Rekonstruksi
Pendanaan Parpol
Maruli Tua ; Fungsional
KPK; Ketua Tim Kajian Pendanaan Partai
Politik
|
KOMPAS, 05 Desember
2016
Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan agar negara
meningkatkan bantuan keuangan yang lebih masuk akal terhadap partai politik.
Sebuah rekomendasi yang bisa jadi tidak populis dan memicu banyak pertanyaan.
Misalnya, bagaimana mungkin uang rakyat digunakan untuk mendanai
institusi yang bertahun-tahun dipersepsikan korup? Apakah bantuan keuangan
untuk parpol tidak justru hanya akan menggarami lautan? Apalagi di tengah
kepercayaan terhadap institusi politik nyaris berada di titik nadir. Sejauh
mana rekomendasi ini dapat menjernihkan keruhnya persepsi terhadap sektor
politik dan sejauh mana kebijakan yang akan diambil dapat menjadi
"obat" bagi korupsi politik? Begitu banyak pertanyaan.
Harus diakui rekomendasi ini mungkin saja menjadi sebuah
paradoks besar. Di satu sisi, sampai akhir September 2016 KPK telah menangani
sekitar 190 kader politik atau sekitar 32 persen dari pelaku korupsi. Mulai
dari anggota DPR, DPRD, hingga kepala daerah. Sebagian mengemuka diperkirakan
untuk kebutuhan pendanaan politik.
KPK bisa saja terus melakukan penangkapan dan proses hukum,
tetapi sampai kapan ini terjadi jika akar masalahnya tidak coba diperbaiki.
Oleh karena itulah, penyelesaian problematika korupsi perlu dilakukan dengan
dua pendekatan secara proporsional. Penindakan tetap dilakukan, tetapi
identifikasi masalah dan pembenahan secara institusional mutlak harus
disusun.
KPK telah mengkaji topik sistem politik di Indonesia sejak 2012.
Telah teridentifikasi tiga masalah utama parpol, yaitu perekrutan,
kaderisasi, dan pendanaan. Kajian lanjutan pada tahun 2014 sampai pada
rekomendasi agar alokasi anggaran terhadap parpol ditingkatkan.
Angka Rp 108 per suara sah (tingkat pusat) yang berlaku dianggap
sangat kecil dan tidak rasional. Secara total, pada 2016, semua parpol yang
duduk di DPR hanya mendapat Rp 13,167 miliar atau (0,00063 persen dari APBN
2016).
Jumlah tersebut diperkirakan hanya mampu membiayai sekitar 0,50
persen dari kebutuhan parpol setiap tahun. Lalu bagaimana dengan 99,5 persen
kebutuhan lain?
Memang menurut undang-undang, parpol juga dapat menerima
sumbangan dari iuran anggota serta sumbangan eksternal dan internal. Namun,
pada faktanya, ketika KPK melakukan Forum Diskusi Terpumpun (FGD) dengan para
fungsionaris utama parpol, diakui sumber dana dari iuran anggota dan
sumbangan eksternal tidak terlalu dapat diharapkan.
Lantas bagaimana parpol menutup kebutuhan yang sangat signifikan
tersebut?
Perspektif
ulang
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu perlu disepakati,
parpol ingin ditempatkan seperti apa dalam ketatanegaraan di Indonesia? Ada
tapi tidak diinginkan, atau memang harus ada sebagai bagian penting dari
pilar utama demokrasi? Tentu saja sepatutnya dalam tataran ideal, parpol
tetap ditempatkan sebagai bagian krusial dari sistem bernegara yang telah
kita pilih.
Konstitusi sebenarnya telah menegaskan. Undang-Undang Dasar
1945, pada Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E Ayat (3) memberikan posisi, peran,
dan tanggung jawab besar parpol dalam sistem demokrasi. Institusi ini bahkan
punya hak eksklusif untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden.
Bahkan, hanya parpol peserta pemilu yang dapat mencalonkan
anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota. Perkembangan terakhir, dalam
pemilihan calon kepala daerah (pilkada), syarat-syarat untuk calon non jalur
parpol semakin ketat. Masyarakat juga memahami bahwa sebagian besar
penyelenggara negara atau pejabat publik (Badan Pemeriksa Keuangan, Hakim
Agung, Komisi Yudisial, Kapolri, pimpinan Bank Indonesia, KPK, Komisi
Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, dan lainnya) harus disaring dalam
uji kelayakan dan kepatutan di DPR yang tentu saja adalah representasi dari
parpol.
Dengan kata lain, parpol secara nyata menempati posisi strategis
dalam penyelenggaraan negara saat ini. Atau jika logikanya dibalik, apakah
masuk akal menyerahkan urusan negara pada institusi yang terus-menerus
diletakkan, dilihat, dan dibiarkan berada pada perspektif negatif?
Di titik inilah, urgensi menyelamatkan institusi parpol dari
sejumlah "jebakan" penyalahgunaan kekuasaan dan segala bentuk
korupsi politik menjadi sangat penting.
Mencegah
oligarki
Membiarkan kondisi pendanaan politik yang kritis terus
berkepanjangan sama dengan membiarkan sektor ini terus-menerus berkubang
dalam lumpur. Sama artinya dengan membiarkan uang negara, sumber daya alam,
atau kewenangan lain dalam posisi korupsi yang berisiko tinggi.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan pada 2016, 10 parpol pemilik
kursi di DPR membutuhkan dana sekitar Rp 2,6 triliun untuk tingkat pusat
(DPP). Jumlah iuran anggota dan iuran elected official sangat terbatas dan
tidak dapat membiayai berbagai program yang telah direncanakan.
Jika sumber pendanaan besar lain berasal dari kelompok
penyumbang dominan, hal itu rentan menumbuhkan oligarki yang jelas akan
menjadi virus dalam demokrasi yang sehat. Dengan demikian, pembiaran terhadap
kondisi seperti ini justru bukan tidak mungkin akan menyuburkan praktik
persekongkolan politik-bisnis sebagai sebuah karakter inti dari korupsi
politik.
Alokasi anggaran negara yang wajar untuk parpol menjadi penting
sebagai salah satu upaya memutus oligarki di dalam partai. Namun tentu saja,
hal ini tidak dimaksudkan hanya seperti memberikan "cek kosong"
asupan keuangan. Alokasi anggaran tentu hanya bisa masuk akal jika dijalankan
secara terintegrasi dengan sisi akuntabilitas dan transparansi.
Dua hal tersebut mutlak harus dibangun, sembari secara paralel
persoalan utama lain dibenahi, seperti aturan kaderisasi, perekrutan, dan
etik internal partai.
Dalam kajiannya, KPK setidaknya mensyaratkan alokasi prioritas
ditujukan untuk program perekrutan dan kaderisasi yang baik, penyusunan dan pelaksanaan
kode etik politisi dan parpol, pelaksanaan pendidikan politik kepada
masyarakat, serta pembenahan kelembagaan dan tata kelola keuangan agar parpol
menjadi transparan dan akuntabel.
Peningkatan alokasi anggaran negara yang rasional untuk parpol
dapat menjadi momentum yang tepat bagi setiap pemangku kepentingan untuk
melakukan pembenahan yang komprehensif seperti melakukan revisi atas UU
Parpol, peraturan pemerintah tentang pendanaan parpol, dan regulasi terkait
lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar