Rabu, 20 November 2013

Karier Saya Adalah Presiden

Karier Saya Adalah Presiden
Herry Tjahjono  ;   Terapis Budaya Perusahaan
KOMPAS,  20 November 2013
  

Dengan amburadulnya kinerja dan profesionalitas para pejabat publik, politisi, atau secara lebih luas para pemimpin bangsa ini, tak ada salahnya kita semua terus menyorotinya demi perbaikan produk dari perhelatan akbar tahun 2014.
Amburadul adalah mereka dengan kinerja yang memprihatinkan, termasuk mereka yang berkinerja di bawah standar.

Namun, amburadul juga bisa menyambar ke ranah integritas pemimpin karena banyaknya pemimpin bangsa (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang terjerat kasus korupsi.

Amburadulnya kinerja, integritas, dan profesionalitas itu jadi menarik ketika kita meminjam terminologi pekerjaan (job) dan karier (career) dari Rene Suhardono, seorang career coach, dalam bukunya, Your Job is Not Your Career (2011).
Pekerjaan terkait dengan semua hal yang ada di kantor, termasuk segenap gaji, inventaris, bahkan tugas, kartu nama, dan jabatan itu sendiri.

Semua yang disebutkan adalah milik organisasi, bisa perusahaan bisa negara. Maka, pekerjaan adalah sarana yang bisa membawa kita ke tempat yang kita kehendaki.

Sementara karier, kata Rene, adalah perjalanan itu sendiri. Karier bukanlah sebuah garis lurus. Karier memungkinkan adanya pergantian profesi di dalamnya.

Karier adalah totalitas kehidupan profesional.

Karier juga tidak melulu berhubungan dengan cara atau teknik memperoleh penghidupan, tetapi terkait erat dengan passion, tujuan hidup, nilai-nilai, dan motivasi dalam berkarya untuk berkontribusi pada lingkungan (keluarga, perusahaan, negara, bangsa, dan seterusnya).

Pekerjaan adalah milik organisasi, sedangkan karier adalah milik kita sendiri. Organisasi bisa memecat atau memensiunkan kita, tetapi tak satu pun organisasi atau orang yang bisa memberhentikan kita dari karier.

Di Indonesia

Menghubungkan uraian itu dengan amburadulnya kinerja para pemimpin bangsa, secara psikologis tampaknya para pemimpin itu memandang semua yang mereka kerjakan sekarang (termasuk kursi kepemimpinan yang diduduki) sebagai sebuah pekerjaan belaka. Mereka tidak memandang dan memperlakukannya sebagai karier dalam hidup.

Ketika mereka memandang semuanya sebagai pekerjaan, ada dua konsekuensi yang terjadi.

Pertama, kurangnya passion dan nilai-nilai dalam menjalankan tugas dan kewajiban karena tanpa sadar semua diukur lewat besar kecilnya kompensasi dan terpenuhi tidaknya tujuan pribadi.

Kedua, turunan dari konsekuensi pertama plus pertimbangan batas waktu pekerjaan sebelum diberhentikan atau dipensiunkan bisa menjadikan mereka oportunis, mengeksploitasi kursi dan wewenang untuk mengeruk keuntungan, termasuk melalui korupsi.

Setidaknya sekarang kita memahami kenapa kita sering menemui kinerja para pemimpin dan pejabat yang amburadul dan tidak profesional.
Inilah contoh panjangnya: sulit mengaku salah dan mundur jika melakukan kesalahan atau gagal dan tenang-tenang saja meski sudah ditegur di sidang kabinet karena gagal menjalankan perintah.

Selain itu, menggunakan jabatan untuk naik ke tempat lebih tinggi atau basah, berkonspirasi demi kemakmuran pribadi, absen di sidang-sidang paripurna DPR meski dikritik habis-habisan dan disiarkan media massa, keluyuran ke mancanegara berlagak studi banding, dan vonis-vonis hakim yang aneh dan membodohi masyarakat.

Naluri

Lebih dalam lagi, manusia sesungguhnya memiliki dua naluri dalam hidupnya, yakni naluri primitif dan naluri paripurna.

Naluri primitif bersifat lebih rendah karena terkait dengan hal-hal yang bersifat hedonis dan biasanya bermuara pada pemenuhan hawa nafsu.

Sementara naluri paripurna bersifat lebih tinggi karena berhubungan dengan hal-hal yang bersifat prima, utama, dan biasanya bermuara pada pemenuhan passion dan nilai-nilai.

Naluri paripurna tertuju pada pemenuhan tujuan hidup yang lebih luas, melingkupi kontribusi kepada keluarga, perusahaan, negara, dan bangsa.
Sesungguhnya wajar saja manusia memiliki kedua naluri tersebut.

Hanya, biasanya pemimpin yang memandang dan memperlakukan ”kursi kepemimpinan” sebagai pekerjaan semata-mata akan cenderung berhenti pada naluri primitif dan enggan beranjak pada naluri paripurnanya.

Itu pula sebabnya, kita lebih banyak punya politisi, bukannya negarawan.
Saat ini, para calon pemimpin di segenap dimensi dan level tengah mempersiapkan diri habis-habisan untuk berlaga.

Semoga uraian ini bisa menjadi bahan introspeksi bahwa kursi kepemimpinan tidak pantas dipandang hanya sebagai sebuah pekerjaan karena hanya melahirkan penderitaan.

Kursi kepemimpinan sebagai pekerjaan cenderung dijalankan dengan naluri primitif. Konsekuensinya memang mendapat ”kesenangan” (akibat terpenuhinya hawa nafsu) sekaligus menyimpan penyesalan dan akhirnya ”kekosongan” di akhir perjalanan.

Adapun kursi kepemimpinan sebagai karier cenderung dijalankan dengan naluri paripurna.

Konsekuensinya adalah melahirkan ”kebahagiaan” (akibat pemenuhan nilai-nilai), tidak menyisakan penyesalan dan akhirnya mencapai ”kepenuhan” di ujung perjalanan.

Saya pun penasaran, apa yang akan disampaikan SBY jika orang bertanya profesinya sekarang.

Apakah ”pekerjaan saya adalah presiden” atau ”karier saya adalah presiden”.
Namun, akan jauh lebih menarik dan menantang bagi kita sebagai rakyat jika pemimpin kita mendatang dengan tegas mengatakan, ”Karier saya adalah presiden!” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar