|
Kekhawatiran
publik akan tersendatnya kinerja kabinet pemerintahan di tahun politik sekarang
ini terus mengemuka. Sebab, saat ini terdapat 10 menteri yang masuk daftar
caleg untuk Pemilu Legislatif 2014. Mereka adalah lima menteri dari Partai
Demokrat, yakni Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Menteri Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah Syariefuddin Hasan, Menteri Perhubungan EE Mangindaan,
Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral
Jero Wacik.
Kemudian
dua menteri dari PKS, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul
Sembiring dan Menteri Pertanian Suswono. Dua dari PKB yaitu Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar dan Menteri Pembangunan Daerah
Tertinggal Helmy Faishal Zaini. Terakhir satu menteri dari PAN yaitu Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan.
Tentu
saja, dengan masuknya para menteri partai politik (parpol) dalam bursa caleg,
bisa dipastikan akan ada peran ganda saat mereka menjalankan tugas. Di satu
sisi, mereka masih berposisi sebagai pembantu presiden yang harus menuntaskan
agenda pemerintahan. Namun di sisi lain, mereka juga dituntut untuk melakukan
kampanye ke dapil masing-masing dalam rangka menyongsong pemilu legistalif
2014.
Meski
harus diakui bahwa kampanye ataupun sosialisasi yang dilakukan para menteri
parpol tidaklah seperti caleg baru karena sudah memiliki modal popularitas,
namun tetap saja konsentrasi mereka akan terpecah. Ibarat, "sambil
menyelam sambil minum air", tidak menuntut kemungkinan mereka juga akan
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik kampanye ataupun
sosialisasi. Itulah yang menjadi kekhawatiran publik akhir-akhir ini.
Sebenarnya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah berkali-kali memberi peringataan
kepada para menterinya untuk fokus mengurusi pemerintahan. Senin (22/7) lalu,
misalnya, Presiden kembali mengungkapkan keresahan akan kinerja para
pembantunya itu. SBY tegas mengatakan bahwa kegiatan parpol tak boleh
mengganggu tugas dan kepentingan negara. SBY bahkan mempersilakan mundur para
menterinya yang ingin fokus ke politik.
Tentu
peringatan dan ultimatum Presiden SBY kepada para menterinya itu patut
diapresiasi meski di sisi lain kita juga patut bertanya-tanya tentang
konsistensi Presiden. Sebab, justru lima dari menteri yang maju menjadi caleg
itu berasal dari partai binaannya sendiri. Pertanyaannya, mampukah SBY menindak
tegas terhadap kadernya sendiri? Sebab, jika SBY tak mampu bertindak tegas
terhadap kader partainya, sama halnnya ia menelan ludah sendiri.
Karena
itu, SBY perlu memberikan keteladanan dan menunjukkan sikap konsisten. Kalau
perlu se-gera memecat para pembantunya yang mbalelo. Seorang Presiden memiliki
kewenangan penuh untuk menentukan nasib menterinya apa-kah masih layak di kursi
menteri atau tidak. Kewenangan Presiden tersebut tertera dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal 24 dikatakan,
menteri dapat diberhentikan, di antaranya karena tidak dapat melaksanakan tugas
selama tiga bulan berturut-turut dan alasan lain yang ditetapkan presiden.
Karena
itu, sudah saatnya paradigma seorang pemimpin atau pejabat publik itu dirubah.
Artinya, kesuksesan seorang pejabat publik bukan karena lamanya ia menjabat,
tapi bagaimana waktu yang singkat bisa menghasilkan kerja yang efektif.
Memimpin sekali tapi berarti. Itu lebih baik daripada memimpin lama (apalagi)
tidak berarti.
Sebab,
yang terjadi di Republik ini, para pemimpin kerap berlomba-lomba memperpanjang
jabatan ketimbang melakukan kerja-kerja yang efektif (berhasil guna) dan
efisien (tepat guna). Jabatan digunakan untuk mengeruk pundi-pundi uang negara
guna kepentingan pribadi dan kelompoknya (parpol). Memperpanjang jabatan
kemudian menjadi upaya untuk dapat menikmati kue kekuasaan secara lama dan
berkelanjutan. Kekuasaan diidentikan dengan tempat untuk menikmati kemewahan,
bukan sebagai ajang pengabdian. Jabatan diposisikan sebagai arena untuk
mendapatkan pelayanan dan perhatian rakyat, bukan tempat untuk melayani dan
memperhatikan rakyat.
Tentu
saja, jika mengacu pada teori kepemimpinan, ciri pemimpin efektif dan efisien
adalah mereka yang mampu mengejawantahkan apa yang disebut akuntabilitas
politik, bukan tribalisme politik. Menurut Fukuyama (2011), pemimpin atau
pejabat publik yang mampu menjalankan kepemimpinan secara akuntabel ialah
mereka yang dapat mempertanggungjawabkan kepada rakyat setiap kebijakan yang
telah ditelurkannya. Mereka juga mampu mengutamakan kepentingan rakyat (publik)
di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Sementara
pemimpin tribalistik ialah seorang pemimpin yang lebih mementingkan citra dan
lebih mengutamakan diri pribadi dan kelompoknya ketimbang kepentingan rakyat.
Celakanya, untuk konteks Indonesia, kita lebih sering menjumpai model pemimpin
yang kedua daripada yang pertama.
Karena
itu, kita sangat berharap ke-10 menteri parpol tersebut benar-benar dapat
memahami konsep kepemimpinan secara efektif dan efisien. Paradigma sekali
memimpin tapi berarti agaknya harus dipegang oleh setiap pemimpin di setiap
level di negeri ini. Kita tidak ingin para pemimpin dan elite politik terjebak
pada konsep kepemimpinan tribalistik. Kita juga tidak ingin para pemimpin kita
memiliki peran ganda dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kepemimpinan yang efektif dan efisien sangat diperlukan
karena selain bisa menghemat biaya negara dan menjadikan kerja pemerintahan
lebih fokus sesuai yang ditargetkan. Juga, dapat memperlancar proses kaderisasi
kepemimpinan nasional di segala jenjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar