untuk menyerang. Bisa jadi Ahok tidak akan peduli. Meskipun tujuannya baik, cara berkomunikasi tetaplah menjadi faktor penentu berhasil tidaknya tujuan berkomunikasi.

Jika ada semboyan ”lebih memilih mana pemimpin santun tapi korupsi atau pemimpin kasar tapi tidak korupsi”, pertanyaan itu tidak perlu dijawab karena sudah mencerminkan siapa pendukung kedua pihak. Jawaban yang lebih bijak tentu pemimpin santun, tapi tidak korupsi. Jadi, metakomunikasi dalam hal ini tetaplah penting dilakukan.

Manfaat

Metakomunikasi (berkomunikasi tentang komunikasi) punya potensi besar bagi keberhasilan tujuan berkomunikasi. Memahami metakomunikasi juga bisa memperbaiki hubungan antara dua orang yang berbeda pendapat. Masalahnya, metakomunikasi akan sulit tercapai jika sudah ada syak wasangka atau ada bibit konflik di antara dua orang yang berkomunikasi.

Isi pesan penting dikemukakan, tetapi cara berkomunikasi bagaimanapun juga ikut menjadi penentu keberhasilan proses komunikasi. Eksekutif dan legislatif atau konflik dalam tubuh parpol kita tidak harus berfokus pada isi pesan, tetapi bagaimana cara mengomunikasikannya. Tak terkecuali juga, jangan sibuk melakukan cara berkomunikasi yang cenderung arogan, namun melupakan isi pesannya. Anehnya, elite politik kita (parpol, eksekutif, dan legislatif) tidak mau memahami metakomunikasi karena hanya mementingkan menang dan menang. Jadilah rakyat ini semakin bingung dibuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar