Kamis, 21 November 2013

Hikmah Indonesia bagi Myanmar

Hikmah Indonesia bagi Myanmar
David T Hill  Profesor Kajian Asia Tenggara di Asia Research Centre,
Universitas Murdoch, Australia Barat
KOMPAS,  21 November 2013



INDONESIA bukan Myanmar. Jelas banyak perbedaan. Namun, setelah dua minggu saya mengunjungi Myanmar (dulu: Birma), yang sangat mencolok di mata saya adalah persamaan di antara kedua bangsa dan sejarah politiknya.
Lebih-lebih lagi kapasitas Indonesia mengulurkan tangannya membantu Myanmar melalui reformasi politiknya. Saya bukan ahli Myanmar, tetapi bagi awam pun, persamaan dan perbandingan keduanya nyata betul.

Myanmar dikuasai militer sejak tahun 1962 dan mulai bereformasi sekitar tahun 2010. Jika reformasi di Indonesia sedikit-banyak berhasil mengecilkan peran militer, akar militerisme di Myanmar sangat dalam. Setelah dijajah Inggris sejak 1824, gerakan nasionalis Birma mencapai kemerdekaannya pada 1948. Namun, negara yang terdiri atas 135 suku bangsa ini kemudian mengalami pemberontakan dari kaum minoritas tertentu yang tinggal di daerah pinggiran Birma. Ketika pemerintah sipil dikudeta militer pada tahun 1962, Birma mengalami masa gelap di bawah lars militer selama setengah abad.

Paling tertutup

Birma pernah menjadi salah satu negara paling tertutup pada interaksi dengan dunia luar. Turisme pun sangat terbatas di daerah tertentu saja, dengan jangka visa kunjung amat pendek, bahkan pernah maksimum satu minggu. Sistem perekonomiannya pernah tertutup pada perdagangan internasional.

Negara sahabatnya sangat sedikit. Kerja sama, misalnya, bidang militer, dengan negara lain sangat jarang. Di bawah militer setiap aspek kehidupan negara dikuasai militer. Universitas tertekan. Ketika persatuan mahasiswa Universitas Rangoon mengadakan protes melawan militer, Juli 1962, Jenderal Ne Win menyuruh tentaranya meledakkan gedung persatuan mahasiswa di kampus. Kampus itu sepi sampai sekarang. Ratusan sampai ribuan pemrotes ditahan tanpa diadili.

Penguasa militer Birma terguncang pemberontakan bersenjata di hampir setiap daerah pinggiran dan perbatasan internasionalnya, dari beberapa suku termasuk Wa, Shan, Kachin, Karen, Chin, dan Kayah. Nama negara pun diganti oleh rezim, dari Birma (”tanah suku Barmar”) menjadi Myanmar pada 1989 seakan-akan menghapuskan kaitan dengan sejarahnya sendiri.

Rangoon menjadi Yangon. Seperti raja-raja zaman dulu, pemerintah membangun ibu kota baru yang namanya Naypyidaw sebagai tanda kekuasaannya (meski sedikit dari roda pemerintahan atau wakil diplomatik telah dipindahkan dari Yangon ke sana) sejak diresmikan sebagai ibu kota pada tahun 2005.

Ketika diadakan pemilu pada Mei 1990, State Law and Order Restoration Council/Dewan Pemulihan Hukum dan Tata Tertib Negara menolak hasil karena partai militernya hanya memperoleh 25 persen melawan gerakan reformasi Liga Demokrasi Nasional (NLD) dipimpin Aung San Suu Kyi yang meraih 60 persen. Reformis NLD ditahan dan ditekan.

Pemilu yang dijadwalkan pada tahun 2015 diharapkan membuka lebih luas lagi proses reformasi yang telah dimulai dengan dibebaskan dari tahanan rumah pemimpin gerakan reformasi Ibu Aung San Suu Kyi pada November 2010. Dia mengalami tahanan rumah setelah hampir 15 tahun sejak pertama ditahan Juli 1989.

Sebelum saya mendarat di kota Yangon pertengahan Oktober, asumsi saya: masyarakat waswas dan tiarap. Cemas menanti pukul balik dari militer sebelum pemilu. Namun, masyarakat yang saya temukan selama dua minggu keliling-keliling dari ibu kota sampai pelosok di dataran etnis Shan di timur laut Myanmar meyakinkan saya bahwa negara ini sedang mengalami perubahan psikologis dan politik amat nyata.

Rasanya, ada banyak hikmah yang dapat dipelajari dari pengalaman demokratisasi di Indonesia yang akan sangat berguna bagi bangsa Myanmar.
Pengalaman Indonesia antara tahun 1998 dan sekarang tak jauh berbeda dari yang dapat diharapkan kaum reformis di Myanmar. LSM dan gerakan politik alternatif Myanmar bisa mendapat hikmah dan pelajaran yang bermanfaat andai kata sempat bergabung dan bertukar pengalaman dengan mitranya di Indonesia.

Media Myanmar, misalnya, sedang melebarkan sayap. Koran muncul di mana-mana, seperti awal reformasi di Indonesia. Majalah (paling sedikit yang berbahasa Inggris) yang sangat kritis terhadap pemerintah telah beredar, meliput langkah-langkah yang diambil ke arah perbaikan. Tidak hanya mahasiswa yang berani bicara politik.

Salah satu orang yang sempat saya temui adalah seorang jenderal pensiunan. Dia pun menganggap reformasi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Adalah suatu kepastian, Myanmar akan tambah terbuka dan militer makin mundur dari kegiatan politik. Barangkali nasihat Indonesia berpotensi membantu ”kembali ke barak” kaum militer, yang sampai sekarang masih menguasai parlemen dan ekonomi Myanmar.

Dengan masuknya penanaman modal asing secara besar-besaran, sebagian kaum militer juga menyadari bahwa diperlukan tata ekonomi yang lebih transparan dan berimbang. Namun, apa reformis Myanmar dapat berhasil melenyapkan alokasi kursi parlemen buat tentara? Lihatlah apa yang terjadi di Indonesia.

Gelombang turis asing telah mulai. Sekarang Myanmar hampir kebanjiran turis. Ke Yangon, Mandalay, Bagan, Danau Inle, dan lain-lain. Namun, sarana masih belum siap. Di beberapa kota dan tempat sasaran turis, jalan- jalan masih becek, belum diaspal. Hotel besar-kecil sedang dibangun di mana-mana dan kapasitas pesawat belum cukup menampung penumpang ke mana-mana.

Pergilah ke Bali

Dalam mengembangkan industri pariwisata yang bersarana dan melibatkan orang setempat, Myanmar dapat mencontoh sejumlah aspek perkembangan sektor turisme di Indonesia. Telah kami sarankan kepada salah satu pemandu kami yang berminat mendirikan perusahaan pariwisata sendiri, pergilah ke Bali dulu bila ingin mempelajari industri pariwisata yang telah berkembang, lengkap dengan baik-buruknya.

Secara geografis, Myanmar terletak di antara dua negara gajah yang paling besar di dunia: India dan China. Secara ekonomis Myanmar ”terjepit” di antara kekuatan finansial yang berpotensi mendominasi ekonominya. Salah seorang sarjana hukum yang bekerja dalam industri pariwisata mengutarakan kekhawatiran akan dampak terintegrasinya Myanmar dalam kawasan ASEAN Free Trade Area mengingat ekonomi negara begitu lemah dalam bersaing dengan negara ASEAN lain yang jauh lebih maju.

Di daerah tertentu, gerakan separatis masih berakar dan membakar. Ketika kami mengadakan perjalanan berhari-hari ke ulu di daerah Shan, dari desa ke desa, trayek kami yang semula terpaksa diubah arahnya oleh pemandu kami. Ternyata ada ”konfrontasi bersenjata” antara tentara Myanmar dan tentara etnis daerah itu. Dikhawatirkan turis tak aman dan kami disuruh keluar.

Bagaimana sebuah bangsa yang terdiri atas seratus etnis dapat merangkul aspirasi suku- suku untuk menjaga identitas serta kebudayaannya sendiri— apalagi otonomi politiknya—tanpa didominasi mayoritas? Apakah ada pelajaran dari pengalaman Indonesia dalam hal ini? Yang jelas, ini tantangan yang sudah lama dihadapi kedua negara ini dengan hasil yang belum dinyatakan berhasil.

Baik Indonesia maupun Myanmar sedang menghadapi pula konflik antaragama yang belum terselesaikan secara damai. Di Indonesia ada pertentangan di antara mayoritas Islam Sunni menekan minoritas yang Syiah, Ahmadiyah, atau Kristen. Di Myanmar, di antara mayoritas Buddha ada yang bersikap anti- Rohinga Islam. Sampai-sampai pernah ada biksu dan pemimpin kalangan Buddha yang menganjurkan pengikutnya memboikot toko-toko dan perusahaan yang pemiliknya bukan Buddha.

Memang tidak semua tantangan reformasi dan demokratisasi telah diatasi Indonesia dengan mulus. Namun, perjalanan bangsa Indonesia dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi reformis Myanmar.

Seperti ditulis International Crisis Group awal Oktober, ”At a moment of historic reform and opening, Myanmar cannot afford to become hostage to intolerance and bigotry” (Pada saat reformasi bersejarah dan keterbukaan, Myanmar tak patut menjadi sandera pada ketidaktoleranan dan kefanatikan). Begitu juga, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar