Metakomunikasi Eksekutif-Legislatif
Nurudin ; Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas
Muhammadiyah Malang
|
JAWA
POS, 31 Maret 2015
KONFLIK yang terjadi antara
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) DKI
Jakarta sudah melenceng bukan pada inti pesan komunikasi, melainkan lebih
pada cara mereka berkomunikasi. Jargon we cannot not communicate (kita tak
bisa tidak berkomunikasi) telah menyeret kedua pihak pada suasana saling
membenci dan saling menghujat dengan kata-kata kasar. Kasus itu memunculkan
kajian baru: pentingnya cara berkomunikasi di samping isi pesan komunikasi.
Banyak di antara kita yang
mengatakan telah berkomunikasi. Meski demikian, tak sedikit dari kita yang
sebenarnya tidak berkomunikasi, dalam arti inti pesan yang disampaikan
dipahami penerima pesan. Seseorang bisa jadi berkomunikasi lebih
menitikberatkan pada aspek hubungan dan bukan pada substansi isinya. Dalam
hal ini kita sebenarnya tidak melakukan komunikasi. Perilaku layaknya
berkomunikasi terjadi lebih karena faktor hubungan, bukan pada substansi
isinya.
Metakomunikasi
Komunikasi yang berkembang antara
Ahok dan DPRD DKI menekankan kepada kita betapa penting metakomunikasi.
Metakomunikasi diartikan sebagai berkomunikasi tentang komunikasi (Tubbs dan
Moss, 2001). Dengan kata lain, metakomunikasi tidak hanya berfokus pada isi
pesan, tetapi juga pada cara berkomunikasinya. Setiap pernyataan yang
ditujukan pada cara orang berkomunikasi adalah contoh metakomunikasi.
Sekadar contoh misalnya, perseteruan
Ahok dengan DPRD DKI tidak berfokus pada substansi isi apa yang
dipermasalahkan Ahok dan apa yang dipermasalahkan DPRD. Keduanya justru
banyak terlibat dalam perdebatan cara berkomunikasi masing-masing. Bahkan,
masyarakat umum juga terjebak hanya mau membicarakan cara berkomunikasi,
bukan pada substansi isi.
Pada awalnya Ahok mempermasalahkan
dana siluman Rp 12 triliun terkait APBD DKI 2015. Namun, persoalan Ahok
dengan DPRD berkembang ke arah lain. Keduanya sama-sama ngotot bahwa
perilakunya paling benar. Yang patut disayangkan adalah keluarnya kata-kata
kasar berkaitan dengan ”toilet” dan ”kebun binatang”. Ini jelas di luar
substansi isi pesan.
Ahok bisa jadi benar, namun
mengeluarkan kata-kata kasar tentu tidak pada tempatnya. Tak terkecuali DPRD,
kenapa harus sewot dan dianggap menurunkan wibawa anggota dewan di mata
eksekutif daerah saat disorot masalah? Di sinilah pesan komunikasi sudah
mengalami pemutarbalikan fakta. Tepatnya telah mengalami metakomunikasi.
Problem
Jika ada seseorang mengatakan
”orang itu penjilat benar sama atasan”, kemudian dijawab orang lain ”omongmu
yang lebih sopan dong, itu sangat kasar dan saya tidak suka”, orang yang
menanggapi pesan di luar inti yang dikatakan tersebut adalah (cara)
komunikasi itu sendiri. Ini adalah problem metakomunikasi.
Pesan akan menjadi sulit untuk
sampai kepada orang lain jika ada metakomunikasi seperti itu. Pertama, adanya
prasangka. Seseorang, jika sudah mempunyai syak wasangka, akan membangun
ruangan dalam pikirannya bahwa orang lain itu tidak benar. Pekerjaannya apa
lagi kalau bukan curiga terhadap apa yang dilakukan orang lain. Seseorang
bisa saja selalu menyerang orang lain ketika melihat celah kecil untuk
melontarkan ketidaksukaannya.
Syak wasangka juga berpotensi
penyulut kebencian. Bahkan, kata-kata yang diucapkan ibarat kabar-kabar
kebencian yang sengaja disulut. Lihat saja bagaimana masyarakat kita sekarang
masih terbawa arus perseteruan perbedaan aspirasi calon dalam Pemilihan Umum
Presiden (Pilpres) 2014. Pilpresnya memang sudah selesai, tetapi para
pendukungnya tetap terpecah.
Anehnya, komunikasi yang dilakukan
hanya soal cara berkomunikasi yang disebut dengan metakomunikasi. Bukan pada
substansi isi, melainkan lebih pada cara berkomunikasinya. Bangsa ini tidak
akan pernah bisa bangkit jika syak wasangka terus dipelihara dan itu bisa
disebabkan kesalahan dalam metakomunikasi.
Kedua, jika hubungan kedua pihak
sudah dilatarbelakangi konflik yang disebabkan pola hubungan dan bukan isi
pesan, metakomunikasi menguat. Sillars dan Weisburg (1987) pernah
mengungkapkan, jika dua orang berkomunikasi namun tanpa punya kemampuan
memahami isi pesan (baca: gagalnya metakomunikasi), apalagi ada konflik,
tujuan komunikasi akan sulit tercapai.
Bisa jadi kedua pihak sebenarnya
ingin menyelesaikan konflik yang terjadi. Tetapi, tidak ada kesepakatan
mengenai akar konflik yang sebenarnya. Di sinilah konflik yang
melatarbelakangi seseorang dalam berkomunikasi akan menggagalkan tujuan
komunikasi yang sebenarnya, meskipun caranya benar.
Bisa saja Ahok benar bahwa ada
dana siluman Rp 12 triliun terkait APBD DKI 2015. Meski demikian, kesalahan
dalam memahami metakomunikasi justru akan menjadi pintu masuk musuh-musuhnya
untuk menyerang. Bisa jadi Ahok tidak akan peduli. Meskipun tujuannya baik,
cara berkomunikasi tetaplah menjadi faktor penentu berhasil tidaknya tujuan
berkomunikasi.
Jika ada semboyan ”lebih memilih
mana pemimpin santun tapi korupsi atau pemimpin kasar tapi tidak korupsi”,
pertanyaan itu tidak perlu dijawab karena sudah mencerminkan siapa pendukung
kedua pihak. Jawaban yang lebih bijak tentu pemimpin santun, tapi tidak
korupsi. Jadi, metakomunikasi dalam hal ini tetaplah penting dilakukan.
Manfaat
Metakomunikasi (berkomunikasi
tentang komunikasi) punya potensi besar bagi keberhasilan tujuan berkomunikasi.
Memahami metakomunikasi juga bisa memperbaiki hubungan antara dua orang yang
berbeda pendapat. Masalahnya, metakomunikasi akan sulit tercapai jika sudah
ada syak wasangka atau ada bibit konflik di antara dua orang yang
berkomunikasi.
Isi pesan penting dikemukakan,
tetapi cara berkomunikasi bagaimanapun juga ikut menjadi penentu keberhasilan
proses komunikasi. Eksekutif dan legislatif atau konflik dalam tubuh parpol
kita tidak harus berfokus pada isi pesan, tetapi bagaimana cara
mengomunikasikannya. Tak terkecuali juga, jangan sibuk melakukan cara
berkomunikasi yang cenderung arogan, namun melupakan isi pesannya. Anehnya,
elite politik kita (parpol, eksekutif, dan legislatif) tidak mau memahami
metakomunikasi karena hanya mementingkan menang dan menang. Jadilah rakyat
ini semakin bingung dibuatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar