Pendidikan yang Menyenangkan
A Ilyas Ismail ;
Dosen
UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Maret 2015
DALAM banyak kesempatan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, sering mengungkapkan bahwa
pendidikan seharusnya tidak membelenggu atau membebani siswa, tetapi
mencerahkan dan menyenangkan. Anies berjanji akan mengupayakan pembelajaran
yang lebih berkualitas dan menyenangkan.
Sayangnya, ketika ditanya,
konsepnya seperti apa dan kapan akan dilaksanakan, Pak Menteri tidak memberi
jawaban pasti. Kita tentu sepakat, pendidikan memang harus membebaskan,
mencerahkan, dan menyenangkan sehingga anak-anak kita gairah, bahkan passion, kasmaran belajar.
Pendidikan yang membebani dan
membosankan, hemat penulis, ikut menjadi penyebab mengapa pendidikan kita
belum mencapai hasil menggembirakan, bahkan gagal. Dikatakan gagal karena
pendidikan kita tak kunjung mendekat pada tujuan pendidikan nasional seperti
diamanatkan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, juga gagal karena sepi prestasi.
Kemampuan anak-anak kita dalam
bidang matematika dan sains yang menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan
tergolong rendah, jauh dari yang diharapkan. Bahkan merupakan yang terendah
di antara negara-negara ASEAN.
Seperti umum diketahui, hasil terbaru
TIMSS (Trend in Mathematics and Science
Studies) 2011, Indonesia berada di peringkat 38 dari 42 negara peserta.
Singapura berada di peringkat ke-2 dan Malaysia ke-26. Hasil PISA (The Programme for International Student
Assesment) 2012 menempatkan Indonesia hampir di posisi juru kunci,
peringkat 64 dari 65 negara peserta.
Konsep
dan kreativitas guru
Pengembangan pendidikan yang
menyenangkan itu, hemat penulis, terkait dengan 2 hal pokok: 1) konsep dan 2)
implementasi yang menuntut kompetensi dan kreativitas guru.
Soal pertama, konsep, perlu
dirumuskan secara jelas agar tidak terjadi mispersepsi. Konon ada guru atau
wali murid yang memahami `pendidikan yang menyenangkan' itu secara terpisah,
yakni pendidikan dan lalu bersenang-senang. Ada pula yang menekankan
senang-senangnya ketimbang pendidikannya.Ini tentu keliru! Menurut Scott D
Richman, kesenangan (dalam fun teaching)
itu bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan agar murid bisa menikmati
pendidikan sehingga mendongkrak prestasi belajar mereka (Successful Teaching, 2013: 83). Di kalangan pakar pendidikan,
model atau strategi pembelajaran yang menekankan partisipasi dan keaktifan
siswa sudah banyak dikenal, mulai dari konsep active learning dari Melvin Silberman, guru besar Tempel
University yang kesohor dengan bukunya, Active
Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject (1996) dan 101 Ways to Make Training Active
(2011), hingga Quantum Teaching
dari Bobby DePorter (2010).
Model pembelajaran Quantum
Teaching (QT) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Georgi Lazanop
(Bulgaria) dan dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Bobbi de Porter
(Amerika), penulis buku best seller, Quantum Teaching. Konsep ini
diujicobakan di Super Camp, lembaga kursus yang didirikan dan dikembangkan
oleh Bobbi. Hasilnya memang menggembirakan.
Strategi ini berhasil menaikkan
motivasi 68%, prestasi belajar 73%, percaya diri 81%, harga diri 84% dan
keterampilan 98 %. (Bobby DePorter, 2010).
Di Indonesia, konsep active
learning ataupun quantum teaching juga sudah cukup dikenal, dengan terjemahan
yang beragam, mulai dari konsep cara belajar siswa aktif (CBSA), pendidikan
aktif kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), hingga yang terbaru konsep
pendidikan aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan (PAIKEM).
Namun, sejauh mana guru guru kita
memahami konsepkonsep pembelajaran yang menekankan keaktifan dan kreativitas
dari siswa ini, dan sejauh mana mereka mengim plementasikan dalam proses
pembelajaran, sulit menjawabnya. Tanpa kemampuan dan kreativitas yang memadai,
strategi pengajaran baru yang diwajibkan tidak akan pernah berjalan. Karena
sebagaimana biasanya, para guru akan tetap melanjutkan yang lama meski dengan
merek baru.
Soal kedua, ialah soal
implementasi. Seperti telah disinggung di atas, soal kedua ini terkait erat
dengan kemampuan dan kreativitas guru. Agar kreatif dan sukses dalam
melaksanakan tugas pembelajaran, para guru mesti memahami dengan baik 4
prinsip sukses pembelajaran, successful teaching, seperti diusulkan Scott D
Richman di bawah ini.
Pertama, remember they are just kids, sadari mereka (peserta didik) itu
hanya lah anak-anak. Ba nyak guru lupa bahwa yang dihadapi itu hanyalah anak
anak, bukan orang dewasa. Guru perlu mengenali watak dan kecenderungan
kejiwaan mereka. Materi dan cara yang digunakan harus sesuai dengan mental
mereka. Meski mereka nyata-nyata melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. “You have to keep loving them just as
much,“ demikian nasihat Bill Cosby.
Kedua, listen what your students have to say, dengarkan apa yang ingin
mereka katakan. Banyak guru hanya bicara dan bicara lagi, dan tidak ada waktu
bagi murid untuk bicara, mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Dalam
penelitian, diketahui guru bicara lebih dari 80%. Mestinya guru lebih banyak
mendengar ketimbang bicara, seperti nasihat Mark Twain, “If we were meant to talk more than listen, we would have two mouths
and only one ear.“
Ketiga, give the students 100% of yourself, curahkan perhatian sepenuh
hati. Perhatian guru berkorelasi secara positif dengan capaian siswa. Di sini,
kompetensi personal dan dedikasi guru menjadi taruhan keberhasilan
pembelajaran.
Keempat, focusing on the positive, fokus pada hal-hal yang baik dari
siswa. Filosofi pengajaran berlawanan dengan filosofi pemberitaan,
jurnalistik. Media biasanya selalu mengejar yang buruk-buruk, karena menganut
paham, “Bad news is good news.“
Pengajaran justru melihat sisi-sisi positif dan menumbuhkannya, sehingga
pembelajaran menarik minat siswa dan membuatnya memiliki passion kasmaran
belajar.
Mulai
dari guru
Dengan konsep dan kompetensi serta
kreativitas guru yang baik, pembelajaran yang diharapkan Pak Menteri itu bisa
dilakukan. Penulis, sepaham dengan banyak pakar yang menyatakan, tidak ada
mata pelajaran yang jenuh, bikin bete, dan lain-lain; yang ada adalah guru dan
cara mengajar yang membosankan.
Jadi, perbaikan kualitas
pendidikan kita bisa dimulai dari guru. Idealnya, sesuai UU Guru dan Dosen,
seorang guru mesti memiliki 4 kompetensi, yaitu profesional, pedagogis,
personal, dan sosial. Sayangnya, di negeri kita, orang-orang terbaik dengan
kompetensi tinggi malah tidak banyak yang bersedia menjadi guru. Malahan yang
terjadi banyak orang menjadi guru karena tidak bisa menjadi yang lain. Ini
yang membuat pendidikan kita tidak bisa mencerahkan dan menyenangkan. Wallahu a`lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar