Laporan Iptek, Lingkungan, dan Kesehatan
Mengurai
Kelindan dalam Rimba
Brigitta Isworo, dkk. ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
18 Desember 2014
KEPUTUSAN
Presiden Joko Widodo menggabungkan dua kementerian, Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, mengentak banyak pihak. Banyak yang skeptis, tak kurang yang
optimistis. Hal yang pasti, banyak asa ditumpukan: perkara lingkungan hidup
melingkupi lokus yang lebih luas daripada hutan. Di sisi lain, hutan adalah
ruang yang sesak dengan beragam persoalan: mulai dari lingkungan hidup yang
rusak, ancaman keberlanjutan hayati, korupsi, hingga pelanggaran hak asasi
manusia.
Masalah
paling kasatmata adalah bencana asap di Provinsi Riau dan kawasan sekitarnya
telah dibiarkan menyengsarakan rakyat selama sekitar dua dekade. Pada tahun
2014 saja, total 24.000 hektar lahan terbakar selama Januari-Maret.
Seluas
2.400 hektar cagar biosfer terbakar, biaya pengendalian Rp 150 miliar lebih
dan 58.000 jiwa menderita pneumonia, asma kronis, iritasi mata, dan kulit
(data Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Di Riau,
kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut sehingga sulit dipadamkan.
Gambut adalah lahan krusial dan rentan terhadap kebakaran dan pelepasan gas
rumah kaca yang diekuivalenkan dengan gas karbon. Gambut adalah gudang karbon
amat besar. Indonesia diposisikan di tempat ketiga pengemisi karbon akibat
kerusakan lahan gambut.
Soal
kebakaran, Indonesia jatuh di lubang sama puluhan kali. Terus dan terus
terjadi.
Tahun
2014 ditandai sejumlah tuntutan hukum dalam hal kebakaran hutan dan lahan.
Pendekatan banyak pintu dilakukan dengan melibatkan semua instansi penegak
hukum dan pemilik kewenangan. Audit kepatuhan juga dilakukan meski hasilnya
belum tuntas. Masalah kebakaran hutan dan lahan jadi isu utama yang harus
diselesaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Langkah
awal Presiden Joko Widodo meninjau lokasi kebakaran hutan 26-27 November 2014
menumbuhkan harapan. Setelah terbang berkeliling, Presiden tegas menekankan,
gambut tak boleh dikeringkan. Dan, secara simbolis Presiden menabat kanal
gambut di Desa Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Meski
menyisakan debat, diinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup (saat itu),
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pekerjaan rumah
Saat
persoalan internal kebakaran—yang berdampak internasional—telah mendapat
perhatian penuh, Kementerian LHK yang lahir akhir Oktober lalu harus siap
menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah. Terutama terkait dengan komitmen
internasional.
Kebakaran
hutan mengancam dua perkara lain yang menjadi sorotan dunia internasional:
keanekaragaman hayati, masyarakat adat, dan perubahan iklim. Indonesia aktif
terlibat dalam upaya global mengatasi masalah di ketiga ranah persoalan itu.
Indonesia
kerap disebut negara megabiodiversity setelah Brasil. Selain hutan tropis
amat luas yang jadi rumah beragam satwa dan tanaman, Indonesia memiliki laut
yang kaya sumber daya alam. Indonesia tepat ada di pertemuan dua samudra
utama, Pasifik dan Atlantik. Daerah itu amat kaya nutrien sehingga amat
subur. Bersama Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Malaysia, Timor Leste, dan
Filipina, Indonesia membentuk Inisiatif Segitiga Terumbu Karang (CTI) untuk
menyelamatkan ekosistem laut untuk keberlanjutan terumbu karang.
Setelah
Konferensi Keanekaragaman Hayati di Pyeongchang, Korea Selatan, Indonesia
wajib menyusun strategi rencana aksi keanekaragaman hayati Indonesia (IBSAP)
sebagai pegangan langkah mencapai Target Aichi pada 2020.
Sayangnya,
isu keanekaragaman hayati selalu tenggelam dan tertinggal. Padahal, isu ini
adalah inti keberlanjutan ekosistem. Keanekaragaman hayati juga merupakan
korban utama bencana kebakaran, perubahan iklim, dan pada isu alih fungsi
hutan dan lahan.
Pengakuan negara
Di sisi
lain, keanekaragaman hayati adalah manfaat utama yang diperoleh jika negara
memberi hak-hak masyarakat adat secara adil. Selama ini terjadi pembiaran
pelanggaran hak-hak asasi manusia kepada masyarakat adat. Mereka kerap
dikriminalkan.
Isu
masyarakat adat terus tertinggal dari isu-isu lain. Masyarakat adat jadi anak
tiri negara. Rencana Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat (PPMHA) pun tak kunjung disahkan DPR. Padahal, itu adalah amanat
konstitusi Pasal 18B ayat (2) yang mengharuskan ada UU tentang MHA.
Pemerintah
kini menyiapkan Satuan Tugas Nasional PPMHA untuk mengisi masa transisi
sebelum UU PPMHA disahkan.
Dalam
isu itu, Indonesia tak bisa mengelak lagi. Tahun ini, sebagai upaya
implementasi Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UN Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples/UNDRIP) tahun 2007, lahir Dokumen Hasil (Outcome Document) pada Konferensi Dunia Masyarakat Adat (WCIP) di
New York, September lalu.
Jika
pemerintah konsisten, kita berharap masyarakat adat yang selama ini selalu
menjadi korban ketidakadilan, konflik, dan kemiskinan bisa mendapatkan
kembali hak-haknya.
Perkara perubahan iklim
Isu terpanas
adalah pemanasan global dan perubahan iklim yang selalu jadi penutup tahun
yang ”hangat”. Tugas berat menanti karena untuk isu satu ini, banyak lembaga
menangani. Focal point justru
berada di luar struktur kelembagaan negara.
Program
penurunan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan dan lahan (REDD+)
sebagai program yang disorot dunia internasional, juga diserahkan pada
lembaga di luar nomenklatur kelembagaan negara.
Indonesia
adalah pengemisi besar gas rumah kaca sekaligus berpotensi besar sebagai
rosot (penyerap) gas rumah kaca. Selain itu, Indonesia adalah negara
berkembang yang rawan terhadap dampak perubahan iklim. Namun, dalam negosiasi
internasional, Indonesia berpedoman, ”Jangan jadi penghambat perundingan”.
Indonesia tak jelas berpihak kepada negara berkembang.
Beragam
masalah hutan, keanekaragaman hayati, masyarakat adat, dan perubahan iklim
ada di wilayah urusan Kementerian LHK.
Jika pemerintah serius ingin menyelesaikan persoalan-persoalan yang
berkelindan di kawasan hutan itu, saatnya peran focal point dipulangkan ke
kementerian dalam nomenklatur, agar hambatan terkait kewenangan dan
koordinasi teratasi dan kelindan pun terurai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar