Tekad Baru Anti Korupsi
Suwidi Tono ; Koordinator Forum "Menjadi
Indonesia";
Koordinator Alumni IPB untuk Gerakan Anti Korupsi (GAK)
Lintas Perguruan Tinggi
|
KOMPAS,
06 April 2015
Ratusan alumnus dan intelektual perguruan tinggi terkemuka di Tanah
Air mendeklarasikan Gerakan Anti Korupsi. Gerakan ini bermula dari pelemahan
sistemis Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kesekian kalinya sejak kasus yang
menjerat mantan Ketua KPK Antasari Azhar pada 2009.
Dalam TAP MPR Nomor VIII Tahun 2001 ditegaskan bahwa korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan
merupakan kejahatan luar biasa yang menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
adalah amanat reformasi 1998 sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No XI/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.
Kedua TAP MPR tersebut juga memberikan mandat untuk membuat undang-undang dan membentuk
lembaga negara: KPK, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Kejahatan
Terorganisasi, Kebebasan Mendapatkan Informasi, Etika Pemerintahan, Kejahatan
Pencucian Uang, dan Ombudsman.
Namun, setelah 10 tahun undang-undang dan kelengkapan lembaga
terbentuk, tidak serta-merta menurunkan tingkat gawat darurat korupsi di
negeri ini. Faktanya, korupsi tetap marak dan malah muncul kecenderungan
perlawanan balik (corruption fights
back) secara terstruktur dan sistematis seperti tecermin dari sangkaan
pidana sejumlah aktivis anti korupsi dan rencana memberikan remisi para
koruptor.
New Deal
Deklarasi Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi di Universitas Gadjah
Mada, 10 Maret 2015, menyebut prasyarat keberhasilan anti korupsi, yaitu
komitmen dan keberpihakan presiden terhadap gerakan anti korupsi, penegak
hukum bebas dari korupsi, dan pencegahan korupsi tidak dapat dipisah dari
penindakan korupsi.
Sebangun dengan deklarasi itu, belasan ulama pengasuh pondok
pesantren se-Jawa Timur, dalam halaqah anti korupsi di Pesantren Tebu Ireng,
Jombang, Minggu (29/3), meminta Presiden Jokowi bersikap tegas dalam
penanganan korupsi dengan melakukan upaya-upaya politik nyata yang mengarah
pada penyamaan persepsi dan penguatan institusi hukum, seperti Polri, KPK,
MA, dan Kejaksaan.
Juga hukuman
seberat-beratnya, pemiskinan, dan sanksi sosial bagi koruptor serta menolak
pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor.
Setelah melakukan serangkaian dialog dengan pimpinan KPK, pimpinan Polri, Tim Sembilan, dan sejumlah
pakar hukum, Gerakan Anti Korupsi (GAK) mengajukan konsep terobosan New Deal (Tekad Baru) Anti Korupsi
kepada Presiden untuk mengakhiri konflik KPK-Polri sekaligus mencegah hal
serupa terulang sembari menciptakan rekonsiliasi nasional bermartabat.
Fokus New Deal berpusat pada tiga pemecahan mendasar, yaitu
menghentikan rekayasa kasus terhadap pimpinan dan staf KPK serta penggiat
anti korupsi, amnesti terbatas terhadap aparat penegak hukum (polisi dan
jaksa) yang melakukan KKN dalam rentang waktu tertentu, dan diberlakukan
kebijakan Illicit Enrichment
(perolehan kekayaan secara tidak wajar) terhadap aparat penegak hukum yang
masih aktif.
Agar New Deal efektif, diperlukan payung hukum, merit system,
akuntabilitas, transparansi, dan penyediaan anggaran memadai untuk mendukung
kebutuhan hidup layak dan biaya operasional penegakan hukum. Semuanya
diperlukan guna menjamin terciptanya "sapu yang bersih", otonomi
tinggi, dan kelangsungan lembaga anti rasuah, sekaligus memberantas praktik
kuasi hukum-politik.
Dalam karut-marut hukum di negeri ini, tampak sekali nilai-nilai
kebajikan runtuh akibat niat dan logika yang kusut, kumuh, dan melenceng,
yakni ketika upaya mengedepankan keadilan sebagai tujuan (ends) dikalahkan oleh cara penegakan
hukum (means) dengan motif politik
dan kekuasaan. Hukum menjadi panglima, menyisihkan keadilan dan kehormatan. Maka, berlakulah
sinisme Bernard Shaw: "Bahkan untuk membangun moral diperlukan
modal."
Kutukan sejarah
Kegaduhan hukum yang berlarut-larut sepanjang kisruh KPK-Polri
menimbulkan ketidakpastian meluas adab bernegara. Secara tersirat, fenomena
ini memunculkan lagi kekhawatiran terbangunnya oligarki politik-ekonomi yang
mendalangi sepak terjang aparatus
kekuasaan. Eksesnya tidak hanya menggerus kepercayaan publik pada keseriusan
pemerintah mewujudkan birokrasi bersih korupsi, tetapi juga memunculkan
skeptisme terhadap program pemerintah lainnya.
Kerusakan pranata hukum dan kemunduran pemberantasan korupsi dapat
menggiring negara ke jurang marabahaya. Pelajaran penting dari banyak negara
yang setengah hati memerangi korupsi, tidak merawat dan mengukuhkan
lembaga-lembaga anti korupsinya dapat dipastikan gagal menyejahterakan
rakyatnya.
Indonesia kaya sejarah penjarahan sumber daya alam sejak era
kolonialisme. Dahulu, penjajah mengeruk kekayaan alam negeri ini lewat
strategi pecah belah (divide et impera)
dan menggunakan kaum elite penguasa untuk mengamankan kepentingannya.
Sekarang, sejarah berulang lewat kongkalikong peraturan-modal-politik.
Distribusi aset strategis hanya ke sekelompok pemodal raksasa,
baik yang berlabel korporasi internasional maupun domestik, memantik
kesenjangan makin menganga dan tak berkesudahan. Kelengahan negara untuk
mengoreksi kesalahan masa lalu, khususnya menyambut bonus demografi, bakal
mendatangkan malapetaka.
Apakah kita tidak melawan kutukan sejarah pengurasan sumber daya
alam dan uang hasil pajak rakyat? Apakah kita diam saja ketika ditanya
anak-cucu kelak? Andi Aulia Rachman, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Indonesia, menulis surat elektronik kepada rekan-rekannya seusai
rapat akbar mahasiswa dan GAK di Salemba, 20 Maret 2015, dengan mengutip
perkataan Nyi Ontosoroh kepada Minke dalam roman sejarah Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer: "Tidak.
Kita sudah melawan Nak! Sekeras-kerasnya. Sehormat-hormatnya." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar