Rabu, 06 November 2013

TNI dan Otonomi

TNI dan Otonomi
Irfan Ridwan Maksum ;   Guru Besar FISIP UI,
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi UI
KOMPAS, 04 November 2013

Pascareformasi 1998, dapat dinilai bahwa peran TNI dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terbatasi secara kelembagaan. Otonomi daerah merupakan sarana mewujudkan nilai yang lebih besar dalam penyelenggaraan negara, yakni demokrasi. Maka, secara kelembagaan, jarak TNI dan penyelenggaraan otonomi daerah semakin lebar.
Adakah korelasi melorotnya kinerja pemerintahan daerah dengan jarak yang semakin lebar antara TNI dan otonomi daerah? Pertanyaan yang patut dikaji mengingat cita-cita otonomi harus terus diperbarui demi kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia.
Sama-sama Instrumen
TNI dan otonomi, terlebih penyelenggaraan pemerintahan, daerah adalah sama-sama instrumen. Adagium ini sering berubah dalam tataran empirik.
Jika demikian, hal itu sebetulnya bisa disinergikan untuk meraih nilai demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Lantas kenapa dalam konteks Indonesia seolah harus dipertentangkan?
Pada masa Orde Baru, sebagai mantan tentara, Soeharto, presiden waktu itu, menjadikan TNI sebagai alat utama untuk mendorong percepatan gerak roda pemerintahan, termasuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Undang-undang pemerintahan daerah saat itu berasas efisiensi dan efektivitas yang amat sejalan dengan jiwa kemiliteran. Akan tetapi, militer dalam kenegaraan harus tetap mendorong dinamika masyarakat yang heterogen dan amat cair. Itu yang terlupakan oleh rezim Soeharto.
Dengan model prefektur terintegrasi, di mana semua jenjang kepala daerah juga diberi mandat sebagai wakil pemerintah, mekanisme pengisian jabatannya amat kental diisi dengan nilai efisiensi dan efektivitas tanpa mengakomodasi demokrasi. Padahal, otonomi adalah turunan nilai demokrasi.
Hasilnya, semua gubernur terpilih di Indonesia merupakan selera kepala pemerintahan di tingkat nasional. Bahkan, hampir semua datang dari kalangan militer.
Di level bupati atau wali kota pun demikian, sebagian besar dari militer. Jenjang sebagai wakil pemerintah oleh rezim Soeharto bahkan sampai lurah.
Di setiap jenjang, kolaborasi birokrasi sipil-militer amat tinggi. Sampai kecamatan, dibuat lembaga setengah resmi berupa musyawarah pimpinan.
Wajah kepemerintahan Indonesia sampai tingkat lokal bernuansa militer. Kepentingan militer amat mudah terakomodasi dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah. Dapat dikatakan, antara TNI dan otonomi saat itu hampir tanpa jarak.
Pemerintahan daerah adalah alat, TNI juga alat di sana. Semua tergantung pengendalinya dalam puncak pemerintahan nasional.
Jika diarahkan pada satu titik nilai dan diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan terwujud dengan jiwa kepemimpinan yang sejalan. Soeharto pun mengatur atmosfer politik nasional yang sedemikian rupa sesuai dengan tradisi militer sehingga tampak kompak antarelemen pembentuknya.
Pergeseran nilai
Tumbangnya rezim Soeharto diikuti oleh tekanan nilai demokrasi yang amat kuat. Tanpa disadari, kedekatan TNI dengan otonomi pudar. Jika kita memahami prefektur terintegrasi, seharusnya tidak demikian.
Namun, untuk itu memang dituntut kesiapan semua pihak, terutama TNI dan pengendali pemerintahan di tingkat nasional.
Imbas demokrasi, peran kepemimpinan tingkat nasional harus dipahami dalam segala konsekuensinya, termasuk bangunan pemerintahan daerah yang diperbarui menyusul nilai demokrasi yang membesar.
Satu fakta yang harus diakui bersama adalah pilihan terhadap prefektur terintegrasi oleh bangsa Indonesia yang ditentukan melalui DPR dengan UU pemerintahan daerahnya.
Prefektur yang ada dalam UU pemerintahan daerah adalah pilihan demokratis sehingga harus didukung semua pihak.
Pilihan model ini adalah adanya wakil pemerintah di daerah. Tugas wakil pemerintah di daerah dalam desain sekarang hanya sampai gubernur. Wakil pemerintah dikembangkan melalui dekonsentrasi.
Dengan demikian, ia adalah bagian dari pemerintah yang ditempatkan di daerah. Dia ditugasi untuk mewakili kepentingan nasional.
Tugas wakil pemerintah adalah mengintegrasikan dan mengoordinasi seluruh kerja instansi pemerintahan di wilayah kerjanya. Dalam hal otonomi, wakil pemerintah menjadi elemen pembina dan pengawas jalannya otonomi di wilayah kerjanya.
Jika mekanisme pemilihannya melalui pilkada langsung, seharusnya semua komponen bangsa memahami bahwa kepentingan pengendali pemerintahan di tingkat nasional adalah penentu terpilih atau tidak terpilihnya sang gubernur.
Jadi pilkada langsung harus ditambahi kembali prosesnya atau didahului prosesnya dalam rangka mengakomodasi kepentingan nasional, tentu ini akan membuat sistem pilkada langsung semakin kompleks di tengah-tengah demokratisasi. Paling mudah jika melalui DPRD, bukan pilkada langsung.
Terkait keberadaan TNI dalam model ini, gubernur adalah pengintegrasi kerja lembaga daerah militer, distrik militer, sampai rayon militer.
Dalam desain ini, supremasi sipil diakui. Dengan demikian, fungsi integrator dan koordinator berlaku pula terhadap unit birokrasi sipil pusat lain.
Jarak TNI dan otonomi tidak perlu melebar drastis seperti sekarang ini. Elemen TNI secara individu pun dapat menjadi pemimpin dalam penyelenggaraan otonomi daerah dengan mengikuti pilkada.

TNI dan otonomi dapat bersinergi dalam rangka nilai besar demokratisasi Indonesia untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Selama rezim Soeharto, pendanaan terhadap peran wakil pemerintah kurang diperjelas dalam APBN. Sudah saatnya peran tersebut diperjelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar