Selasa, 07 April 2015

Demokrasi Neurotik

Demokrasi Neurotik

Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
MEDIA INDONESIA, 07 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

BILA dan di mana kita menggunakan akal sehat? Kesehatan yang kita dapatkan dari pendidikan, agama, atau adat dan tradisi di leluhur kita? Saya khawatir kita semakin jarang menggunakannya, terutama mereka yang dalam struktur sosial ada di bagian puncak (elite). Mereka yang mungkin bukan hanya jarang, tidak pernah, bahkan mempermainkan malah sebagian justru menghina akal sehat (-nya sendiri).

Bagaimana tidak? Bila, misalnya, para pedagang besar, taipan dan taipun, lebih menggunakan asas kompetisi (dalam pasar) bebas dan legalitas yang dijamin UU, menyatakan bersaing dengan pedagang kecil, katakanlah untuk menjual cabai, gula, rokok atau eceran kelontong lainnya? Di mana akal sehat itu? Di mana akal sehat para wakil rakyat, yang diberi amanah bahkan fasilitas dari keringat rakyat, berbulan-bulan tidak mengurus rakyat, tapi melulu kepentingan personal dan sekte masing-masing, memperebutkan kekuasaan, membaginya seperti lapis legit, menambah-nambah kursi seperti kita pesan nasi tambah di warung tegal.

Apa yang terjadi pada akal sehat seorang pejabat saat mengatakan uang muka pembelian mobil pejabat tinggi yang Rp200 juta lebih hanya cukup untuk membeli kendaraan sekelas Toyota Avanza? Akal sehat siapa dia permainkan dan hina dengan kalimat seperti itu? 

Akal sehat siapa yang bisa menerima dengan sejuk ungkapan para wakil rakyat DKI, dengan bukti-bukti terang tentang `dana' yang secara siluman mereka selipkan di anggaran, malah menuduh Gubernur mengacaukan tata negara di persoalan anggaran?

Bagaimana seorang perwira tinggi bintang tiga saja dapat membuat sebuah lembaga negara resmi, berwibawa, dan didukung rakyat menyatakan `kalah'? Bagaimana sekelompok orang di istana bisa menyatakan akan meng-harvardkan para remaja dan anak muda kita, padahal mereka-'harvardis'--itu tak punya saham apa pun dalam mencapai kekuasaan? Bagaimana.... Oh, betapa banyak bila ini harus dideretkan, hanya untuk menciptakan rasa pilu, kemarahan, bahkan frustrasi karena kita tak bisa berbuat apa-apa, ketika mereka semua itu telah menggenggam kekuasaan yang sebenarnya kita punya dan hanya dititipkan sementara pada mereka?

Apa yang terjadi bila akal sehat ternyata tidak hanya dikorbankan, dilecehkan, dan dijadikan permainan dari kepentingan-kepentingan sempit? Apa yang bekerja dalam diri mereka, ketika akal (sehat) tidak lagi ditempatkan pada posisi yang sepantasnya? Bukankah akal tidak sehat? Atau melulu perasaan, nafsu, ambisi, dan syahwat menghela akal tidak sehat itu, dan bila hidup, kerja, cara bersosial dan bertanggung jawab lebih dikendalikan oleh (basis) mental yang tidak sehat seperti itu, apa yang dapat kita sebut padanya, selain istilah psikologis yang cenderung patetis: neurotik.

Hubungan sosial macam apa, tata kemasyarakatan hingga tata negara macam apa yang begitu mudah dipelintir, dimanipulasi, bahkan permisif pada tindakan atau perilaku yang neurotik itu?

Apa ada jawaban lain, selain istilah yang sudah menjadi nujum modern kita, kata sakti yang diilusikan mampu menjawab semua persoalan (padahal ternyata lebih banyak negasinya), yakni demokrasi. Apa pun pembelaan para pemeluk teguh dan penganut aliran kepercayaan `demokrasi' tak bisa menolak, bahwa semua hal itu tumbuh berkecambah dan berkembang biak seperti amuba dalam alam yang kita sebut demokratis. Dengan kata lain, mantra hidup modern itu ternyata tidak cukup ampuh untuk melawan, mengikis atau membunuh virus-virus kebudayaan yang kian menghancurkan maqam peradaban luhur yang pernah dimiliki oleh bangsa ini.

Terapi bagi demokrasi

Saya tidak perlu menuliskan lagi sekian argumen tentang tidak fit-in atau aplikatifnya ideologi atau praksis demokrasi murni (seperti yang coba diterapkan lebih satu abad di belahan Barat dan Timur dan hingga hari ini masih memunculkan problem dan kontradiksi yang tidak remeh), dalam realitas bangsa kita yang memiliki historisitas, adat, dan adab yang (bahkan secara diametral) berbeda dengan muasal konsep demokrasi modern semacam itu. Cukup banyak sudah tulisan saya buat untuk itu.

Apa yang kini menjadi penting ialah kita hidup sebagai manusia (baik di tingkat personal hingga nasional) mesti jujur diakui berada dalam situasi seperti dikejar hantu dan hantu itu tidak berada di belakang, tapi justru di masa depan. Semua kalangan yang berpikir tentu mafhum, betapa banyak persoalan kritis-bahkan sangat kritis--menanti kita tidak berapa lama lagi di hari mendatang. Tapi sampai hari ini, hidup bangsa ini masih saja direcoki oleh kekonyolan hingga penyimpangan akut dari para penyelenggara negara dan kelompok-kelompok pendukungnya, dari dalam maupun luar negeri.

Saya tidak akan berhenti memuncratkan ludah dan kata-kata semacam ini, mengingat nasib anak dan cucu saya sedang saya pertaruhkan.Dalam perjudian dan pertempuran yang memperebutkan kuasa (atas apa pun) yang tidak peduli, jangan anak dan cucu masa depan, bahkan lingkungan sekitar (manusia juga makhluk hidup dan tak hidup lainnya). Neurotika dalam praksis demokrasi ini tidak bisa tidak harus segera dihentikan, bila tidak diterapi untuk mendapat kesembuhan.

Sebagaimana dalam dunia medis, khususnya ilmu kesehatan jiwa, neurotika tak dapat diatasi hanya dengan kata-kata, aturan baru, apalagi bujuk rayu. Ada beberapa bentuk terapi yang harus dilakukan bagi jiwa-jiwa yang sakit. Termasuk terapi kejut dalam beberapa tingkatannya. Solusi yuridis sebagai terapi kejut seperti hukuman mati pada teroris atau pengedar narkoba belumlah seber apa. Bagi mereka, yang sudah membunuh hak ribuan anak dan jutaan anak yang akan dilahirkan di masa depan, sudah tidak memiliki hak apa pun kecuali dilenyapkan. Itulah proses alamiah dari seleksi manusia, itulah kebudayaan dan peradaban.

Janganlah para pemimpin bangsa lain, atau pembela `hak asasi manusia' (apa pun definisi mengenai term ini) bicara tentang hak satu nyawa yang begitu telengas dan kejam. Bagaimana mereka membela perilaku para pemimpin bangsa lain yang dengan begitu mudahnya membunuh, dengan bom, mitraliur bahkan kimia, ribuan orang di banyak negara hanya untuk mengangkangi sumber-sumber daya alam dan manusianya.

Kemunafikan politik, ekonomi, juga hukum dan militer semacam ini adalah penyakit peradaban, penyakit yang lebih tinggi dari neurotik: psikopatik.
Pada tingkatan itu terapi kejut bisa lebih dahsyat. Seorang koruptor yang telah mengisap dengan keji rezeki jutaan orang sehingga mereka termiskinkan secara struktural dan menjadi nasib seumur hidupnya juga tidak pantas/ laik hidup dalam keluhuran bumi dan peradabannya. Jika tidak dihukum mati, seperti di China, ia bisa dinusakam bangkan yang diubah men jadi `Alcatraz', tempat makh luk hidup apa pun tidak bisa lolos bahkan hanya untuk menjenguknya.

Kejam? Periksa kata itu pada diri orang-orang lain, khususnya mereka yang merasa memiliki kuasa atas modal, politik, senjata, atau sumber daya lainnya.

Etos primer kita

Secara impresionistik mungkin tuturan di atas terasa berlebihan atau hiperbolis. Namun, bila data-data dapat dijelujurkan--dalam kertas yang serbaterbatas ini--sesungguhnya apa yang disebut hiperbola itu tinggal `bola'-nya saja karena yang menjadi kenyataan faktual di sekitar kita hingga di tingkat global lebih dari `hiper'. Tak ada guna menciptakan ketakutan yang bisa membuat kita, rakyat banyak pun mengidap sindrom kejiwaan yang misalnya disebut dengan `phobia' atau `paranoia'.

Akan lebih baik kita bersepakat, sekurangnya sebagian besar bangsa, sebagian yang menduduki posisi jelata dan sedikit kelas menengah yang `sadar', untuk bertekad keras dan melaksanakan semacam satu bentuk perjuangan baru tempat kita bersama menerapi diri sendiri agar lolos dari simtom-simtom bahkan virus peradaban yang sangat merusak itu.

Berhentilah kita untuk `rakus dan serakah', etos atau nilai dasar yang ada dalam demokrasi dan kapitalisme, yang seluruh bagian dunia kini sudah mulai menyadarinya (walau cukup terlambat sebenarnya). Mulailah kita untuk hidup tidak berorientasi pada semua yang `berlebih': lebih populer, lebih hebat, lebih kaya, lebih dominan, dan semua hal yang sifatnya material dan selebratikal, yang sebenarnya tidak lain hanya menjadi sarana pemenuhan hedonisme biologis, dan syahwat primitif kita.

Belajarlah kita bersikap rendah hati tapi tinggi martabat, mencari kekayaan imaterial mengisi kecerdasan dan kebatinan (spiritual) kita, yang justru membuat kita dicintai siapa pun, bahkan belatung yang memakan sisa jasad kita di tanah nanti. Itulah makna manusia yang sesungguhnya, makna ilahiah. Bukan gelar, harta dan kesombongan. Itulah sesungguhnya jati diri kita, bangsa ini: manusia dan bangsa kepulauan (bahari).

Sebuah identitas primer dengan ukuran lebih hanya ditunjukkan `kian merunduknya padi berisi' dan perbuatan atau produk kulturalnya yang memberi maslahat bagi (lebih) banyak orang.

Inilah etos kita yang sebenarnya, yang bisa menjadi alternative stream dari mainstream destruktif yang ada. Itulah bentuk dan isi kalimat yang saya pilih untuk semua yang mau mem-'baca' karena rumus, teori, definisi apalagi regulasi sudah terlalu ortodoks bahkan lapuk karena begitu mudah dimanipulasi oleh jiwa-jiwa kasar yang sakit.

Dengan rendah hati, tak perlu kita mengharap etos itu akan mengubah segalanya, apalagi secara sistemis.

Hanya Dia yang tahu soal itu. Untuk kita, cukuplah sudah bila diri kita sendiri sudah berubah. Karena perubahan diri memberi atmosfer bahkan radiasi kebaikan bagi manusia, bahkan makhluk-makhluk lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar