Rabu, 06 November 2013

MK dan Dambaan Konstitusionalisme

MK dan Dambaan Konstitusionalisme
Margarito Kamis   Doktor Hukum Tata Negara, Dosen Fakultas Hukum
Universitas Khairun, Ternate
KORAN SINDO, 06 November 2013


Pedih, gundah, dan sejenisnya itulah rasa hati bangsa ini, kala Akil Mochtar ditangkap penyidik-penyidik KPK di rumah jabatannya. Ada yang seolah tak percaya, tetapi ada pula yang haqqul yakin percaya dengan peristiwa itu.

Penangkapan itu menandai seolah marwah Mahkamah Konstitusi (MK) hancur berkeping-keping, dan tercabik-cabik seketika. Elan konstitusionalisme yang telah tersematkan pada MK ini pun seolah buyar semuanya. Tak patah arang, di tengah badai dahsyat itu, MK terus berdendang menandai dengan pasti bahwa mereka masih ada. Nila setitik merusak susu sebelanga, seolah menjadi pesan utuh dari gerak maju mereka itu kepada bangsa ini. Badai itu terus dititi. Konstitusionalisme terus didendangkan, tak dibiarkan merana, apalagi mati,

Jujur, Berani, dan Tulus

Mereka pun bergerak maju mencari ketua baru. Hamdan Zoelva, yang bergelar doktor ilmu hukum bidang hukum tata negara itu, kini menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, menggantikan Akil Mochtar. Ia terpilih dalam pemilihan ketua Mahkamah Konstitusi pada 1 November 2013 yang lalu. Pemilihan ini diselenggarakan tak lama setelah Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKHK) menjatuhkan putusannya terhadap Pak Akil Mochtar. Oleh MKHK, Akil diberhentikan secara tidak hormat.

Bangsa ini telah mengetahui janji-janji Hamdan, yang diungkapkan secara sadar beberapa saat setelah dirinya terpilih menjadi ketua MK. Pemulihan citra MK, itulah janjinya. Apa langkahnya? Bangsa ini menantikannya. Tetapi yang pasti, sembari meminjam kredo Pak Jusuf Kalla; lebih cepat lebih baik, janji itu harus diwujudkan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Hamdan, sosok berkepribadian tenang, dengan tutur kata lembut dan sistematis serta cermat mengenali soal, adalah modal bagus di medan rindu ini.

Marwah MK yang kini seolah hilang harus dikembalikan lagi. Gelombang rindu yang terus berembus dari Sabang sampai Merauke, di Papua nun jauh di sana, bukanlah rindunya pungguk menggapai bulan. Medan rindu ini penuh duri, penuh pula dengan tikungan tajam. Tenang dan bicaralah jika sangat perlu. Diamlah bila diamnya itu mengandung hikmah. Bicaralah bila yang bicara itu akan jadi pelajaran. Seperti Profesor Mahfud MD, dan Akil Mochtar, Hamdan Zoelva juga pernah melintas di lintasan partai politik dan DPR.

Tetapi berbeda dengan Mahfud dan Akil Mochtar, yang ke MK ketika masih menyandang status anggota DPR, Hamdan ke MK setelah lama meninggalkan gelanggang DPR. Bila Profesor Mahfud dan Akil diusulkan oleh DPR, Hamdan diusulkan oleh presiden. Mahfud yang profesor ini melintas manis hingga ujung lintasan, sementara Akil terjatuh. Kejatuhan Pak Akil inilah yang–– beralasan atau tidak, ditunjuk secara terbuka sebagai tanda bahaya orang politik di lintasan ini.

Maniskah penanda ini? Entahlah. Faktanya Profesor Mahfud MD adalah orang politik yang berhasil melintas dengan manisnya di lintasan berbahaya ini. Pak Harjono demikian juga. Ia adalah orang politik yang anggun dengan argumen-argumen di lintasan ini. Pak Rustandi demikian juga. Walau bukan orang partai politik, ia masuk ke MK kala masih berstatus anggota DPR, dan berakhir manis di lintasan berbahaya ini. Menepi sebentar dari lintasan ini, lalu sejenak mengenali Mahkamah Agung, akan ditemukan sosok berlatar belakang politik juga di sana.

Profesor Gayus Lumbuun ke MA kala masih berstatus anggota DPR. Mungkin juga masih berstatus fungsionaris PDIP kala itu. Sejenak mengembara lagi di dunia ini, akan ditemukan sosok hakim di lintasan ini yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian, malah boleh jadi semuanya, telah dihukum di pengadilan khusus korupsi. Tetapi sungguh tak terlalu elok bila Hamdam, ketua MK yang baru ini memilih hal itu sebagai benteng argumennya.

Akan hebat sekali bila kejujuran, yang akan melahirkan keberanian dan ketulusan, terpilih menjadi benteng. Bila ayunan konstitusionalisme Hamdan di panggung ini bernapaskan itu; jujur, tulus dan berani, niscaya indahlah citra MK. Kejujuran, ketulusan, dan keberanian itulah benteng sesungguhnya. Itulah mahkota hakim sesungguhnya, bukan yang lain, apa pun yang lain itu.

Konstitusionalisme Elok

Tugas besar, malah agung dalam memastikan kembali mekarnya marwah Mahkamah ini, tak pelak, adalah terkuburnya konstitusionalisme konyol. Akankah hal itu menjadi nyata hanya dengan usaha Hamdan seorang diri? Mungkin saja. Yang pasti, kini ada rindu dan impian hebat bangsa ini untuk memulihkan konstitusionalisme indah yang pernah ada, yang kini seolah tertelan peristiwa penangkapan Akil itu.

Ada dambaan buat hakimhakim konstitusi saat ini, agar MK tak lagi memaksa bangsa ini mereka-reka prosedur pembuatan putusan. Sungguh aneh, ajaib, dan sebangsanya, seorang Akil tampak seolah memegang perkara sebanyak yang diberitakan. MK jangan lagi memaksa bangsa ini, menerka proses pembuatan putusan, yang saat ini sedang menggoda orang untuk mengatakan seolah semua putusan itu dibuat oleh Pak Akil seorang diri.

Manajemen distribusi perkara, mau atau tidak, mesti dikenali, disegarkan, dibuat menjadi lebih masuk akal. Tuantuan hakim, bersuaralah kala sidang berlangsung. Godalah para pihak dengan pertanyaanpertanyaan yang memusingkan mereka. Tak itu saja. Cintailah fakta persidangan, dan berilah hukum yang masuk akal atas fakta itu. Pastikanlah bahwa manajemen pembuatan putusan pun masuk akal. Tuantuan tak boleh duduk manis kala putusan diproses atau dibuat. Baca dan demonstrasikanlah nalar-nalar hukum sehat untuk dijadikan alasan, ratio decidendi, hebat atas putusan itu.

Putusan tuan-tuan atas sengketa Pilkada Bali, bahkan yang lainnya, semisal Kota Palembang, yang beberapa hari belakangan ini mencuat ke permukaan, harus dipastikan tak terulang lagi. Kuburkanlah gejala itu. Sungguh, tak ada konstitusionalisme macam itu. Konstitusionalisme dalam putusan itu mungkin tak terlalu lucu, tetapi jelas konyol. Konstitusionalisme tak menyediakan nalar satu orang mewakili sejumlah orang memberikan suara mereka.

Jangan lupa, konstitusionalisme menghargai suara setiap orang sebagai pantulan harkat dan martabat otonomnya. Suara adalah tampilan, bukan karikatural, melainkan intrinsik, bahkan transenden atas harkat dan martabatnya. Pastikanlah itu tuantuan hakim. Yakinkanlah bangsa ini bahwa konstitusionalisme yang berasal-usul dari kerinduan orang untuk menjadi otonom, berharkat dan bermartabat; ibu dari keadilan, selalu indah, mekar dan mewangi di mahkamah di hari-hari mendatang. Konstitusionalisme macam itulah yang didambakan, bukan konstitusionalisme efisiensi.

Menoleransi kecurangan kecil, dengan alasan efisiensi, sama nilainya menoleransi ketidakadilan, sekaligus menjadi undangan berharga terhadap kecurangan besar. Angka, yang tak mungkin ada tanpa sebuah proses, mengharuskan tuan mengenali prosesnya itu. Angka memang bukan proses, namun tanpa proses tak ada angka; hasil yang disengketakan di hadapan tuan-tuan. Proses yang tak akuntabel tak akan melahirkan angka yang akuntabel. Konstitusionalisme memang tak menuhankan proses atau prosedur, tetapi prosedur adalah titik terpenting dalam paham konstitusionalisme.

Akhirnya, marwah Mahkamah Konstitusi, kini dan akan datang, tidak lagi ditentukan oleh seberapa cepatnya putusan diakses publik. Kedalaman dan jangkauan argumen konstitusionalisme, itulah penentunya. Tuan-tuan hakim MK, pastikanlah bahwa tuan-tuan memiliki haluan keyakinan konstitusionalisme. Pastikan pulalah bahwa tuan-tuan mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan, dan kesamaan derajat, serta pemerintahan yang bertanggung jawab.

Haluan keyakinan konstitusionalisme tuan-tuan adalah kunci indahnya integrasi bangsa ini. Konstitusionalisme berbasis itu semualah, yang membuat bangsa ini anggun. Itulah yang dirindukan pendiri bangsa ini puluhan tahun lalu, kala UUD 1945 diperdebatkan, kala bangsa ini dirancang bentuk dan isinya. Elok bila elan konstitusionalisme itu diselami dengan jujur, tulus, dan berani, khas orang terhormat. Semoga!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar