Minggu, 10 November 2013

Filosofi Wayang Bupati

Filosofi Wayang Bupati
Toto Suparto  ;   Penelaah Masalah Etika, Penggiat ”Ruang Etika”,
Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 09 November 2013


Seorang dalang menjadi bupati bagai setitik air di tengah gurun. Darinya bisa lahir secercah harapan untuk menemukan pemimpin sejati. Pemimpin yang arif atas nilai-nilai kehidupan sebagaimana diajarkan dalam lakon-lakon pewayangan. Kata Benedict ROG Anderson, guru besar emeritus Cornell University, dalam perwayangan tergambar posisi eksistensial orang Jawa.

Termaktub di dalamnya hubungan dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada sejawat, dan kepada diri sendiri. Ajaran wa­yang adalah sistem etika sehingga sangat layak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar wacana di awang-awang. Wayang mengajarkan beragam karakter hebat. Misalnya ada karakter Rencakapra­wa yang oleh dalang selalu digambarkan sebagai, ”sang pemimpin bijak akan dihormati semua rakyat.

Beliau bijak karena senang memberi sandang kepada rakyat miskin, memberi pangan kepada rakyat yang kelaparan, memberi air kepada rakyat yang kehausan, memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di tempat licin, memberi tutup kepala kepada rakyat yang kepanasan, dan memiliki cinta kasih terhadap musuh yang sudah menyerah.”

Karakter itu dimiliki oleh sosok Abiyasa, raja bergelar Dewayana (seperti dewa), Sutiknaprawa (bijaksana), dan Rencakaprawa (pelindung dan penolong rakyatnya yang susah). Abiyasa telah mengamalkan Rencakaprawa. Hakikat Rencakaprawa adalah pemimpin sebagai pelayan, bukan malah minta dilayani rakyatnya.

Ki Enthus Susmono, dikenal sebagai dalang wayang kulit dan wayang golek, asal Kabupaten Tegal, memenangi Pilbup Tegal pada 27 Oktober 2013. Kemenangannya menjadi perbincangan nasional, bahkan tak sedikit yang menjadikannya sebagai ”laboratorium” kepemimpinan nasional.

Apakah dengan memahami filsafat wayang, yang sarat ajaran etika, bisa menjadi pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat? Dalam 5 tahun ke depan, ia diuji apakah mampu mentranformasikan filosofi wa­yang dalam gaya kepemimpinan sehingga bisa mencapai taraf seperti Abi­yasa. Rakyat ber­ha­rap dalang yang men­jadi bu­­­pati itu bisa me­nyandang gelar Ki Enthus ”Abiyasa” Susmono.

Harapan tak berlebihan karena selama ini pemimpin terpilih acap meninggalkan rakyat bilamana telah menikmati kursi kekuasaan. Biasanya, saat kampanye bukan hal aneh jika rakyat disayang. Bahkan supaya ’’penonton’’ yakin tampillah adegan kandidat mengunjungi kampung kumuh, blusukan ke pasar tradisional, menikmati alat transportasi rakyat, dan sangat berperhatian kepada wong cilik.

Rakyat Dibuang

Tetapi nanti dulu, harapan itu bisa saja semu. Asa itu membayang bagai halunisasi. Buktinya, kini banyak pemimpin yang memenangi pemilu tetapi lupa mengangkat harkat dan martabat rakyat. Setelah menjadi pemimpin, ia melupakan rakyat. Setiap kampanye rakyat memang dirangkul, tetapi setelah kekuasaan direngkuh, rakyat pun disisihkan.

Yang diidam-idamkan oleh rakyat

Inilah batu ujian bagi Bupati Enthus. Di pundaknya tersandar sejumlah harapan rakyat, bahwa dia bisa menjelma menjadi Abiyasa.

Ia pun akan senang memberi sandang kepada rakyat yang miskin, memberi pangan kepada rakyat yang kelaparan, memberi air kepada rakyatnya yang kehausan, memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di tempat yang licin, memberi tutup kepala kepada rakyatnya yang kepanasan, dan memiliki cinta kasih terhadap mu­suh yang su­dah me­nye­rah.

Betapa ti­dak mu­dah se­orang da­lang menjadi kepala daerah. Ia ha­rus membuktikan na­s­ihat-nasihat yang acap di­sisipkan dalam la­kon-la­kon pe­wa­yangan. Ia bu­kan se­kadar ber­bi­cara, te­tapi ia pun mu­tlak mem­­­­­prak­­tik­kan dalam ke­seha­ri­an, dalam sera­gam bupati.

Bilamana nasihat itu tak diamalkan dirinya, terungkaplah bahwa wayang yang didalangi Enthus sekadar tontonan, bukan tuntunan leluhur ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar