Rabu, 06 November 2013

Hijrah, Demokrasi, dan Nasionalisme

Hijrah, Demokrasi, dan Nasionalisme
Muhammadun   Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 06 November 2013


MEMPERINGATI Tahun Baru Hijriah sangatlah berarti. Karena di balik peringatan tersebut, Tahun Baru Hijriah menjadi tonggak penting lahirnya peradaban baru yang dibawa Nabi Muhammad di Madinah. Di bumi Madinah inilah, Nabi Muhammad, menurut Robert N Bellah, telah menata masyarakat secara modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah waktu itu. Nabi kemudian mempersaudarakan (al-ikho') antarumat Islam, yakni antara sahabat Muhajirin dan sahabat Anshor. Karena Madinah tidak hanya dihuni umat Islam tetapi juga dihuni penganut agama lain seperti Yahudi, Nasrani, dan bahkan penyembah api (majusi), Nabi mengajak mereka semua menyusun sebuah kesepakatan yang kemudian dinamakan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah).

Para ahli politik Islam, seperti Montgomery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994), melihat Piagam Madinah sebagai cikal bakal terbentuknya negara nasional (nation-state) yang menempatkan Nabi Muhammad tidak sekadar sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin negara. Menurut Munawir Sadzali (1995), Piagam Madinah itu terdiri dari 47 pasal yang menandakan berdirinya negara yang pluralistis dan menunjukkan bahwa Nabi tidak mendirikan negara agama. Isi pokok piagam tersebut, lanjut Sadzali, ialah: 1) mempersatukan umat Islam dari berbagai suku menjadi satu ikatan, 2) menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin keselamatan di antara warga Madinah, 3) menetapkan bahwa setiap warga masyarakat memiliki kewajiban untuk memanggul senjata untuk melawan jika diserang oleh orang luar Madinah, 4) menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi, Nasrani, musyrikin (penyembah berhala), dan kaum majusi.

Komitmen kebersamaan

Dari sini terlihat bahwa Madinah yang multiagama dan multietnik mampu disatukan Nabi bukan memakai sentimen agama. Akan tetapi, mereka disatukan dengan sentimen kepemilikan bersama, yakni bagaimana mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang datang dari luar, baik berupa serangan atau ancaman apa pun. Karena komitmen kepemilikan bersama itu, tidak salah kalau salah satu hadisnya menerangkan bahwa Nabi Muhammad tidak rela terhadap siapa pun yang menganiaya orang kafir Madinah jika ia terikat dalam perlindungan tersebut. Piagam Madinah bukanlah sebagai perjanjian agama, melainkan merupakan kontrak social kebangsaan yang menyangkut aspek hubungan antarmanusia di dunia (al-Mu'amalah al-Dunyawiyah) tanpa melihat agama, suku, dan kabilah.

Dari sini dapat dilihat bahwa Piagam Madinah mencipta spirit demokrasi dan nasionalisme yang luar biasa. Cara Nabi dalam berdemokrasi dan mencipta semangat nasionalisme mampu menjadikan Semenanjung Arab menjadi eksperi men demokrasi paling spektakuler dalam sejarah umat manusia. Di Madinah tertancap sebuah proses demokratisasi yang meniscayakan kebebasan berekspresi setiap warga negara. Kebebasan ekspresi dimaksudkan sebagai tangga mewujudkan terciptanya masyarakat yang dewasa dan berkeadaban. Masyarakat berperan aktif dalam mencipta struktur kebijakan yang akan dioperasionalisasikan pemerintah. Peran aktif itulah yang menjadi dasar mencipta ruang strategis warga dalam menyampaikan hak-haknya kepada pihak pemerintah sekaligus menjadi ajang bertemunya gagasan state dan civil society secara sinergis. Kalau itu terlaksana dengan baik, impian good government dan good governance bisa menjadi kenyataan.

Menegakkan demokrasi

Bagaimana praktik demokrasi dan nasionalisme di Indonesia? Sungguh menyedihkan. Kebebasan berdemokrasi dan spirit nasionalisme justru terinjak-injak oleh hadirnya berbagai kejahatan kemanusiaan, terlebih masih bercokolnya separatisme yang terus menggerogoti Indonesia. Demokrasi ternyata menampilkan korban yang teraniaya. Spirit nasionalisme ternyata dimaknai secara sempit. Makmur Keliat (2003) merujuk karya masterpiece Ted Robert Gurr, Minorities at Risk (1993), yang mengurai bahwa dalam proses historis pembangunan negara (state-building), biasanya kelompok yang lemah selalu menjadi korban atau dikorbankan. Dengan kata lain, Gurr bermaksud menyatakan bahwa pembentukan negara modern selalu meniscayakan adanya korban dari kelompok yang lemah.

Proses penundukan terhadap kelompok yang lemah itu telah terjadi tidak hanya di Afrika dan Asia, tetapi juga pernah muncul di negara maju, misalnya terhadap kelompok Welsh di Inggris dan terhadap pendatang Irlandia di Amerika. Karena proses penundukan yang menghasilkan ketidakadilan, gerakan yang berbasis etnonasionalis muncul. Nilai-nilai kultural kolektif, pengalaman kesejarahan bersama, serta adanya janji untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik merupakan basis dari gerakan etnonasionalis itu untuk memperoleh dukungan. Apa yang diduga oleh Gurr itu, dalam derajat tertentu, tampaknya memang terjadi di Indonesia.

Spirit hijrah Nabi yang melahirkan dasar-dasar demokrasi dan spirit nasionalisme sangat penting kita refleksikan di tengah kekarutmarutan kondisi demokrasi dan nasionalisme di Indonesia. Terlebih di tengah Indonesia yang masih diselimuti berbagai bencana. Sebagaimana yang pernah dikatakan Ali Syari'ati, hijrah merupakan gerakan dan loncatan peradaban yang sangat besar bagi manusia. Bila makna hijrah dilaksanakan, peradaban masyarakat yang tadinya beku dan rigid akan berubah menjadi peradaban yang menapaki tangga kemajuan menuju kesempurnaan dan keagungan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar