Sabtu, 09 November 2013

Dicari : Pahlawan Sejati

Dicari : Pahlawan Sejati
R Valentina Sagala  ;   Aktivis Perempuan, Hukum, dan HAM;
Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SINAR HARAPAN, 09 November 2013


Mungkin tidak seperti anak-anak sekarang. Saya beruntung di bangku sekolah dulu hampir tiap menjelang 10 November murid-murid ditugasi guru menulis dengan tema pahlawan. Penugasan ini beragam, mulai dari pahlawan nasional yang ditetapkan lewat mekanisme kenegaraan, hingga pahlawan dalam makna lebih luas.

Jika dingat-ingat, saya pernah menulis tentang beberapa pahlawan nasional, hingga kisah ayah dan ibu sendiri yang saya anggap sebagai “pahlawan”.

Dikarenakan ingin menulis tentang perempuan, saya juga sempat mempertanyakan mengapa pelajaran sejarah minim mengisahkan perempuan-perempuan berjasa seperti Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, Rohana Kudus, atau aktivis-aktivis Gerakan Wanita Sedar (1950), seperti SK Trimurti, Umi Sardjono, Sri Panggihan, Tris Metty, Sri Kusnapsiah, serta aktivis Gerwani (1954) seperti Soedjinah.

Sejak ditetapkan presiden pertama, Soekarno, melalui Surat Penetapan Nomor 9/OEM/1946, 31 Oktober 1946, Indonesia memperingati 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Sejarah menggambarkan pada tanggal tersebut tahun 1945, terjadi pertempuran hebat yang berawal dari ultimatum pasukan sekutu kepada para pejuang, khususnya pejuang warga Surabaya, bahwa pada 9-10 November pukul 06.00 WIB para pejuang harus menyerahkan diri dan senjatanya dengan mengangkat tangan di atas kepala.

Ketika tidak dipenuhi, sekutu pun melancarkan gempuran selama lebih tiga bulan hingga akhirnya Surabaya jatuh ke tangan sekutu. Diperkirakan sekitar 200.000 rakyat sipil mengungsi meninggalkan Surabaya dan 60.000 pejuang—laki-laki dan perempuan—gugur.

Bagi saya, suasana Hari Pahlawan kali ini diwarnai kemirisan bertolak belakang dengan jiwa kepahlawanan yang dulu dicontohkan pejuang kita. Ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang izin tinggalnya habis kini mulai menghuni rumah detensi imigrasi di Arab Saudi, menunggu dipulangkan. Sekitar 3.900 TKI sudah diangkut dari kolong jembatan layang ke rumah detensi pascaberakhirnya masa amnesti.

Ironi di dalam negeri tak kurang miris. Jika para pejuang dulu memperjuangkan kedaulatan sebagai bangsa merdeka, hal kedaulatan khususnya di sektor ekonomi strategis yang semakin dikuasai modal asing, kini banyak dipertanyakan.

Dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi CEO Forum Kerja Sama Asia Pasifik (APEC) 2013 di Bali, Oktober lalu misalnya, Presiden Yudhoyono dalam pidatonya menyebut dirinya sebagai “Kepala Pemasaran Indonesia Incorporated” (Indonesia Inc) yang berupaya menjanjikan Indonesia sebagai “surga” bagi masa depan investasi dan bisnis calon investor asing, antara lain karena lebih singkat dan mudahnya izin berusaha.

Di sisi lain baru-baru ini masyarakat dibuat terperangah atas fakta bahwa tujuh koruptor mantan legislator masih menerima gaji pensiun, termasuk terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, M Nazaruddin, dan terpidana suap dana penyesuaian infrastruktur daerah, Wa Ode Nurhayati. Alasannya, mereka mengajukan pengunduran diri sebelum Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (BK-DPR) memutuskan sanksi.

Ketua BK-DPR, Trimedya Panjaitan, membenarkan alasan tersebut sesuai aturan. Menurutnya meski terpidana, para anggota DPR ini sudah bekerja sehingga sekecil apa pun pasti ada “jasa”-nya. Tidak ada nurani di balik tindakan ini, hanya formalitas semata.

Soal “jasa” semakin mengingatkan saya pada pengorbanan pejuang kita dulu. Bagi mereka, tentulah gelar kepahlawanan bukan tujuan. Hati nurani kita mengakui pahlawan rela mengorbankan diri demi melakukan tindakan yang mengubah ke arah lebih baik.

Perubahan ini berdampak bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk orang banyak, bukan cuma semasa hidupnya, melainkan bahkan di kemudian hari. Pengorbanan tersebut tidak mengukur untung-rugi atau kalah-menang dengan menggunakan dirinya sebagai pusat.

Dalam pemahaman saya, untuk “berjasa” ada tindakan nyata yang berakar dari kesadaran, hati nurani, dan komitmen sejati. Sebagai pondasinya, ada cinta yang tak bersyarat, tak mengharap balasan apa pun, tak menanti keuntungan bagi diri sendiri (unconditional love).

“Berjasa” sejatinya mengandung cinta yang tak bersyarat, seperti halnya “berkorban”. Kesejatian itu selalu ada cara dan suara tertiup dari kebaikan yang dirasakan sebagai dampak perbuatan nyata sang pahlawan.

Di negeri yang merindu perubahan, pertanyaannya mungkin, bagaimana melahirkan pahlawan-pahlawan (perempuan dan laki-laki) dengan kesejatian sejenis ini?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar