Rabu, 06 November 2013

Bola Nasionalisasi dari Inalum

Bola Nasionalisasi dari Inalum
Anna Muawanah   Anggota Komisi XI DPR Fraksi Kebangkitan Bangsa
JAWA POS, 06 November 2013

"Inalum harus menjadi role model untuk melakukan nasionalisasi di proyek-proyek lainnya yang habis kontrak. Ibarat bola, saatnya menggelindingkan nasionalisasi melalui bola Inalum ini." 

RENCANA pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) oleh pemerintah dari Nippon Asahan Aluminium (NAA) harus menjadi momentum penting bagi republik ini untuk mendorong langkah serupa terhadap perusahaan milik nasional. Nasionalisasi perusahaan yang habis kontrak oleh perusahaan asing, seperti yang saat ini terjadi di Inalum, harus menjadi role model untuk melakukan langkah serupa. 

Karena menjadi role model, nasionalisasi atas proyek-proyek yang habis kontrak tentu perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, khususnya dalam konteks Inalum ini. Baik pra dan pasca pengambilalihan secara resmi oleh pemerintah.

Meski proyek "uji coba", karena tergolong pertama, dalam upaya nasionalisasi, jangan pula pengambilalihan Inalum ini dilakukan dengan manajemen "coba-coba". Tentu, seluruh energi harus dipusatkan dengan memikirkan bagaimana Inalum dapat memberikan asas manfaat bagi seluruh stakeholder di republik ini. Di saat bersamaan, kembalinya Inalum juga harus terhindar dari permasalahan di kemudian hari. 

Negosiator yang Nasionalis 

DPR melalui komisi XI (bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, lembaga ke­uangan bukan bank) telah menyetujui anggaran Rp 7 triliun untuk pengambilalihan Inalum. Politik anggaran parlemen tersebut memberikan isyarat penting kepada pemerintah bahwa rakyat memberikan kepercayaan penuh kepada pemerintah untuk pengambilalihan Inalum yang memberikan orientasi pada kedaulatan bangsa. 

Di saat bersamaan, perundingan soal nilai buku aset Inalum antara RI dan NAA belum menemukan titik temu. RI mematok harga USD 588 juta, sedangkan NAA USD 626 juta. Hal ini menjadi isu krusial hingga batas akhir pengambilalihan Inalum pada 31 Oktober 2013. 

Opsi yang mencuat adalah persoalan tersebut dibawa ke lembaga arbitrase internasional. Situasi ini semestinya dihindari. Sikap teguh tim negosiator dengan harga nilai buku bukan tanpa dasar. 

Setidaknya, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan kajian tim Kementerian Ke­uangan memberikan rekomendasi angka tersebut. Artinya, munculnya angka itu merupakan representasi suara Indonesia. Jangan sampai memunculkan kesan, tim negosiator RI justru dikendalikan pihak NAA. Kedaulatan bangsa harus ditegakkan di Inalum ini di tengah defisit kedaulatan negeri ini di bidang ekonomi, budaya, dan politik. 

Di samping persoalan harga, hal penting lainnya yang harus dicermati tim negosiator adalah memastikan Inalum di era NAA harus clear atas segala kewajiban baik kepada negara maupun kepada lingkungan sosial. Jangan sampai NAA di Inalum menyisakan masalah di kemudian hari.

Karpet Merah Inalum 

Di tengah upaya finalisasi tim negosiator, pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di saat bersamaan harus menyiapkan karpet merah untuk Inalum. 

Salah satu poin penting yang harus dicermati adalah proyeksi dividen yang maksimal untuk negara. Laba Inalum pada 2012 di angka USD 24 juta semestinya dapat ditingkatkan untuk tahun-tahun mendatang. Nilai produksi Inalum yang sebelumnya rata-rata 250 ribu ton setiap tahun juga harus dipikirkan untuk ditingkatkan. 

Poin ini penting ditekankan agar stigmatisasi perusahaan nasional identik dengan lelet dan tidak produktif dapat ditepis. Perusahaan nasional yang korup dan tidak memiliki budaya kerja juga harus dibuktikan dengan kinerja kinclong. Setidaknya, sikap ini dapat melawan anggapan kelompok yang selama ini mendegadrasi perusahaan nasional dengan mengagungkan perusahaan asing. Hal ini pula yang menjadi alasan privatisasi atas perusahaan pelat merah. 

Last but not least, di atas semua itu pemerintah harus menempatkan orang yang tepat (the right man) di jajaran direksi Inalum. Menghindarkan upaya politisasi atas penunjukan jajaran direksi adalah langkah awal yang tepat. Apalagi, menjelang tahun politik, pemerintah harus mampu mensterilkan diri dari politisasi rekrutmen jabatan di BUMN, khususnya di Inalum ini.

Dengan ikhtiar ini diharapkan, semangat nasionalisasi dalam pengambilalihan Inalum tidak hanya sekadar jargon. Lebih dari itu, Indonesia harus menunjukkan ke publik domestik dan internasional bahwa kita mampu berdaulat, setidaknya dalam urusan Inalum ini. Inalum harus menjadi role model untuk melakukan nasionalisasi di proyek-proyek lainnya yang habis kontrak. Ibarat bola, saatnya menggelindingkan nasionalisasi melalui bola Inalum ini. Wallahu a'lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar