Rabu, 06 November 2013

Muharam dan Dinasti Politik

Muharam dan Dinasti Politik
Jamal Ma’mur Asmani ;   Peneliti dari Fiqh Sosial Institute Sekolah Tinggi Agama Islam Mathaliíul Falah (Staimafa) Pati, Mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 04 November 2013


TAHUN Hijriah 1435 yang jatuh pada Selasa, 5 November 2013 adalah momentum umat Islam untuk mereposisi dalam rangka meneguhkan eksistensi dan aktualisasi yang strategis bagi perjalanan peradaban bangsa ini ke depan.
Dalam konteks historis, tahun Hijriah menandai era baru Nabi Muhammad saw, sebagai pemimpin agama sekaligus politik, setelah menjalani masa penuh ujian di Makkah sebagai pemimpin agama. Di Madinah, Nabi Muhammad berjuang membangun potret ideal masyarakat yang ditandai penguatan aspek ketuhanan, kerukunan, kebudayaan, kesetaraan, ekonomi, dan politik.
Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan masyarakat madani atau civil society. Masjid dan pasar yang dibangun Nabi, menjadi simbol penguatan aspek agama, pendidikan, sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Dalam konteks politik, Nabi memberikan keteladanan untuk selalu mengedepankan aspek profesionalitas yang menjadikan kapabilitas sebagai kata kunci, bukan nepotisme, primordialitas, dan sektarianisme. Nabi sampai wafatnya tidak menunjuk seorang pun untuk menggantikan posisinya sebagai seorang pemimpin.
Dia menyerahkan untuk dipilih secara demokratis tanpa intervensi sehingga dihasilkan pemimpin yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat yang dipimpinnya. Nabi menjelaskan bahwa kepemimpinan tak boleh diminta karena akan memberatkan tanggung jawab.
Bila dipilih oleh umat maka tak boleh menghindar, tapi harus melaksanakan dengan penuh tanggung jawab, dan masyarakat yang memilih harus konsekuen memberikan dukungan. Regenerasi kepemimpinan setelah era Nabi berjalan dinamis dan kontekstual. Dari Nabi ke sahabat Abu Bakar berjalan secara mendebarkan antara sahabat Anshar dan Muhajirin yang kemudian berakhir manis. Dari Abu Bakar kepada Umar bin Khattab berjalan dengan model penunjukan.
Dari Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan menggunakan sistem perwakilan. Dari Utsman bin Affan ke sahabat Ali bin Abi Thalib menggunakan sistem pemilihan perwakilan yang berlangsung secara lebih terbuka (Ghafur, 2012). Perbedaan model regenerasi kepemimpinan setelah eranya menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak mengajarkan model regenerasi kepemimpinan secara khusus.
Semua diserahkan kepada konteks sejarah asal bisa mencapai kesepakatan dengan baik. Dengan kesepakatan itu akan lahir pemimpin yang mempunyai tingkat kapabilitas, akseptabilitas, dan elektabilitas tinggi. Politik dalam Islam harus disinari oleh nilai-nilai esensial yang menjadi rohnya, seperti keadilan dan kemaslahatan.
Dalam konteks ini, Islam harus menjadi sumber inspirasi dan moral (Madjid, 2008). Dalam konteks ini, dinasti politik yang dikritik akhir-akhir ini setelah penangkapan Akil Mochtar yang menyeret Gubernur Banten Ratu Atut dan keluarganya, tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan dan kemaslahatan.
Keharusan
Keadilan mempunyai makna proporsionalitas. Jika jabatan publik diisi oleh satu keluarga secara tidak proporsional maka rentan terhadap korupsi dan kolusi. Kaidah agama menyebutkan bahwa segala sesuatu melewati batas akan menjadi senjata makan tuan. Dalam politik, check and balances menjadi keharusan sehingga pengawasan tidak bisa ditinggalkan.
Secara filosofis, tidak mungkin manusia berlaku benar selamanya, sehingga dibutuhkan kekuatan penyeimbang untuk check and balance secara efektif (Madjid, 2008). Monopoli dan sentralitas kekuasaan akan memandulkan peran pengawasan, sehingga korupsi dan kolusi berjalan secara masif dan eskalatif tanpa kontrol. Momentum Tahun Hijriah 1435 ini seharusnya mendorong umat Islam dan bangsa ini untuk mengakhiri dinasti politik yang mengancam demokrasi partisipatoris.
Kader terbaik bangsa dari berbagai lapisan masyarakat seyogianya diberi kesempatan berkompetisi secara elegan dan sportif. Mustahil bangsa ini mengalami lompatan prestasi jika para kader terbaiknya tidak mendapatkan peluang berkiprah luas. Menurut Rizal Ramli (2013), garudagaruda muda sebenarnya bisa terbang tinggi namun dibelenggu feodalisme dan KKN. Selama dua hal ini tidak hilang sangat sulit bagi kader-kader muda untuk membawa bangsa ini ke level tinggi seperti di negaranegara maju.
Untuk mengakhiri dinasti politik, butuh keberanian dari seluruh lapisan masyarakat menyuarakan larangan memonopoli kekuasaan. Wakil rakyat di DPR dan DPD seyogianya segera mengusulkan RUU tentang larangan dinasti politik supaya tidak terjadi absolusitas kekuasaan oleh satu keluarga.
Akhirnya, kita harus terus memperjuangkan keterbukaan informasi dalam segala bidang. Keterbukaan inilah yang bisa menutup kemunculan dinasti politik. Keterbukaan informasi menjadi modal penting bagi kelahiran pengawasan dan keberanian menyuarakan kritik konstruktif bagi perbaikan sistem. Nabi saw adalah cermin pemimpin yang selalu terbuka dan aktif memberdayakan kader terbaiknya.

Keterbukaan Nabi menjadikan para sahabat tak malu untuk bertanya, serta menyampaikan aspirasi dan ide progresif mereka. Melalui model ini, Nabi berhasil melahirkan kader-kader pemimpin andal, baik dari sisi moralitas maupun kapabilitas. Para pemimpin kita harus mengikuti keteladanan Nabi bila menginginkan kemajuan dalam segala bidang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar