Dari
Andalusia hingga Sunda Kelapa
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
05 Desember 2016
SEBELUM ajal menjemput, jikalau ada keluasan rezeki dan panjang
umur, saya sungguh mengidamkan untuk bisa berkunjung ke Kota Andalusia di
Spanyol, sebuah ikon dari perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan Islam
di Eropa.
Andalusia adalah sebuah wilayah otonomi yang paling padat
penduduknya, dan yang kedua terbesar dari 17 wilayah yang membentuk Spanyol.
Secara lughawi, nama Andalusia berasal dari nama bahasa Arab Al
Andalus, yang merujuk kepada bagian dari jazirah Iberia yang dahulu berada di
bawah pemerintahan muslim selama delapan abad.
Sebagai pintu masuk perkembangan dunia Islam di daratan Eropa,
Andalusia jelas meninggalkan banyak jejak dan peninggalan yang patut dikenang
dan diidolakan kembali sebagai tonggak awal sebuah rencana perjuangan.
Tentu, kita masih ingat akan sejarah kedatangan Thariq bin Ziyad
bersama pasukannya pada Mei 711 M yang memasuki Selat Gibraltar di Teluk
Algeciras, sebagai cikal bakal perkembangan kebudayaan Islam dan
kerajaan-kerajaan Islam yang mulai bercokol di tanah Andalusia.
Dari sini lahir tokoh-tokoh muslim ternama yang menguasai
berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu agama Islam, kedokteran, filsafat,
ilmu hayat, ilmu hisab, ilmu hukum, sastra, ilmu alam, dan astronomi.
Kita bisa mengingat nama-nama kesohor seperti Ibnu Thufail
(1107-1185), yang merupakan guru dari Ibnu Rusyd (Averroes), yang karya
terbesarnya ialah Kitab Kuliyah fith-Thibb (Encyclopaedia of Medicine) yang
terdiri dari 16 jilid dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1255
oleh seorang Yahudi bernama Bonacosa, kemudian buku ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dengan nama General Rules of Medicine sebuah buku wajib
di universitas-universitas di Eropa.
Karya lainnya ialah Mabadil Falsafah (pengantar ilmu falsafah),
Taslul, Kasyful Adillah, Tahafatul Tahafut, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid, tafsir Urjuza (menguraikan tentang pengobatan dan ilmu kalam),
sedangkan dalam bidang musik, Ibnu Rusyd telah menulis buku yang berjudul De
Anima Aristotles (Commentary on the Aristotles De Animo).
Ibnu Rusyd juga telah berhasil menerjemahan buku-buku karya
Aristoteles (384-322 SM), sehingga beliau dijuluki sebagai Asy-Syarih
(komentator).
Berkat Ibnu Rusydlah, dunia dapat menikmati karya-karya
Aristoteles.
Selain itu, beliaupun mengomentari buku-buku Plato (429-347 SM),
Nicolaus, Al-Farabi (874-950), dan Ibnu Sina (980-1037).
Ibnu Rusyd ialah seorang yang cerdas dan berpikiran ke depan
sehingga sempat dituduh sebagai orang Yahudi.
Karena pemikiran-pemikirannya, dia pernah diasingkan ke Lucena
dan sebagian karyanya dimusnahkan.
Doktrin Averroisme mampu memengaruhi Yahudi dan Kristen, baik
Barat maupun Timur, seperti halnya memengaruhi Maimonides, Voltiare dan Jean
Jaques Rousseau, maka boleh dikatakan bahwa Eropa telah berutang budi pada
Ibnu Rusyd.
Selama delapan abad lamanya Islam berkuasa di Andalusia sejak
711 M hingga berakhirnya kekuasaan Islam di Granada pada 2 Januari 1492 M/2
Rabiulawal 898 H tepatnya 520 tahun lalu, Andalusia dalam masa kejayaan Islam
telah melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim yang tertulis dengan tinta
emas di sepanjang zaman.
Karya mereka yang masih ada banyak diterjemahkan dalam berbagai
bahasa di penjuru dunia.
Satu hal yang harus kita renungkan sekarang, pelajaran apa yang
bisa diambil dari sejarah Andalusia dan bisa dikembangkan bagi kemaslahatan
umat Islam Indonesia?
Islam
Indonesia
Jika kita menengok sejarah Islam di Indonesia, sebenarnya Sunda
Kelapa pernah menjadi salah satu pusat pengetahuan, khususnya pengembangan
dan pengajaran agama Islam serta pusat perdagangan terpenting di dunia sejak
abad ke-15.
Belajar dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Sunda
Kelapa dan kondisi aktual negara-negara lain, saat ini dapat disimpulkan
bahwa benang merah pemecahan masalah yang membelit ummat Islam ialah
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Hanya di tangan tenaga SDM yang berkualitas, keuntungan
komparatif (comparative advantage), dan keuntungan kompetitif (competitive
advantage) dari modal kapital, modal sosial, dan modal spritual umat Islam
dapat dicapai untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas Islam.
Selain masalah SDM, masalah lain yang menurut saya juga perlu
untuk mendapatkan atensi ialah masalah kelembagaan.
Dalam bidang kelembagaan, institusi-institusi yang mengusung
napas Islam seperti lembaga keulamaan, lembaga kemubaligan, lembaga
kemasjidan, termasuk beragam Islamic Center yang tersebar di mana-mana, belum
memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas hidup umat.
Ragam lembaga keislaman tersebut belum mampu memberikan
kontribusi nyata bagi penguatan modal kapital, modal sosial, dan modal
spritual umat Islam.
Pada tatanan kelembagaan pendidikan secara umum, tantangan riil
abad ke-21 bagi sektor lembaga pendidikan ialah munculnya high-pressured
terhadap kondisi aktual lembaga pendidikan (sekolah, akademi, dan
universitas) zaman sekarang dari berbagai pihak, baik yang menyangkut
performance, quality assurances, dan akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan.
Dalam dunia industri pada abad ke-19, sistem pendidikan yang
dirancang dalam satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all) cukup membantu
mengurangi pelecehan terhadap tenaga kerja anak dan membawa kesempatan bagi
dunia luas. Pada 1950-an, banyak orang mampu mendapatkan pekerjaan layak
dengan kemampuan yang terbatas.
Jujur harus diakui bahwa kesalahpahaman tentang Islam di
Indonesia sesungguhnya diakibatkan kurangnya informasi tentang keberadaan
Islam di Indonesia yang sesungguhnya.
Kekurangan informasi tersebut mungkin saja disebabkan beberapa
hal.
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam yang
didasarkan pada sumber-sumber lokal (manuscript), sebagai bagian utama dari
khazanah peradaban Islam Asia Tenggara.
Kedua, masih minimnya kajian-kajian yang dilakukan sarjana
muslim Indonesia, yang tentu lebih memahami tentang keislaman di wilayahnya.
Ketiga, meski sudah banyak studi-studi yang telah dilakukan, hasil
studi tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikasikan dengan dunia
international sehingga informasi tersebut tidak terbaca komunitas intelektual
yang lebih luas.
Keempat, ketiadaan suatu pusat kajian Islam yang
lengkap--dikelola dengan baik, melakukan kajian yang terus-menerus maupun
dilengkapi dengan ahli-ahli yang qualified sehingga mau tidak mau mereka
berkonsultasi dengan data-data yang telah tersedia, yang sebagian besar ialah
tulisan-tulisan para sarjana Barat dan tulisan-tulisan sederhana
administrator kolonial sebagai bagian dari laporan birokrasi.
Jangan-jangan karena interaksi pengetahuan yang salah dari Islam
Indonesia inilah yang menyebabkan masyarakat muslim Indonesia menjadi
permissive dan mudah marah karena di antara mereka tak terbangun kesadaran
tentang pentingnya ilmu pengetahuan yang dapat menjadikan seseorang lebih
bijaksana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar