Demokrasi
yang Berkebudayaan
Yudi Latif ;
Cendekiawan
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2014
SEPANJANG akhir November hingga
Desember ini, sebuah perhelatan akbar bertajuk Mufakat Budaya akan
dilangsungkan di beberapa kota di Tanah Air. Salah satunya di Jakarta, pada
28-30 November, yang akan dihadiri ratusan budayawan, intelektual, dan
aktivis budaya ternama dari berbagai penjuru negeri.
Salah satu faktor yang mendorong
peristiwa budaya ini ialah keprihatinan yang mendalam atas centang perenang
yang memaguti jagat politik kita.
Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat
berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi
di atas patahan-patahan lempengan konstitusional yang belum mencapai titik
keseimbangan. Politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik
sebagai etik dan estetik mengalami kemunduran. Perkembangan demokrasi sebagai
prosedur mengalami perubahan cepat dan masif, tapi demokrasi sebagai substansi
seakan jalan di tempat.
Situasi seperti itu
Politik sebagai dimensi manusia
secara keseluruhan memerlukan tautan harmonis antara individu dan masyarakat
(mikrokosmos dan makrokosmos). Untuk pertautan itu, jembatan penghubungnya
ialah logika, etika, dan estetika. Logika, etika, dan estetika membantu
manusia untuk menentukan pilihan yang tepat dalam perkembangan abadi menuju
kebaikan, kebenaran, keadilan, dan keindahan dalam kehidupan bersama. Politik
yang baik dengan sendirinya harus merupakan politik yang berkebudayaan.
Setelah 15 tahun gerakan
reformasi digulirkan, pelbagai langkah untuk mendemokratisasikan institusi
dan prosedurprosedur politik Indonesia telah dilakukan dengan sejumlah
transformasi yang nyata: pemerintahan terpilih, pemilu yang relatif bebas dan
berkala (meski di sana sini masih ada masalah menyangkut asas fairness), kebebasan berkumpul dan
berekspresi, keluasan akses informasi, desentralisasi dan otonominasi,
pemilihan presiden dan pilkada secara lebih kompetitif.
Selain itu, Orde Reformasi
berhasil menghadirkan sejumlah institusi baru yang relatif sukses menjadi
tumpuan kepercayaan publik pada institusi-institusi negara, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi. Meski misi besar reformasi untuk memberantas korupsi
masih jauh dari tuntas, kehadiran institusi ini masih mendapat dukungan
publik. Dengan segala perkembangan awal yang menjanjikan itu, bisa dipahami
jika banyak kalangan yang menilai perkembangan demokrasi di Indonesia sudah
berada di jalan yang benar.
Meskipun terdapat sejumlah
capaian positif, kita harus tetap waspada bahwa semua perkembangan ini
hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi dan
kemajuan bangsa. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi
substantif. Di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan,
ketidakadilan, dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar
penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian
pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi menjanjikan kesempatan dan sumber daya
bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan
manusiawi. Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin
terwujudnya esensi demokrasi, yakni pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemis (systemic responsiveness).
Usaha mewujudkan substansi
demokrasi pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan kultural,
institusional, dan struktural. Pada tingkat kultural, selama era reformasi,
politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetapi politik sebagai etik
mengalami kemunduran. Perangkat keras--prosedur demokrasinya terlihat relatif
lebih demokratis, tetapi perangkat lunak—budaya demokrasinya masih tetap
nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti meritokrasi (pemerintahan
orang-orang berprestasi).
Pada tingkat institusional, desain
institusi demokrasi terlalu menekankan kekuatan alokatif (sumber dana) ketimbang
kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal membuat biaya
kekuasaan tinggi, mengakibatkan high
cost economy; merebakkan korupsi; demokrasi yang ingin memperkuat daulat
rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat
cita-cita republikanisme dan civic
nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra
daerahisme). Demokrasi, yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan,
dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural,
kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa
menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat
Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi
terdapat postulat, seperti diingatkan Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara
dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang
demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat
mempertahankan oligarki atau tirani. Sementara itu, demokrasi menghendaki
derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru
sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Berbeda dengan masyarakat
Amerika Serikat yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai derajat
kesetaraan dalam ekonomi, pendidikan, dan dalam kemampuan mempertahankan diri
(pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir di negeri
ini. Sebagai masyarakat pascakolonial yang terus terperangkap dalam dualisme
ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang
menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan sebagian besar
rakyat di sektor tradisional terus termarginalkan. Hal itu berimbas pada
kesenjangan di bidang pendidikan--sekitar 70% warga masih berlatar pendidikan
dasar. Bertahannya hierarki tradisional feodalisme juga melanggengkan
ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga atas pemerintah.
Dalam multidimensi
ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan muncul, Indonesia
belum bisa menjalankan demokrasi sejati, melainkan hanyalah oligarki dalam
mantel demokrasi. Sementara demokrasi kita bercorak oligarkis, kebebasan
sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada ke setaraan, tetapi
bisa juga memperlebar ketidaksetaraan.
Pertumbuhan ekonomi tidak
diikuti pemerataan. Dalam memperkuat dominasi mereka, para pemodal bisa
menginvasi prosedur demokrasi. Oligarki yang muncul hanyalah melayani
kepentingan pemodal dan dirinya sendiri.
Singkat kata, 15 tahun Orde
Reformasi, demokrasi Indonesia masih menyimpan banyak persoalan, yang jika
tidak diatasi secara segera bisa menimbulkan keraguan umum mengenai kebaikan
demokrasi.Meski rakyat bisa saja punya andil dalam menciptakan problem
demokrasi ini, masalah utamanya tidaklah pada `sisi permintaan' (demand-side) seperti sering didalihkan
politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta
kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya, itu terletak pada kelemahan `sisi
penawaran' (supply-side), dari
ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat.
Solusi kelemahan
Ketidakpercayaan rakyat pada
politik timbul manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab
masalah-masalah kolektif.Masalah-masalah kolektif itu justru timbul ketika
institusiinstitusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif
perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya diorientasikan
sebagai interface untuk menyatukan aspirasiaspirasi individual menjadi
aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, sebagian besar justru
dikuasai orang per orang (pemodal besar atau dinasti). Akibatnya tidak ada
sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.
Perundang-undangan yang mestinya
merupakan `kontrak sosial' dengan warga negara terdistorsikan oleh
kepentingan sempit-sesaat elite politik. Perubahan politik harus dimulai dari
usaha memulihkan rasa saling percaya dan kepercayaan bahwa rasionalitas
kepentingan individual tak akan dibayar irasionalitas kepentingan kolektif.
Kepercayaan bahwa warga negara akan mendapatkan politik sesuai dengan
perilakunya harus diubah dengan kepercayaan bahwa politik tepercaya akan
mendapatkan partisipasi politik yang sepadan degannya. Sekali aktor politik
menunjukkan sinyal bisa dipercaya, partisipasi dan kepercayaan rakyat pada
politik akan menguat.
Pemulihan rasa saling percaya
dan kerja sama itu diarahkan untuk mendorong lahirnya semangat restorasi dan
transformasi politik demokratik ke arah yang lebih baik. Visi restoratif
politik demokratik menekankan pentingnya menjangkarkan pembangunan politik
dan demokrasi pada basis nilai bangsa, terutama nilai-nilai Pancasila. Desain
institusi politik dan demokrasi harus dapat mengurasi `the cost of power' yang dapat mendorong korupsi politik. Politik
dikembalikan kepada khitahnya sebagai seni untuk mencapai kebaikan dan
kebahagiaan hidup bersama.
Solusi atas kelemahan demokrasi
tidak ditempuh dengan jalan menguranginya, tetapi justru dengan jalan
menambahnya agar lebih demokratis. Karena itu, perlu ada pendalaman dan
perluasan demokrasi. Pendalaman demokrasi diarahkan untuk menyempurnakan
institusi-institusi demokrasi agar lebih sesuai dengan tuntutan kepatutan
etis, lebih responsif terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat; mengurangi
sifat narsisisme politik yang hanya melayani segelintir elit politik.
Sementara itu, perluasan demokrasi diarahkan agar institusi demokrasi dan
kebijakan politik punya dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.
Secara singkat dapat dikatakan,
ada dua tantangan besar dalam usaha untuk melakukan pendalaman dan perluasan
demokrasi. Pertama, tantangan untuk mengembangkan demokrasi yang
berkebudayaan. Kedua, tantangan untuk mengembangkan nilai-nilai budaya yang
kondusif bagi pengembangan demokrasi.
Perhelatan `Mufakat Budaya' akan
mendiskusikan bagaimana mengembalikan demokrasi pada landasan cita-cita
kebudayaan bahwa demokrasi bukan sekadar alat teknis belaka, tetapi juga
suatu ekspresi pikiran, perasaan, dan kepercayaan sesuai dengan kepribadian
dan cita-cita kekeluargaankeadilan kebangsaan Indonesia; dengan cara
mempertahankan nilai-nilai lama yang baik seraya mengembangkan nilai-nilai
baru yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar