PIDATO pengantar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet berkaitan APBN 2014
(Media Indonesia, 15/11), menyatakan keraguannya atas transparansi dan
akuntabilitas dana optimalisasi hasil pembahasan RAPBN 2014 sebesar Rp24
trilyun. Jika ditelusuri lebih jauh, pada dasarnya tidak ada satu pun
nomenklatur dalam peraturan perundang-undangan yang menyatakan secara jelas
definisi dana optimalisasi. Istilah itu muncul dari kalangan legislatif,
dengan dana tersebut diperoleh dari optimalisasi pembahasan proposal
anggaran yang diajukan eksekutif, baik dari efisiensi belanja maupun
peningkatan target pendapatan. Benar, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara
dan UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjamin fungsi anggaran
DPR, bahwa DPR dapat mengajukan usul yang dapat mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU APBN, sepanjang tidak melebihi
batas defisit.
Persoalan yang
muncul kemudian, dana optimalisasi itu tidak memiliki pengaturan peruntukan
alokasinya dan baru diputuskan menjelang akhir pembahasan ang garan oleh
Banggar DPR. Di situlah titik rawan penyalahgunaan anggaran itu mulai
terjadi. DPR bukanlah institusi perencana yang mampu dan memiliki kapasitas
menentukan alokasi anggaran program dan kegiatan sehingga tidak
mengherankan pengaloka sian dana optimalisasi itu dilakukan secara
serampangan untuk sekadar memburu rente, dengan modus menjajakan dana
optimalisasi kepada kementerian/lembaga yang ingin mendapatkan tambahan
anggaran ataupun membuat mata anggaran baru.
Optimalisasi korupsi
Pada 2010 misalnya,
karena tidak memiliki dasar pengalokasian, Badan Anggaran DPR akhirnya
memberikan jatah Rp100 miliar pada setiap komisi untuk membahas tambahan
anggaran dana optimalisasi dengan mitra komisi masingmasing. Kasus-kasus
korupsi terkini juga mengonfirmasikan dana optimalisasi menjadi ajang
korupsi. Seperti kasus korupsi Alquran yang memperoleh tambahan dana
optimalisasi dari anggaran Rp2,1 miliar menjadi Rp22,8 miliar pada APBN-P
2011. Terakhir anggaran Hambalang yang berturut-turut menerima tambahan
dana optimalisasi dari APBN 2010 hingga 2012.
Tidak hanya membuka
ruang bancakan anggaran, pengalokasian dana optimalisasi itu juga tidak
akan efektif karena tidak direncanakan dengan benar dalam waktu yang
relatif singkat atau kurang dari sebulan setelah anggaran
dirapatparipurnakan. Padahal seluruh, program dan kegiatan yang dianggarkan
eksekutif telah direncanakan melalui mekanisme musrenbang (musyawarah
perencanaan pembangunan) sejak April.
Lalu bagaimana
mungkin, tambah an dana optimalisasi Rp24 triliun dapat direncanakan dalam
waktu singkat mampu menghasilkan kegiatan yang efektif dan bermanfaat untuk
rakyat. Kementerian PU misalnya, yang mendapatkan tambahan anggaran hingga
Rp7 triliun, apakah secara tiba-tiba dapat merencanakan kegiatan, dengan ujung-ujungnya
pengalokasian dana itu sekadar untuk menghabiskan atau menyerap anggaran,
tanpa memikirkan efektivitasnya.
Ketidaktersediaan
waktu untuk membahas peruntukan dana optimalisasi, pada ujung pembahasan
anggaran, pada akhirnya hanya menjadikan sidang paripurna penetapan APBN
sekadar formalitas. Padahal, jika mengacu aturan yang ada, Sidang Paripurna
DPR menetapkan APBN terinci sampai dengan jenis, program, dan kegiatan.
Namun, pada praktiknya, berdasarkan hasil pemantauan Fitra, sampai saat ini
masih berlangsung pembahasan anggaran yang berasal dari dana optimalisasi
pada tingkat komisi dengan mitra kerjanya yang umumnya berlangsung
tertutup.
Strategi lain ialah
memberikan tanda bintang atau blokir anggaran, dengan catatan bahwa rincian
anggaran belum selesai dibahas. Berdasarkan catatan Fitra, pemberian tanda
bintang itu pun terus meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp63,4 triliun
pada APBN 2011, Rp78,5 triliun pada APBN 2012, dan terus membengkak menjadi
Rp163,5 triliun pada APBN 2013.
Pemblokiran anggaran
itu juga menjadi ajang `penggiringan proyek' kepada pihak tertentu. Kementerian/lembaga
yang menginginkan tanda bintang dicabut tentunya harus melakukan lobi-lobi
tertutup dengan imbalan atau kesepakatan tertentu, seperti mengharuskan
menggunakan kontraktor tertentu untuk menangani proyek di kementerian
tersebut. Pencabutan tanda bintang pada mata anggaran, juga terkadang hanya
membutuhkan persetujuan pimpinan komisi ataupun anggota banggar di komisi
tersebut, sebagaimana terjadi dalam kasus korupsi Hambalang.
Dengan mengingat
biaya politik tinggi menjelang Pemilu 2014, bukan tidak mungkin dana
optimalisasi ini tidak hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi
juga sebagai motif untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999).
Sepanjang diskresi dana optimalisasi itu diserahkan politisi, tidak
mengherankan kasus-kasus korupsi baru pembobolan APBN akan terus
berlangsung. Beberapa kelompok masyarakat sipil, termasuk Fitra telah
mengajukan judicial review UU Keuangan Negara khususnya mengenai persoalan
fungsi anggaran terkait dengan dana optimalisasi itu. Namun, sampai kini MK
belum memutuskan.
Ke depan dana optimalisasi
perlu dibatasi pengalokasiannya. Misalnya, hanya digunakan untuk mengurangi
defisit, kegiatan yang direncanakan dalam rencana kerja pemerintah (RKP)
dan tidak boleh dialokasikan untuk kegiatan atau proyek baru atau menambah
anggaran kegiatan tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar