Selasa, 14 April 2015

Pendidikan Musik, Apa Perlunya?

Pendidikan Musik, Apa Perlunya?

Ananda Sukarlan  ;  Pianis dan komponis Indonesia yang tinggal di Spanyol
JAWA POS, 12 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ya, ya, harus kita akui bahwa pendidikan musik (klasik) untuk anak di bawah tujuh tahun saat ini memang cukup populer di keluarga kalangan menengah ke atas. Tetapi, apakah benar bahwa pendidikan musik, apalagi musik klasik, itu hanya berfungsi sebagai ’’hiburan’’, menyibukkan anak supaya tidak mengerjakan hal-hal lain yang tidak positif, atau malah hanya untuk simbol status orang tua?

Di sini saya mencoba menganalisis keadaan ini setelah beberapa tahun terakhir aktif mengunjungi beberapa kota di Jawa dan Sumatera untuk memberikan masterclasses kepada para pianis muda yang jumlahnya kini ratusan. Karena saya adalah pemusik dari aliran ’’klasik’’, setiap kata ’’musik’’ disebut, itu berarti musik klasik.

Berdasar hasil sejumlah riset, musik terbukti sangat berguna untuk banyak hal, baik untuk kecerdasan maupun perkembangan jiwa. Meskipun kegiatan mendengarkan musik sudah umum di semua lapisan masyarakat negara berkembang dan maju, faktor penentu kebutuhan biologis mendengarkan musik masih belum diketahui. Menurut sebuah studi baru, mendengarkan musik klasik meningkatkan aktivitas gen yang menghasilkan sekresi dopamin serta memperkuat daya pembelajaran dan memori. Mendengarkan musik merupakan fungsi kognitif yang kompleks dari otak manusia, yang diketahui dapat menginduksi beberapa perubahan neuronal dan fisiologis. Namun, sebagian besar latar belakang molekuler yang mendasari efek mendengarkan musik belum diketahui.

Sebuah kelompok studi di Finlandia telah menyelidiki bagaimana mendengarkan musik klasik memengaruhi profil ekspresi gen dari pendengar yang fokus (bukan mendengarkan musik hanya sebagai latar belakang/sambilan), baik yang memang penikmat musik klasik maupun yang belum pernah mendengarnya.

Dari mendengarkan musik itulah, berkembang keinginan anak untuk mencoba memainkan alat musik yang efeknya jauh lebih daripada sekadar mendengarkan karena bermain instrumen melibatkan kegiatan fisik. Sayangnya, masih banyak yang percaya bahwa keberhasilan anak-anak dalam kehidupan hanya bergantung kepada keterampilan kognitif serta kecerdasan yang diukur pada tes IQ dan segala hal yang bersifat logis. Juga dipercaya bahwa sekolah harus – terutama– difokuskan kepada pengisian otak anak-anak dengan sebanyak mungkin pengetahuan faktual, bukan pada pertumbuhan kreativitas, imajinasi, keterampilan psikologis, dan pola pikir. Keterampilan psikologis itu mencakup, antara lain, rasa ingin tahu dan keuletan untuk memecahkan masalah, kesabaran untuk bertahan pada tugas berat (dan mungkin membosankan), dan kemampuan menunda kepuasan.

Memegang alat musik di tangan anak Anda bisa menjadi kunci untuk mengembangkan keterampilan psikologis tersebut. Jangan salah paham. Anak-anak kita tidak perlu belajar instrumen dengan harapan bahwa mereka akan menjadi seorang musisi profesional. Sama halnya, mereka mempelajari buku matematika tidak dengan harapan akan menjadi ahli matematika, bukan?

Pendidikan keterampilan koordinasi indera dan otak itu yang lebih berguna untuk perkembangan mereka. Ingat, pendidikan musik yang lengkap HARUS melibatkan proses pembacaan partitur, menerjemahkannya menjadi suara yang diproduksi oleh alat musik, dan memadukan not-not itu menjadi melodi dan harmoni yang indah, sehingga ada tiga indera yang terlibat; penglihatan, pendengaran, dan perasaan (seberapa besar tekanan di tuts piano, atau senar biola/gitar, atau tiupan di flute harus dikontrol oleh sensitivitas).

Setelah mereka fasih membaca partitur serta menguasai teknik permainan instrumen yang paling dasar dengan baik, baru kemudian mereka dapat mengembangkan kreativitas dalam berimprovisasi. Nah, saya mengamati dua hal pokok yang harus benar-benar dipahami oleh anak yang baru belajar memainkan instrumen.

1. Kerja keras selalu mengalahkan bakat. Berlatih berkali-kali untuk mengasah keterampilan dengan cara yang benar mengaktifkan sirkuit di otak kita. Tentu saja untuk beberapa gelintir orang, ada keterampilan tertentu yang lebih mudah pada awalnya daripada yang lain. Tetapi, orang-orang yang berlatih keterampilan secara rutin setiap hari untuk ’’merekamnya’’ ke dalam otak mereka selalu akan jauh melampaui orang-orang yang tidak berlatih cukup.

Bakat memang membantu dan saya tidak bisa menyangkal bahwa anak yang berbakat membutuhkan lebih sedikit waktu dan tenaga untuk menguasai satu keterampilan. Tetapi, bakat itu kadang-kadang malah berbahaya untuk menjadi alasan untuk malas. Berlatih alat musik membantu anak-anak belajar kebenaran universal ini: kerja keras mengalahkan bakat.

2. Kegagalan/kesalahan itu adalah satu hal yang sangat lazim dan sangat diperbolehkan. Kita justru akan menjadi lebih baik karena pernah mengalami kegagalan. Tidak ada nilai merah, tidak ada yang buruk ketika kita bermain sesuatu yang ’’salah’’ dalam musik semasa periode pendidikan. Untuk menjadi terampil memainkan alat musik –dan menjadi terampil pada apa pun–, kita membutuhkan perjuangan. Dalam kasus anak/pemula, mereka perlu bermain buruk sebelum terdengar lebih baik sehingga dapat membedakannya; mereka perlu bekerja pada hal-hal di luar apa yang mereka mampu untuk mendapatkan yang lebih baik; dan itu berarti mereka harus diperbolehkan membuat kesalahan.

Perbedaannya sangat jelas antara apa yang kita mampu lakukan dan apa yang kita ingin bisa lakukan, dan fokus kepada perbedaan itulah yang membuat kita hari ini menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Belajar alat musik memungkinkan kita untuk belajar dan tumbuh justru dari kesalahan kita.

Dua hal itulah yang saya amati pada ratusan pianis muda yang pernah mengikuti kompetisi piano Ananda Sukarlan Award selama bertahun-tahun ini. Banyak sekali pianis muda yang akhirnya ’’gugur’’ hanya karena ’’kalah’’ di kompetisi. ’’Kekalahan’’ diinterpretasi sebagai ’’kegagalan’’ dan dilanjutkan dengan ’’ah, mungkin memang (anak) saya sebaiknya tidak melanjutkan main piano’’. Padahal, sebuah kompetisi yang berkategori ’’junior’’ (bukan seperti Ananda Sukarlan Award International yang diadakan di Jakarta, yang memang untuk para profesional dan dapat menentukan langkah awal karir mereka) memfokuskan justru ke apa yang saya sampaikan tadi: kompetitor terbesar seorang peserta bukannya sesama pianis, melainkan diri peserta itu sendiri. Sebab, dia dituntut untuk bermain lebih baik daripada apa yang dia kira bisa dilakukan.

Mengikuti kompetisi membuat pianis muda berlatih untuk mengatasi tekanan di panggung atau stage fright (demam panggung). Demam panggung ini yang sering membuat penampilan kita lebih rendah daripada ekspektasi sebelumnya. Tetapi, itulah gunanya musik: untuk berkomunikasi dengan publik serta menyampaikan ekspresi yang terlalu dalam untuk bisa disampaikan dengan kata-kata. Dan dalam musik, kebebasan berekspresi itu bisa dimanifestasikan secara total.

Itu adalah sebuah kemewahan yang hanya ada di bidang seni. Jika kita berhasil menaklukkan diri kita sendiri, itu akan menghasilkan sebuah kepuasan tersendiri yang unik karena berekspresi lewat musik membutuhkan kejujuran, tanpa perlu jaim. Saya selalu mengatakan, ’’Jika Anda ingin mengerti saya, dengarlah omongan saya. Tetapi, jika Anda ingin mengenal saya, dengarlah musik saya.’’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar