|
Seorang dalang menjadi bupati bagai setitik air di tengah
gurun. Darinya bisa lahir secercah harapan untuk menemukan pemimpin sejati.
Pemimpin yang arif atas nilai-nilai kehidupan sebagaimana diajarkan dalam
lakon-lakon pewayangan. Kata Benedict ROG Anderson, guru besar emeritus Cornell
University, dalam perwayangan tergambar posisi eksistensial orang Jawa.
Termaktub di dalamnya hubungan dengan tatanan alam nyata
dan dunia gaib, kepada sejawat, dan kepada diri sendiri. Ajaran wayang adalah
sistem etika sehingga sangat layak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,
bukan sekadar wacana di awang-awang. Wayang mengajarkan beragam karakter hebat.
Misalnya ada karakter Rencakaprawa yang oleh dalang selalu digambarkan
sebagai, ”sang pemimpin bijak akan dihormati semua rakyat.
Beliau bijak karena senang memberi sandang kepada rakyat
miskin, memberi pangan kepada rakyat yang kelaparan, memberi air kepada rakyat
yang kehausan, memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di tempat
licin, memberi tutup kepala kepada rakyat yang kepanasan, dan memiliki cinta
kasih terhadap musuh yang sudah menyerah.”
Karakter itu dimiliki oleh sosok Abiyasa, raja bergelar
Dewayana (seperti dewa), Sutiknaprawa (bijaksana), dan Rencakaprawa (pelindung
dan penolong rakyatnya yang susah). Abiyasa telah mengamalkan Rencakaprawa.
Hakikat Rencakaprawa adalah pemimpin sebagai pelayan, bukan malah minta
dilayani rakyatnya.
Ki Enthus Susmono, dikenal sebagai dalang wayang kulit dan
wayang golek, asal Kabupaten Tegal, memenangi Pilbup Tegal pada 27 Oktober
2013. Kemenangannya menjadi perbincangan nasional, bahkan tak sedikit yang
menjadikannya sebagai ”laboratorium” kepemimpinan nasional.
Apakah dengan memahami filsafat wayang, yang sarat ajaran
etika, bisa menjadi pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat? Dalam 5
tahun ke depan, ia diuji apakah mampu mentranformasikan filosofi wayang dalam
gaya kepemimpinan sehingga bisa mencapai taraf seperti Abiyasa. Rakyat berharap
dalang yang menjadi bupati itu bisa menyandang gelar Ki Enthus ”Abiyasa”
Susmono.
Harapan tak berlebihan karena selama ini pemimpin terpilih
acap meninggalkan rakyat bilamana telah menikmati kursi kekuasaan. Biasanya,
saat kampanye bukan hal aneh jika rakyat disayang. Bahkan supaya ’’penonton’’
yakin tampillah adegan kandidat mengunjungi kampung kumuh, blusukan ke pasar
tradisional, menikmati alat transportasi rakyat, dan sangat berperhatian kepada
wong cilik.
Rakyat Dibuang
Tetapi nanti dulu, harapan itu bisa saja semu. Asa itu
membayang bagai halunisasi. Buktinya, kini banyak pemimpin yang memenangi
pemilu tetapi lupa mengangkat harkat dan martabat rakyat. Setelah menjadi
pemimpin, ia melupakan rakyat. Setiap kampanye rakyat memang dirangkul, tetapi
setelah kekuasaan direngkuh, rakyat pun disisihkan.
Yang diidam-idamkan oleh rakyat
Inilah batu ujian bagi Bupati Enthus. Di pundaknya
tersandar sejumlah harapan rakyat, bahwa dia bisa menjelma menjadi Abiyasa.
Ia pun akan senang memberi sandang kepada rakyat yang
miskin, memberi pangan kepada rakyat yang kelaparan, memberi air kepada
rakyatnya yang kehausan, memberi tongkat kepada orang yang sedang berjalan di
tempat yang licin, memberi tutup kepala kepada rakyatnya yang kepanasan, dan
memiliki cinta kasih terhadap musuh yang sudah menyerah.
Betapa tidak mudah seorang dalang menjadi kepala
daerah. Ia harus membuktikan nasihat-nasihat yang acap disisipkan dalam lakon-lakon
pewayangan. Ia bukan sekadar berbicara, tetapi ia pun mutlak mempraktikkan
dalam keseharian, dalam seragam bupati.
Bilamana nasihat itu tak diamalkan dirinya, terungkaplah
bahwa wayang yang didalangi Enthus sekadar tontonan, bukan tuntunan leluhur
ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar