|
Mungkin
tidak seperti anak-anak sekarang. Saya beruntung di bangku sekolah dulu
hampir tiap menjelang 10 November murid-murid ditugasi guru menulis dengan tema
pahlawan. Penugasan ini beragam, mulai dari pahlawan nasional yang ditetapkan
lewat mekanisme kenegaraan, hingga pahlawan dalam makna lebih luas.
Jika
dingat-ingat, saya pernah menulis tentang beberapa pahlawan nasional, hingga
kisah ayah dan ibu sendiri yang saya anggap sebagai “pahlawan”.
Dikarenakan
ingin menulis tentang perempuan, saya juga sempat mempertanyakan mengapa
pelajaran sejarah minim mengisahkan perempuan-perempuan berjasa seperti Martha
Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Dewi
Sartika, Rohana Kudus, atau aktivis-aktivis Gerakan Wanita Sedar (1950),
seperti SK Trimurti, Umi Sardjono, Sri Panggihan, Tris Metty, Sri Kusnapsiah,
serta aktivis Gerwani (1954) seperti Soedjinah.
Sejak
ditetapkan presiden pertama, Soekarno, melalui Surat Penetapan Nomor
9/OEM/1946, 31 Oktober 1946, Indonesia memperingati 10 November sebagai Hari
Pahlawan.
Sejarah
menggambarkan pada tanggal tersebut tahun 1945, terjadi pertempuran hebat yang
berawal dari ultimatum pasukan sekutu kepada para pejuang, khususnya pejuang
warga Surabaya, bahwa pada 9-10 November pukul 06.00 WIB para pejuang harus
menyerahkan diri dan senjatanya dengan mengangkat tangan di atas kepala.
Ketika
tidak dipenuhi, sekutu pun melancarkan gempuran selama lebih tiga bulan hingga
akhirnya Surabaya jatuh ke tangan sekutu. Diperkirakan sekitar 200.000 rakyat
sipil mengungsi meninggalkan Surabaya dan 60.000 pejuang—laki-laki dan
perempuan—gugur.
Bagi
saya, suasana Hari Pahlawan kali ini diwarnai kemirisan bertolak belakang
dengan jiwa kepahlawanan yang dulu dicontohkan pejuang kita. Ribuan tenaga
kerja Indonesia (TKI) yang izin tinggalnya habis kini mulai menghuni rumah
detensi imigrasi di Arab Saudi, menunggu dipulangkan. Sekitar 3.900 TKI sudah
diangkut dari kolong jembatan layang ke rumah detensi pascaberakhirnya masa
amnesti.
Ironi
di dalam negeri tak kurang miris. Jika para pejuang dulu memperjuangkan
kedaulatan sebagai bangsa merdeka, hal kedaulatan khususnya di sektor ekonomi
strategis yang semakin dikuasai modal asing, kini banyak dipertanyakan.
Dalam
pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi CEO Forum Kerja Sama Asia Pasifik (APEC)
2013 di Bali, Oktober lalu misalnya, Presiden Yudhoyono dalam pidatonya
menyebut dirinya sebagai “Kepala Pemasaran Indonesia Incorporated” (Indonesia
Inc) yang berupaya menjanjikan Indonesia sebagai “surga” bagi masa depan
investasi dan bisnis calon investor asing, antara lain karena lebih singkat dan
mudahnya izin berusaha.
Di
sisi lain baru-baru ini masyarakat dibuat terperangah atas fakta bahwa tujuh
koruptor mantan legislator masih menerima gaji pensiun, termasuk terpidana
kasus korupsi Wisma Atlet, M Nazaruddin, dan terpidana suap dana
penyesuaian infrastruktur daerah, Wa Ode Nurhayati. Alasannya, mereka
mengajukan pengunduran diri sebelum Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat
(BK-DPR) memutuskan sanksi.
Ketua
BK-DPR, Trimedya Panjaitan, membenarkan alasan tersebut sesuai aturan. Menurutnya
meski terpidana, para anggota DPR ini sudah bekerja sehingga sekecil apa pun
pasti ada “jasa”-nya. Tidak ada nurani di balik tindakan ini, hanya
formalitas semata.
Soal
“jasa” semakin mengingatkan saya pada pengorbanan pejuang kita dulu. Bagi
mereka, tentulah gelar kepahlawanan bukan tujuan. Hati nurani kita mengakui
pahlawan rela mengorbankan diri demi melakukan tindakan yang mengubah ke arah
lebih baik.
Perubahan
ini berdampak bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk orang banyak, bukan
cuma semasa hidupnya, melainkan bahkan di kemudian hari. Pengorbanan tersebut
tidak mengukur untung-rugi atau kalah-menang dengan menggunakan dirinya sebagai
pusat.
Dalam
pemahaman saya, untuk “berjasa” ada tindakan nyata yang berakar dari kesadaran,
hati nurani, dan komitmen sejati. Sebagai pondasinya, ada cinta yang tak
bersyarat, tak mengharap balasan apa pun, tak menanti keuntungan bagi diri
sendiri (unconditional love).
“Berjasa”
sejatinya mengandung cinta yang tak bersyarat, seperti halnya “berkorban”.
Kesejatian itu selalu ada cara dan suara tertiup dari kebaikan yang dirasakan
sebagai dampak perbuatan nyata sang pahlawan.
Di
negeri yang merindu perubahan, pertanyaannya mungkin, bagaimana melahirkan
pahlawan-pahlawan (perempuan dan laki-laki) dengan kesejatian sejenis ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar