Menimbang Buah Tangan Presiden dari Tiongkok
Novi Basuki ; Researcher pada Research School of Southeast
Asian Studies,
Xiamen University, Tiongkok
|
JAWA
POS, 03 April 2015
PRESIDEN Joko ’’Jokowi’’ Widodo membawa oleh-oleh delapan macam
nota kesepahaman (MoU) selepas kunjungan resmi ke Tiongkok. Tiga di antaranya
adalah MoU kerja sama ekonomi, kerja sama pembangunan industri dan
infrastruktur, serta kerja sama proyek pembangunan kereta cepat
Jakarta–Bandung. Masing-masing kerja sama ditandatangani Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian BUMN dengan Komisi Reformasi
dan Pembangunan Nasional (NDRC) Tiongkok.
Laman www.setkab.go.id menulis, ’’Pembangunan
infrastruktur-infrastruktur di Indonesia yang segera dimulai pada tahun ini,’’
papar Presiden Jokowi di hadapan sekitar 400 pengusaha Indonesia dan Tiongkok
di Beijing (27/3), ’’merupakan peluang yang bisa dimasuki investor
Tiongkok.’’
Presiden Tiongkok Xi Jinping juga sepakat untuk menyinergikan
inisiatif Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 (21 Shiji Haishang Sichou zhi Lu)
dengan gagasan Poros Maritim Dunia guna merealisasikan konektivitas di
kawasan melalui pembangunan infrastruktur. Juga, kedua negara berkomitmen
meningkatkan nilai perdagangan hingga USD 150 miliar pada 2020.
Defisit
Perdagangan Menggelembung
Hubungan bilateral perniagaan Indonesia dan Tiongkok resmi
dibuka pada 1953. Dari nominal awal USD 7,4 juta, nilainya meroket ke kisaran
USD 50,85 miliar pada 2013. Kendati terus membesar, nilai tersebut dibarengi
menggelembungnya defisit perdagangan bagi Indonesia. Tak pelak, Negeri Panda
masih menjadi pihak yang diuntungkan atas timpangannya ekspor-impor yang
tidak kunjung beres sejak 2009 itu.
Berdasar data BPS 16 Maret lalu, pada periode Januari–Februari
2015, ekspor Indonesia ke Tiongkok menukik 40,62 persen jika dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Pada waktu yang sama, impor Indonesia dari Tiongkok
justru naik 5,44 persen.
Sebenarnya, tren pelemahan ekspor Indonesia ke Tiongkok sudah
terlihat per kuartal kedua 2014 yang turun dari USD 4,93 miliar pada triwulan
sebelumnya menjadi USD 4,04 miliar. Untuk dua kuartal terakhir, nilainya
hanya USD 3,60 miliar dan USD 3,87 miliar. Berbanding terbalik, sepanjang
empat kuartal tahun itu, impor Indonesia dari Tiongkok yang didominasi produk
manufaktur (pesawat mekanik, peralatan listrik, besi, baja, bahan kimia, dan
produk plastik) malah melonjak: USD 7,15 miliar (Q1), USD 8,01 miliar (Q2),
USD 7,25 miliar (Q3), dan USD 8,04 miliar (Q4).
Tentu, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh eksportasi
utama Indonesia ke Tiongkok yang berupa komoditas seperti batu bara, bijih
nikel, produk karet, sawit, dan kakao. Kita tahu, pelemahan ekonomi Tiongkok
selama dua warsa terakhir berdampak pada merosotnya harga raw materials
tersebut. Hal itu diperparah oleh pemerintah kita yang mengeluarkan kebijakan
untuk menghentikan ekspor barang mentahnya.
Tampaknya, ke belakang, defisit masih akan tetap menganga.
Sebab, seirama dengan Presiden Xi yang mengajak masyarakat internasional
membiasakan diri pada melesunya ekonomi negaranya –yang dia sebut Xin
Changtai: Kondisi Normal Baru–, PM Li Keqiang pun tampak tidak pede saat
mematok pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan berucap ’’7% zuoyou’’ (sekitar 7
persen) untuk tahun ini. Di lain pihak, Presiden Jokowi amat menggebu untuk
menggenjot proyek infrastruktur –yang akan berakibat pada pelonjakan impor
barang modal (capital goods).
Karena itu, diperlukan usaha pemerintah untuk mengadakan
diversifikasi ekspor, baik secara horizontal (menganekaragamkan jenis produk
ekspor), vertikal (memperbanyak ekspor produk hilir), dan/atau memperluas
negara tujuan ekspor. Pemerintah juga mesti melakukan spesialisasi pada
sektor yang memiliki keunggulan komparatif (export specialization) agar kelak produk yang ditawarkan memiliki
daya saing, ke mana pun destinasinya.
Butuh
Perhatian Menyeluruh
Kepala BKPM Franky Sibarani (27/3) mengakui, ’’Pemerintah tidak
mampu membiayai sendiri pembangunan sehingga masih membutuhkan pembiayaan
asing untuk pelaksanaannya.’’ Kita tahu, hampir semua negara berkembang
memang menemui permasalahan yang sama: kekurangan dana. Pembiayaan luar
negeri melalui investasi asing langsung (FDI) tidak hanya akan mengatasi
masalah tersebut, tetapi juga bisa mempertinggi efisiensi target-target pembangunan
melalui transfer teknologi modern dan penetrasi tenaga-tenaga ahli.
Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia yang
mengantongi USD 4 triliun devisa memang sudah selayaknya menjadikan Indonesia
–yang notabene primus inter pares
di Asia Tenggara– sebagai negara tujuan investasi. Apalagi Tiongkok sudah
cukup berpengalaman dalam pembangunan infrastruktur keras (hard infrastructure). Misalnya, sarana
transportasi, telekomunikasi, pelabuhan, dan jalan raya.
Sebagai informasi, secara keseluruhan, panjang jalan di Tiongkok
–meliputi jalan bebas hambatan– lebih dari 3 juta kilometer. Hampir semua
kota terhubung satu sama lain. Tiongkok juga telah mampu membuat kereta cepat
yang tidak kalah oleh TGV Prancis atau Shinkansen Jepang.
Sekarang, sedikitnya ada dua tugas utama Indonesia. Pertama,
memperbaiki infrastruktur lunak (soft
infrastucture). Antara lain, pelayanan birokrasi, iklim usaha, kepastian
hukum, dan hal-hal terkait yang vital untuk menyedot investor. Kedua,
pembangunan infrastruktur keras harus ’’hijau’’ dan mampu menyediakan
lapangan kerja yang cukup sekaligus layak bagi masyarakat kita. Berkaca dari
pengalaman proyek USD 1,8 miliar Jembatan Suramadu yang menggunakan mekanisme
preferential buyer’s credit dari
Tiongkok itu, bukan hanya peralatan, material, atau teknologi yang made in China, namun juga termasuk
buruhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar