INDONESIA bukan Myanmar. Jelas
banyak perbedaan. Namun, setelah dua minggu saya mengunjungi Myanmar (dulu:
Birma), yang sangat mencolok di mata saya adalah persamaan di antara kedua
bangsa dan sejarah politiknya.
Lebih-lebih lagi kapasitas
Indonesia mengulurkan tangannya membantu Myanmar melalui reformasi
politiknya. Saya bukan ahli Myanmar, tetapi bagi awam pun, persamaan dan
perbandingan keduanya nyata betul.
Myanmar dikuasai militer sejak
tahun 1962 dan mulai bereformasi sekitar tahun 2010. Jika reformasi di
Indonesia sedikit-banyak berhasil mengecilkan peran militer, akar
militerisme di Myanmar sangat dalam. Setelah dijajah Inggris sejak 1824,
gerakan nasionalis Birma mencapai kemerdekaannya pada 1948. Namun, negara
yang terdiri atas 135 suku bangsa ini kemudian mengalami pemberontakan dari
kaum minoritas tertentu yang tinggal di daerah pinggiran Birma. Ketika
pemerintah sipil dikudeta militer pada tahun 1962, Birma mengalami masa
gelap di bawah lars militer selama setengah abad.
Paling tertutup
Birma pernah menjadi salah satu
negara paling tertutup pada interaksi dengan dunia luar. Turisme pun sangat
terbatas di daerah tertentu saja, dengan jangka visa kunjung amat pendek,
bahkan pernah maksimum satu minggu. Sistem perekonomiannya pernah tertutup
pada perdagangan internasional.
Negara sahabatnya sangat
sedikit. Kerja sama, misalnya, bidang militer, dengan negara lain sangat
jarang. Di bawah militer setiap aspek kehidupan negara dikuasai militer.
Universitas tertekan. Ketika persatuan mahasiswa Universitas Rangoon
mengadakan protes melawan militer, Juli 1962, Jenderal Ne Win menyuruh
tentaranya meledakkan gedung persatuan mahasiswa di kampus. Kampus itu sepi
sampai sekarang. Ratusan sampai ribuan pemrotes ditahan tanpa diadili.
Penguasa militer Birma
terguncang pemberontakan bersenjata di hampir setiap daerah pinggiran dan
perbatasan internasionalnya, dari beberapa suku termasuk Wa, Shan, Kachin,
Karen, Chin, dan Kayah. Nama negara pun diganti oleh rezim,
dari Birma (”tanah suku Barmar”) menjadi Myanmar pada 1989
seakan-akan menghapuskan kaitan dengan sejarahnya sendiri.
Rangoon menjadi Yangon. Seperti
raja-raja zaman dulu, pemerintah membangun ibu kota baru yang namanya
Naypyidaw sebagai tanda kekuasaannya (meski sedikit dari roda pemerintahan
atau wakil diplomatik telah dipindahkan dari Yangon ke sana) sejak
diresmikan sebagai ibu kota pada tahun 2005.
Ketika diadakan pemilu pada Mei
1990, State Law and Order Restoration Council/Dewan Pemulihan Hukum dan
Tata Tertib Negara menolak hasil karena partai militernya hanya memperoleh
25 persen melawan gerakan reformasi Liga Demokrasi Nasional (NLD) dipimpin
Aung San Suu Kyi yang meraih 60 persen. Reformis NLD ditahan dan ditekan.
Pemilu yang dijadwalkan pada
tahun 2015 diharapkan membuka lebih luas lagi proses reformasi yang telah
dimulai dengan dibebaskan dari tahanan rumah pemimpin gerakan reformasi Ibu
Aung San Suu Kyi pada November 2010. Dia mengalami tahanan rumah setelah
hampir 15 tahun sejak pertama ditahan Juli 1989.
Sebelum saya mendarat di kota
Yangon pertengahan Oktober, asumsi saya: masyarakat waswas dan tiarap.
Cemas menanti pukul balik dari militer sebelum pemilu. Namun, masyarakat
yang saya temukan selama dua minggu keliling-keliling dari ibu kota sampai
pelosok di dataran etnis Shan di timur laut Myanmar meyakinkan saya bahwa
negara ini sedang mengalami perubahan psikologis dan politik amat nyata.
Rasanya, ada banyak hikmah yang
dapat dipelajari dari pengalaman demokratisasi di Indonesia yang akan
sangat berguna bagi bangsa Myanmar.
Pengalaman Indonesia antara
tahun 1998 dan sekarang tak jauh berbeda dari yang dapat diharapkan kaum
reformis di Myanmar. LSM dan gerakan politik alternatif Myanmar bisa
mendapat hikmah dan pelajaran yang bermanfaat andai kata sempat bergabung
dan bertukar pengalaman dengan mitranya di Indonesia.
Media Myanmar, misalnya, sedang
melebarkan sayap. Koran muncul di mana-mana, seperti awal reformasi di
Indonesia. Majalah (paling sedikit yang berbahasa Inggris) yang sangat
kritis terhadap pemerintah telah beredar, meliput langkah-langkah yang
diambil ke arah perbaikan. Tidak hanya mahasiswa yang berani bicara
politik.
Salah satu orang yang sempat
saya temui adalah seorang jenderal pensiunan. Dia pun menganggap reformasi
sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Adalah suatu kepastian, Myanmar akan
tambah terbuka dan militer makin mundur dari kegiatan politik. Barangkali
nasihat Indonesia berpotensi membantu ”kembali ke barak” kaum militer, yang
sampai sekarang masih menguasai parlemen dan ekonomi Myanmar.
Dengan masuknya penanaman modal
asing secara besar-besaran, sebagian kaum militer juga menyadari bahwa
diperlukan tata ekonomi yang lebih transparan dan berimbang. Namun, apa
reformis Myanmar dapat berhasil melenyapkan alokasi kursi parlemen buat
tentara? Lihatlah apa yang terjadi di Indonesia.
Gelombang turis asing telah
mulai. Sekarang Myanmar hampir kebanjiran turis. Ke Yangon, Mandalay,
Bagan, Danau Inle, dan lain-lain. Namun, sarana masih belum siap. Di
beberapa kota dan tempat sasaran turis, jalan- jalan masih becek, belum diaspal.
Hotel besar-kecil sedang dibangun di mana-mana dan kapasitas pesawat belum
cukup menampung penumpang ke mana-mana.
Pergilah ke Bali
Dalam mengembangkan industri
pariwisata yang bersarana dan melibatkan orang setempat, Myanmar dapat
mencontoh sejumlah aspek perkembangan sektor turisme di Indonesia. Telah
kami sarankan kepada salah satu pemandu kami yang berminat mendirikan
perusahaan pariwisata sendiri, pergilah ke Bali dulu bila ingin mempelajari
industri pariwisata yang telah berkembang, lengkap dengan baik-buruknya.
Secara geografis, Myanmar
terletak di antara dua negara gajah yang paling besar di dunia: India dan
China. Secara ekonomis Myanmar ”terjepit” di antara kekuatan finansial yang
berpotensi mendominasi ekonominya. Salah seorang sarjana hukum yang bekerja
dalam industri pariwisata mengutarakan kekhawatiran akan dampak
terintegrasinya Myanmar dalam kawasan ASEAN Free Trade Area mengingat
ekonomi negara begitu lemah dalam bersaing dengan negara ASEAN lain yang
jauh lebih maju.
Di daerah tertentu, gerakan
separatis masih berakar dan membakar. Ketika kami mengadakan perjalanan
berhari-hari ke ulu di daerah Shan, dari desa ke desa, trayek kami yang
semula terpaksa diubah arahnya oleh pemandu kami. Ternyata ada ”konfrontasi
bersenjata” antara tentara Myanmar dan tentara etnis daerah itu.
Dikhawatirkan turis tak aman dan kami disuruh keluar.
Bagaimana sebuah bangsa yang
terdiri atas seratus etnis dapat merangkul aspirasi suku- suku untuk
menjaga identitas serta kebudayaannya sendiri— apalagi otonomi politiknya—tanpa
didominasi mayoritas? Apakah ada pelajaran dari pengalaman Indonesia dalam
hal ini? Yang jelas, ini tantangan yang sudah lama dihadapi kedua negara
ini dengan hasil yang belum dinyatakan berhasil.
Baik Indonesia maupun Myanmar
sedang menghadapi pula konflik antaragama yang belum terselesaikan secara
damai. Di Indonesia ada pertentangan di antara mayoritas Islam Sunni
menekan minoritas yang Syiah, Ahmadiyah, atau Kristen. Di Myanmar, di
antara mayoritas Buddha ada yang bersikap anti- Rohinga Islam.
Sampai-sampai pernah ada biksu dan pemimpin kalangan Buddha yang
menganjurkan pengikutnya memboikot toko-toko dan perusahaan yang pemiliknya
bukan Buddha.
Memang tidak semua tantangan
reformasi dan demokratisasi telah diatasi Indonesia dengan mulus. Namun,
perjalanan bangsa Indonesia dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
bagi reformis Myanmar.
Seperti ditulis International
Crisis Group awal Oktober, ”At a moment of historic reform and opening,
Myanmar cannot afford to become hostage to intolerance and bigotry” (Pada
saat reformasi bersejarah dan keterbukaan, Myanmar tak patut menjadi
sandera pada ketidaktoleranan dan kefanatikan). Begitu juga, Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar