Job
on Demand
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 13 Desember
2016
Anda mungkin sudah terbiasa mendengar
kata video on demand. Itu sudah ada sekitar lebih dari 20 tahun dan berakibat
matinya usaha penyewaan video. Masih ingat kan dulu kita membawa pulang
tape-nya, menyetel VCD di rumah? Kini semua serbadigital. Ada pada line kabel
Anda, bisa langsung tiba sampai ke rumah tanpa perantara.
Tetapi, kini menyangkut pekerjaan. Ya,
pekerjaan masa depan anak-anak kita yang mulai berubah. Kadang lucu juga.
Mereka yang sudah punya pekerjaan enak dengan gaji bagus di bank justru ingin
berhenti. Mereka ini yang sekarang banyak membuat CEO perbankan pusing.
Masalahnya, mereka ini anak-anak hebat, kader masa depan. Sewaktu digali, jawabannya
hampir sama semua: ingin membuat start-up.
Sementara itu, di antara mereka yang
sudah menjadi pengusaha start-up, justru banyak yang sedang keletihan dan iri
dengan teman-temannya yang bekerja di perusahaan mapan. Padahal, mereka
kelihatannya bahagia sekali menjalankan start-up-nya. Sewaktu digali lagi,
mereka bilang, ”Ternyata menjalankan start-up tidak ada duitnya.”
Lucu juga ya. Yang mapan dan dapat
uang merasa kurang bahagia. Yang bahagia tak punya uang. Maka jadilah
pertukaran. Saya menyebutnya sebagai pertukaran uang dengan kebahagiaan, yang
kalau bisa disandingkan betapa indahnya. Tapi, bukankah kebahagiaan itu kita
yang perjuangkan? Mana ada yang dijemput begitu saja?
Sekolah-Sekolah Baru
Sekolah anak-anak muda di dunia ini
tengah berubah. Kala kita masih terbiasa menyekolahkan anak-anak kita ke
berbagai fakultas seperti kita dulu, justru banyak anak muda yang sudah
mengeksplorasi bidang-bidang baru.
Pengajarnya juga bukan dosen-dosen
tetap seperti yang beberapa tahun belakangan diwajibkan pemerintah. Melainkan
dosen-dosen yang praktik riil dalam kehidupan. Mereka mengedepankan ”bisa”,
bukan ”tahu”. Hasil, bukan nilai. Ini berbeda dengan sistem pendidikan kita
yang banyak mengedepankan tahunya, bukan bisa.
Maka jangan heran jika yang
diperdebatkan di media sosial di sini cuma adu pengetahuan, debat omong
kosong. Yang bekerja dianggap bodoh, sedangkan yang berwacana saja mereka
anggap hebat. Jadi wajar bila di kampus-kampus baru dunia itu, banyak yang
pengajarnya bukan ”ilmuwan kertas”. Melainkan para praktisi pemegang lisensi,
ambassador produk, atau pelaku yang sudah punya reputasi dalam bidangnya.
Mereka yang punya karya, bukan punya ”tahu”.
Mereka juga bisa menjadi guru besar di
kampusnya. Padahal belum tentu punya teori. Maklum, di negara-negara
industri, yang mengangkat guru besar itu kampus itu sendiri, bukan negara.
Juga ada peer review seperti anak yang ingin menjadi guru besar di sini,
tetapi peer-nya bukan seperti dosen. Melainkan ”jumlah eksemplar” buku yang
dia tulis yang laku di pasar, berapa banyak dan seberapa bagus resensi yang
ditulis tokoh-tokoh terhadap karya mereka.
Tidak ada ”campus politics” atau like
and dislike seperti yang dikeluhkan para calon guru besar yang sering
diganjal kolega-koleganya di sini. Kadang lucu juga, di sini banyak ilmuwan
yang mencemooh teori orang lain. Tapi, sesungguhnya mereka juga tak punya
teori sendiri, apalagi karya yang baik dan diterima masyarakat. Kampus baru
yang sedang terbentuk itu diisi banyak orang yang aktual, yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat. Bukan yang semata menghasilkan pemikir.
Pekerjaan pun Berubah
Shane Cragun dan Kate Sweetman (2016)
baru saja merilis bukunya tentang efek berantai disruption. Dua konsultan HR
(human resource) itu mendalami berakhirnya era perantara. Peradaban tersebut
membentuk kegiatan serbalangsung. Anda memasuki era fee agent.
Dan, akibatnya, kontrak-kontrak sosial
antara perusahaan dan lulusan-lulusan baru itu akan berbeda dengan yang biasa
dilakukan generasi sebelumnya saat bekerja. Kontrak sosial antara perusahaan
dan karyawan yang ”bisa” tadi (bukan yang sekadar ”tahu”) tak lagi didasarkan
pada jangka waktu tahunan, apalagi seumur hidup.
”Bila dulu perusahaan menawarkan
permanent job, kini job on demand,” ujarnya. Ini tentu berbeda dengan
karyawan pabrik yang harus ada di sekitar mesin dan memupuk keahlian. Mungkin
ini soal pekerjaan yang dibutuhkan sewaktu-waktu, tapi perusahaan yang
membutuhkan cukup banyak.
Pekerjaan ”on demand” ini sebagian
sudah berkembang sejak 20 tahun lalu, tetapi makin marak lima tahun
belakangan. Mereka tak hanya bekerja di satu kota, tetapi juga melayani klien
di kota yang berbeda-beda. Belakangan ini, misalnya, kita saksikan semakin
jarang lulusan fakultas psikologi yang bekerja sebagai pegawai HR (SDM: sumber
daya manusia). Mereka mengklaim diri sebagai petugas asongan yang memberikan
layanan melakukan testing calon pegawai. Agak mirip dengan tenaga-tenaga
lepas pembuat film dan iklan video/televisi yang lebih senang bekerja lepas
ketimbang menjadi pegawai.
Masalahnya, sudah siapkah
lembaga-lembaga pendidikan melakukan pekerja-pekerja on demand ini? Sudah
siapkah negara meremajakan aturan-aturan tentang standar pendidikan? Sudah
siapkah orang tua menerima realitas baru itu? Bagi saya, kaum muda harus bisa
berubah dari sekadar ”tahu” menjadi ”bisa” mewujudkan gagasannya. Soal
pekerjaan, orang ini kelak bisa hidup di mana saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar