Memahami
Aksi 411 dan 212
Fahrul Muzaqqi ; Staf
pengajar di Departemen Politik FISIP Unair Surabaya
|
JAWA POS, 05 Desember
2016
SEBULAN terakhir,
publik tanah air begitu riuh dengan isu dan pemberitaan seputar aksi masal
yang melibatkan sejumlah organisasi keislaman. Aksi itu dimulai dari aksi 4
November (411) lalu, hingga aksi susulan 2 Desember (212).
Pemerintah
mengimbangi aksi tersebut dengan sejumlah langkah politik terobosan untuk
merespons sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diharapkan. Sejumlah fenomena yang berkelindan itu menghadirkan pertanyaan
seputar bagaimana seharusnya kita memahami dan mendudukkan perkara terkait
munculnya gelombang aksi di ibu kota itu.
Dari Contagion ke
Mobilisasi
Sebagian pandangan
yang mengemuka perihal aksi itu masih menganggap bahwa variabel utama dari
aksi demonstrasi itu tidak jauh-jauh dari motif psikologis berupa
kesulitan-kesulitan kehidupan sosial-ekonomi, perasaan anomi, kecemasan
sosial atas ketegangan sosio-politik masyarakat (baca: pilgub DKI Jakarta)
sehingga melahirkan tindakan kolektif berupa aksi besar-besaran. Motif
psikologis itu secara alamiah maupun terencana sangat mudah menular
(contagious) dari satu orang kepada yang lainnya melalui berbagai perangkat
informasi.
Tindakan kolektif
itu kemudian dilihat sebagai ekspresi pelarian diri untuk mendapatkan
perasaan berdaya dan diperhitungkan. Setali tiga uang, otoritas politik yang
sah kemudian merespons dengan mengakomodasi tuntutan-tuntutan aksi itu untuk
menghindari ketegangan yang semakin besar yang berpotensi memunculkan
kekacauan politik.
Dalam studi
gerakan sosial, pendekatan semacam itu pada dasarnya telah banyak
ditinggalkan oleh para peneliti gerakan sosial. Bahwa variabel psikologis
sebagai determinan utama lahir dan tumbuhnya gerakan sosial, berikut
aksi-aksi yang dilancarkannya, dalam kajian gerakan sosial dikenal dengan
teori penularan (contagion theory). Teori ini, dalam praktiknya di lapangan,
kerap berseiring dengan pendekatan fungsional yang sangat mendambakan
keseimbangan sistem. Dalam pendekatan fungsional, negara sebagai pemangku
otoritas yang sah, oleh karenanya, sudah selayaknya memenuhi tuntutan yang
diajukan oleh gerakan sosial itu. Namun, ternyata persoalan belum selesai.
Pertanyaan lain
yang justru muncul, apakah ketika negara mengakomodasi tuntutan aksi itu
lantas dengan sendirinya kondisi akan stabil dan masyarakat tidak lagi
melakukan aksi protes atau menuntut?
Dalam perkembangan
studi gerakan sosial, teori penularan itu banyak dikritik karena
penyederhanaan penjelasan yang berlebihan yang berimplikasi pula pada
melesetnya diagnosis atas variabel determinan dari muncul dan tumbuhnya suatu
gerakan sosial. Cara pandang baru kemudian ditawarkan. Bahwa gerakan sosial
tidak melulu dipandang sebagai ekspresi frustrasi, keputusasaan, atau bahkan
pelarian diri. Di negara-negara maju, misalnya, gerakan sosial tidak jarang
muncul dan dimotori oleh kalangan terdidik yang secara ekonomi bukanlah
berasal dari masyarakat yang tidak berdaya.
Gerakan sosial
berupa aksi protes dan menuntut justru dipahami sebagai ekspresi rasional,
yakni suatu manifestasi tindakan kolektif yang terorganisasi dengan kalkulasi
untung-rugi material dan imaterial yang matang berikut pilihan-pilihan
strategi dan taktik yang digunakan. Adakalanya pendekatan aksi yang diambil
dengan jalan damai, namun di lain kesempatan menggunakan pendekatan kekerasan
hingga vandalisme. Adakalanya menggunakan pendekatan menunggu dan mengamati
(wait and see), namun adakalanya memanfaatkan momentum untuk segera mengambil
tindakan riil. Dalam kajian gerakan sosial, cara pandang ini dikenal dengan
teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory).
Sikap Pemerintah
Pemerintah sebagai
pemangku otoritas yang sah dari negara kiranya segera menyadari bahwa aksi
demonstrasi besar-besaran dalam sebulan terakhir ini tidak lagi memadai
apabila hanya disikapi dengan pendekatan fungsional sebagaimana di atas.
Bahwa gerakan-gerakan sosial, termasuk yang beratribut agama, yang ada di Indonesia
membutuhkan langkah-langkah yang antisipatif dan terencana (by designed).
Pendekatan
fungsional tidak lagi memadai untuk merespons protes dan tuntutan dari
aksi-aksi yang dilancarkan oleh organisasi-organisasi sosial-keagamaan itu.
Langkah presiden untuk menjalin silaturahmi ke tokoh-tokoh agama maupun
politik kiranya patut diapresiasi. Namun, lebih dari itu, langkah silaturahmi
agaknya masih kurang bisa bertahan lama untuk menstabilkan situasi sosial dan
politik, khususnya di ibu kota. Pendekatan yang lebih mendasar kiranya
diperlukan menyangkut strategi dan taktik.
Produksi dan
reproduksi simbol-simbol yang dapat menetralisasi atau bahkan membalikkan
simbol-simbol yang kontra negara, pilihan-pilihan kebijakan yang dapat
menyangkut kebutuhan dasar untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, regulasi
media yang lebih tegas (terutama bagi media-media yang tidak berdasar
data-fakta dan cenderung provokatif), penegakan hukum yang setara dan tidak
diskriminatif, hingga pelibatan lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan
dalam upaya menginternalisasi nilai-nilai ideologi negara.
Kesemuanya itu
-tentu masih banyak lagi upaya lain yang perlu dilakukan oleh pemerintah-
menjadi pekerjaan rumah yang kini menjadi ”alarm” bagi pemerintah dalam
menghadapi keberadaan organisasi-organisasi sosial-keagamaan yang makin
rasional dan makin canggih.
Sederhananya,
teori mobilisasi sumber daya yang terlihat dari gerakan sosial yang mengemuka
belakangan ini membutuhkan pendekatan serupa dari pemerintah. Rasionalitas
seharusnya dihadapi dengan rasionalitas yang lebih jeli dan canggih. Artinya,
jangan sampai pemerintah terkesan sering ”ketinggalan langkah” dan reaksioner
dalam menyikapi langkah-langkah strategis dan taktis dari
organisasi-organisasi sosial-keagamaan yang ada. Akhir kata, semoga bangsa
kita masih memegang erat-erat ”Bhinneka Tunggal Ika”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar