Dengan amburadulnya kinerja dan
profesionalitas para pejabat publik, politisi, atau secara lebih luas para
pemimpin bangsa ini, tak ada salahnya kita semua terus menyorotinya demi
perbaikan produk dari perhelatan akbar tahun 2014.
Amburadul adalah mereka dengan
kinerja yang memprihatinkan, termasuk mereka yang berkinerja di bawah
standar.
Namun, amburadul juga bisa
menyambar ke ranah integritas pemimpin karena banyaknya pemimpin bangsa
(eksekutif, legislatif, yudikatif) yang terjerat kasus korupsi.
Amburadulnya kinerja,
integritas, dan profesionalitas itu jadi menarik ketika kita meminjam terminologi
pekerjaan (job) dan karier (career) dari Rene Suhardono,
seorang career coach, dalam bukunya, Your Job is Not Your
Career (2011).
Pekerjaan terkait dengan semua
hal yang ada di kantor, termasuk segenap gaji, inventaris, bahkan tugas,
kartu nama, dan jabatan itu sendiri.
Semua yang disebutkan adalah
milik organisasi, bisa perusahaan bisa negara. Maka, pekerjaan adalah
sarana yang bisa membawa kita ke tempat yang kita kehendaki.
Sementara karier, kata Rene,
adalah perjalanan itu sendiri. Karier bukanlah sebuah garis lurus. Karier
memungkinkan adanya pergantian profesi di dalamnya.
Karier adalah totalitas
kehidupan profesional.
Karier juga tidak melulu
berhubungan dengan cara atau teknik memperoleh penghidupan, tetapi terkait
erat dengan passion, tujuan hidup, nilai-nilai, dan motivasi dalam
berkarya untuk berkontribusi pada lingkungan (keluarga, perusahaan, negara,
bangsa, dan seterusnya).
Pekerjaan adalah milik
organisasi, sedangkan karier adalah milik kita sendiri. Organisasi bisa
memecat atau memensiunkan kita, tetapi tak satu pun organisasi atau orang
yang bisa memberhentikan kita dari karier.
Di Indonesia
Menghubungkan uraian itu dengan
amburadulnya kinerja para pemimpin bangsa, secara psikologis tampaknya para
pemimpin itu memandang semua yang mereka kerjakan sekarang (termasuk kursi
kepemimpinan yang diduduki) sebagai sebuah pekerjaan belaka. Mereka tidak
memandang dan memperlakukannya sebagai karier dalam hidup.
Ketika mereka memandang semuanya
sebagai pekerjaan, ada dua konsekuensi yang terjadi.
Pertama,
kurangnya passion dan nilai-nilai dalam menjalankan tugas dan
kewajiban karena tanpa sadar semua diukur lewat besar kecilnya kompensasi
dan terpenuhi tidaknya tujuan pribadi.
Kedua, turunan dari konsekuensi
pertama plus pertimbangan batas waktu pekerjaan sebelum diberhentikan atau
dipensiunkan bisa menjadikan mereka oportunis, mengeksploitasi kursi dan
wewenang untuk mengeruk keuntungan, termasuk melalui korupsi.
Setidaknya sekarang kita
memahami kenapa kita sering menemui kinerja para pemimpin dan pejabat yang
amburadul dan tidak profesional.
Inilah contoh panjangnya: sulit
mengaku salah dan mundur jika melakukan kesalahan atau gagal dan
tenang-tenang saja meski sudah ditegur di sidang kabinet karena gagal
menjalankan perintah.
Selain itu, menggunakan jabatan
untuk naik ke tempat lebih tinggi atau basah, berkonspirasi demi kemakmuran
pribadi, absen di sidang-sidang paripurna DPR meski dikritik habis-habisan
dan disiarkan media massa, keluyuran ke mancanegara berlagak studi banding,
dan vonis-vonis hakim yang aneh dan membodohi masyarakat.
Naluri
Lebih dalam lagi, manusia
sesungguhnya memiliki dua naluri dalam hidupnya, yakni naluri primitif dan
naluri paripurna.
Naluri primitif bersifat lebih
rendah karena terkait dengan hal-hal yang bersifat hedonis dan biasanya
bermuara pada pemenuhan hawa nafsu.
Sementara naluri paripurna
bersifat lebih tinggi karena berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
prima, utama, dan biasanya bermuara pada pemenuhan passion dan
nilai-nilai.
Naluri paripurna tertuju pada
pemenuhan tujuan hidup yang lebih luas, melingkupi kontribusi kepada
keluarga, perusahaan, negara, dan bangsa.
Sesungguhnya wajar saja manusia
memiliki kedua naluri tersebut.
Hanya, biasanya pemimpin yang
memandang dan memperlakukan ”kursi kepemimpinan” sebagai pekerjaan
semata-mata akan cenderung berhenti pada naluri primitif dan enggan
beranjak pada naluri paripurnanya.
Itu pula sebabnya, kita lebih
banyak punya politisi, bukannya negarawan.
Saat ini, para calon pemimpin di
segenap dimensi dan level tengah mempersiapkan diri habis-habisan untuk
berlaga.
Semoga uraian ini bisa menjadi
bahan introspeksi bahwa kursi kepemimpinan tidak pantas dipandang hanya
sebagai sebuah pekerjaan karena hanya melahirkan penderitaan.
Kursi kepemimpinan sebagai
pekerjaan cenderung dijalankan dengan naluri primitif. Konsekuensinya
memang mendapat ”kesenangan” (akibat terpenuhinya hawa nafsu) sekaligus
menyimpan penyesalan dan akhirnya ”kekosongan” di akhir perjalanan.
Adapun kursi kepemimpinan
sebagai karier cenderung dijalankan dengan naluri paripurna.
Konsekuensinya adalah melahirkan
”kebahagiaan” (akibat pemenuhan nilai-nilai), tidak menyisakan penyesalan
dan akhirnya mencapai ”kepenuhan” di ujung perjalanan.
Saya pun penasaran, apa yang
akan disampaikan SBY jika orang bertanya profesinya sekarang.
Apakah ”pekerjaan saya adalah
presiden” atau ”karier saya adalah presiden”.
Namun, akan jauh lebih menarik
dan menantang bagi kita sebagai rakyat jika pemimpin kita mendatang dengan
tegas mengatakan, ”Karier saya adalah presiden!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar