Jumat, 01 November 2013

APEC dan Ekonomi Perempuan

APEC dan Ekonomi Perempuan
Siti Nuryati  ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Penerima Penghargaan Menko Kesra RI atas gagasan
Pengentasan Kemiskinan dan Perluasan Kesempatan Kerja (2009)
SUARA KARYA, 30 Oktober 2013


Indonesia menekankan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta pemberdayaan perempuan menjadi fokus pembahasan pada KTT APEC di Bali. Mengapa UKM dan perempuan menjadi fokus? Pemerintah meyakini saat terjadi krisis di negara manapun, UKM selalu terbukti tangguh. Sementara dalam prakteknya, UKM selalu melibatkan kaum perempuan, baik sebagai tenaga kerja maupun selaku pemilik usaha. Pemerintah berharap terjadi peningkatan jumlah perempuan pengusaha melalui model-model pemberdayaan.

Keberadaan wanita di sektor UKM bersinggungan langsung dengan ekonomi keluarga. Perempuan diharapkan menjadi sosok yang dapat penyelamatkan ekonomi keluarga saat terjadi goncangan. Selama ini pemberdayaan ekonomi yang dilakukan berbagai lembaga memang berangkat dari pandangan bahwa perempuan harus memiliki kemandirian ekonomi untuk menyelamatkan perempuan itu sendiri, diantaranya dari berbagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, upaya ini ditujukan agar perempuan dapat memberikan kontribusi ekonomi kepada negara.

Atas dasar inilah sasaran bantuan modal untuk usaha kecil ataupun menengah banyak dialokasikan untuk kaum perempuan, misalnya yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, yang berkomitmen menggulirkan dana ratusan miliar kepada ribuan pengusaha kecil perempuan, karena mereka memprediksikan keuntungan yang akan didapat bisa mencapai 30 persen. Pemerintah daerah juga berbuat sama. Aceh misalnya menggulirkan Rp 900 miliar dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan UNICEF dan IWAPI.

LSM juga berpartisipasi dalam program ini, seperti dilakukan oleh PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) bekerjasama dengan Dove Sisterhood, menyalurkan dana sebanyak Rp 100 juta untuk membantu 240 perempuan dalam modal usaha. Ormas-ormas juga tak mau ketinggalan, misalnya yang dilakukan oleh Muslimat NU dalam program life skill, dengan membentuk KUB (kelompok usaha bersama). Belum lagi prakarsa PKK di kelurahan-kelurahan, membentuk LDK (lembaga Keswadayaan desa), dengan melibatkan ibu-ibu kelompok yasinan, arisan, dan lain-lain. Intinya memang marak program ini dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai komponen masyarakat.

Gelombang pemberdayaan perempuan yang bertujuan agar perempuan bisa mandiri secara ekonomi dilandasi anggapan bahwa gerakan ini dapat mengurangi kemiskinan sekaligus menghapus atau paling tidak mengurangi angka kejadian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika isteri berpenghasilan maka akan berkedudukan setara dan suami tidak akan berani melakukan KDRT.

Betulkah anggapan ini? Coba ditelisik. Seorang suami melakukan tindakan KDRT pada umumnya karena dua hal. Pertama, ketidakpahaman suami akan hakikat keberadaan dirinya dalam sebuah keluarga. Ada suami yang bersikap arogan dan sok memimpin isterinya, yang ditunjukkan dengan sikap mengatur, menuntut, mau menang sendiri, dan sebagainya. Istri salah sedikit, bisa terjadi pemukulan (KDRT).

Padahal kalau suami memahami dirinya sebagai kepala rumah tangga berarti ia bertanggungjawab tidak hanya masalah nafkah bagi keluarga, tapi juga dalam masalah mendidik dan memberikan perlindungan serta keamanan bagi istri dan anaknya. Tentu, suami tidak akan berlaku sewenang-wenang apalagi sampai menyakiti fisik istrinya. Kedua, ketidakmatangan emosi laki-laki sehingga ia sulit menahan emosi ketika ada sedikit saja kesalahan dari istri. Itu, terkait bagaimana ia seharusnya memperlakukan istri dengan baik. Karena itu, secara fakta, bisa terlihat perlakuan kasar yang dilakukan oleh suami tidak akan hilang begitu saja kalau istrinya bekerja, punya penghasilan sendiri. Karena selama kondisi laki-laki/suami tidak matang dalam berpikir dan bertindak, maka kasus KDRT ini akan terus terjadi. Buktinya banyak juga wanita karir yang di rumahnya diperlakukan kasar oleh suaminya yang tidak bertanggungjawab dan tidak baik dalam memimpin rumah tangganya.

Data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) mencatat, dalam kasus kekerasan fisik, ternyata tidak hanya terjadi pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas. Tetapi justru lebih banyak pada keluarga dengan tingkat ekonomi mapan. Data lain menyebutkan terjadinya peningkatan angka gugat cerai sebesar 62 % seiring maraknya program pemberdayaan ekonomi perempuan.

Karena kesibukan istri dalam bekerja, suami merasa ditelantarkan dan kurang mendapat perhatian. Atau, karena secara ekonomi sudah mandiri, perempuan/istri merasa bahwa dirinya begitu berharga dalam keluarga karena dia mampu mandiri secara ekonomi dan tidak tergantung pada penghasilan suami. Rasa hormat kepada suami pun berkurang bahkan hilang. Ini rentan memicu konflik yang berujung KDRT.

Munculnya beragam program pemberdayaan ekonomi perempuan juga menunjukkan adanya pandangan bahwa peran perempuan di ranah domestik sebagai ibu rumah tangga dianggap tidak produktif. Dalam pengertian, tidak berkolerasi secara langsung terhadap pembangunan nasional, karena ukuran Indeks Pembangunan Nasional diukur dari jumlah pendapatan masyarakat dibagi jumlah penduduk. Otomatis ibu-ibu yang tidak berpenghasilan dianggap tidak berpartisipasi dalam menyumbangkan angka ini. Peran domestik perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian. Seorang ibu rumah tangga dianggap warga negara kelas dua. Faktor non materi seperti cinta kasih, dedikasi dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori ekonomi.


Padahal seorang ibu rumah tangga memiliki andil yang besar bagi perekonomian suatu negara walaupun kontribusinya tidak langsung. Karena itu, perlu pelurusan cara pandang terhadap peran perempuan di masyarakat/negara. Jangan hanya ekonomi, tapi peran agung dan mulia sebagai sosol pendidik, dan pembina generasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar