Dua Wajah Arab dalam Konflik Yaman
Faisal Assegaf ;
Pemerhati
Timur Tengah dan Pendiri Albalad.co
|
KORAN
TEMPO, 01 April 2015
Setelah
menahan kegeraman selama dua bulan, Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz
akhirnya memerintahkan serangan udara terhadap milisi Syiah Al-Hutiyun di
Yaman. Pasukan pemberontak dukungan Iran ini telah mencaplok Ibu Kota Sanaa
pada Januari lalu, mendepak Presiden Abdurabbu Mansyur Hadi, hingga meminta
perlindungan di ibu kota Arab Saudi, Riyadh.
Gempuran yang
berlangsung sejak Kamis dinihari pekan lalu itu memunculkan fakta menarik.
Dugaan dan keyakinan selama ini, yang sifatnya hanya mereka-reka, kian
terbongkar. Iran dan Arab Saudi sama-sama berebut pengaruh, bukan saja di
Yaman, tapi juga di seluruh Timur Tengah, dan kedua seteru ini menjadikan
negara Arab termiskin itu sebagai palagan. Saudi menyebut operasi militer
atas kelompok Al-Hutiyun sebagai perang suci, sedangkan Iran mengecam
intervensi militer ini, yang mereka anggap melanggar kedaulatan Yaman.
Lebih menarik
lagi, perang di Yaman kali ini berhasil menyatukan sepuluh negara Arab dalam
pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Bahkan, dalam Konferensi Tingkat
Tinggi Liga Arab di Mesir pada akhir pekan lalu-digelar dua hari setelah
Saudi secara sepihak membombardir Al-Hutiyun-menghasilkan kesepakatan untuk
membentuk pasukan koalisi Arab. Tujuannya untuk memberangus kelompok
ekstremis atau pemberontak.
Namun perang
yang terjadi di Yaman saat ini dan rencana membentuk pasukan bersama Arab
bukan saja kian menegaskan dua wajah Arab, tapi juga berpotensi semakin
memperunyam konflik bersenjata di sejumlah negara di Timur Tengah. Intervensi
bakal mereka lakukan cuma untuk memenuhi kepentingan penyandang dana operasi
militer.
Seperti yang
berlaku saat ini di Yaman, Saudi paling berkepentingan untuk melancarkan
serbuan bersandi Badai Gila itu. Saudi merasa Iran kian memperluas
pengaruhnya di Timur Tengah setelah berhasil menggaet Libanon, Suriah, dan
Irak.
Langkah
koalisi Arab di Yaman ini memicu pertanyaan, kenapa mereka tidak melancarkan
operasi serupa saat Israel menggempur Jalur Gaza dalam perang 50 hari pada
musim panas tahun lalu? Tentu saja jawabannya bisa ditebak: sebagian besar
anggota pasukan koalisi Arab saat ini adalah konsumen utama persenjataan Amerika
Serikat, sekutu istimewa Israel.
Pasukan
koalisi Arab tidak mungkin ikut campur dalam perang antara Irak dan ISIS
(Islamic State of Iraq and al-Sham). Jika mereka membantu pasukan Irak dengan
sokongan utama milisi Syiah, sama saja mereka mendukung kepentingan Iran,
sesuatu yang tentu bakal dihindari oleh Arab Saudi. Mereka tentu saja tidak
mungkin menyokong ISIS, organisasi teroris paling mengerikan saat ini.
Di Libya pun
kondisinya serupa. Pasukan koalisi Arab tidak mungkin menyokong satu dari dua
pemerintahan yang kini ada di negara itu. Sebab, hasilnya bakal semakin
membelah Libya, hal ini hanya menguntungkan ISIS, yang telah bercokol di
sana.
Walhasil,
rencana pembentukan pasukan koalisi Arab sekadar jargon. Kalaupun bisa
terbentuk, mereka bakal kebingungan serta menghadapi dilema, yakni di negara
Arab mana mereka bisa melakukan intervensi militer. Kalau sekadar memenuhi
ambisi Arab Saudi buat menjegal perluasan pengaruh Iran di Timur Tengah,
keterlibatan pasukan koalisi Arab cuma bakal meledakkan perang sektarian
dalam skala luas. Sebab, konflik Sunni-Syiah di kawasan Timur Tengah sudah
mengakar berabad-abad. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar