Mendorong BBM Alternatif Nelayan Masa Depan
Andi Perdana Gumilang ;
Peneliti
pada Pascasarjana
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Maret 2015
KEBIJAKAN pemerintah menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar pada Sabtu (28/3)
sebesar Rp 500 per liter, tentu akan berdampak terhadap kehidupan ekonomi
nelayan tradisional di samping masyarakat secara keseluruhan. Sebagaimana
diberitakan berdasarkan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015, pemerintah telah
menetapkan harga baru BBM di Jawa-Madura-Bali untuk bensin premium naik dari
Rp6.900/ liter menjadi Rp7.400/liter, sedangkan di luar Jawa-MaduraBali untuk
bensin premium naik dari Rp6.800/liter menjadi Rp7.300/liter. Adapun minyak
solar di seluruh Indonesia harganya sama, naik menjadi Rp6.900/liter.
Secara umum untuk biaya BBM jenis
solar, nelayan mengambil lebih dari 60% total biaya operasional untuk sekali
melaut. Dampak dari naiknya harga BBM solar membuat para nelayan tradisional
umumnya lebih memilih tidak melaut karena biaya operasional untuk melaut
tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang didapat.
Di sisi lain, Indonesia saat ini
sedang mengalami fase krisis energi. Cadangan minyak Indonesia terbukti
sebesar 3,7 miliar barel atau sekitar 0,2% dari keseluruhan pasokan sedunia. Pada
2014, produksi bahan bakar minyak dalam negeri telah mengalami penurunan
menjadi 700.000-800.000 barel per hari atau lebih kecil jika dibandingkan
dengan tahun 1970-an, yang ketika itu Indonesia pernah menjadi negara produsen
minyak dengan volume produksi 1,7 juta barel per hari. Padahal, kebutuhan
minyak dalam negeri kita saat ini terus meningkat, diprediksi sekitar 3 juta
barel per hari. Karena itu, tanpa adanya penemuan cadangan minyak baru,
cadangan minyak lama diperkirakan akan habis 11 tahun lagi (Subroto, 2015).
Sumber energi kita pun masih
sangat tergantung pada bahan bakar fosil yang tidak bisa diperbaharui.
Konsumsi minyak masih sangat mendominasi, yaitu sebesar 42,99% dari konsumsi
energi total, diikuti gas 18,48% dan batu bara 34,47%. Adapun penggunaan
energi baru dan terbarukan, baru berkisar 4% dari total konsumsi energi
(Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, 2012).
Berbicara energi atau BBM
alternatif (terbarukan), hal itu telah menjadi topik khusus dalam Asian Development
Outlook 2013. Laporan Bank Pembangunan Asia telah mengingatkan bahwa bila
negara-negara di Asia tidak mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak
(BBM) dan mengubah pola konsumsinya, impor minyak Asia diperkirakan naik
hampir tiga kali lipat pada 2035. Dengan demikian, pemerintah perlu memiliki
kebijakan komprehensif untuk sungguh-sungguh dan konsisten mengembangkan
sumber energi alternatif, khususnya bagi kapal nelayan.
BBM
alternatif nelayan
Sebagai negara maritim, BBM
alternatif untuk kapal nelayan perlu didorong dan dikembangkan untuk
memberikan kemudahan dan nilai tambah. Anggaran untuk riset penelitian energi
terbarukan untuk nelayan perlu ditingkatkan.
Menurut hemat penulis, BBM
alternatif masa depan untuk nelayan, di antaranya adalah penggunaan energi
biofuel atau bioetanol dari rumput laut dan beberapa jenis mikroalga yang ada
di perairan tawar atau laut Indonesia sebagai pengganti bahan bakar solar.
Gagasan ini tak mustahil kita capai, mengingat potensi pengembangan bioetanol
rumput laut dan mikroalga yang cukup besar.
Potensi lahan budi daya rumput
laut sekitar 2,1 juta ha dengan produktivitas rumput laut rata-rata 25
ton/ha/panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100-125
ton/ha/tahun. Penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol
memiliki keuntungan waktu budi dayanya yang relatif singkat dan
produktivitasnya tinggi sebagai bahan baku bioetanol (Benny Dyah, 2010).
Di samping itu, data dari Inha
University Korea mengungkapkan satu hektar areal rumput laut bisa
menghasilkan 58.700 liter biodiesel per tahunnya, dengan asumsi kandungan
minyak dalam rumput laut yang dihasilkan berkisar 30%. Di sisi lain, dalam
beberapa penelitian, sudah ada 20 jenis rumput laut di Indonesia (Banten dan
Bali) yang bisa dikembangkan sebagai biofuel, misalnya pengolahan rumput laut
jenis Gelidium sp sebagai penghasil biofuel (bahan bakar nabati). Pemanfaatan
Gelidium sp untuk sumber energi dinilai potensial karena rumput laut jenis
itu tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. Jenis rumput laut lain, misalnya Eucheuma cottonii merupakan rumput
laut yang banyak tumbuh di perairan Indonesia, juga berpeluang untuk
dijadikan sebagai bahan pembuatan bioetanol.
Selain rumput laut, kandungan
senyawa hidrokarbon dalam beberapa jenis mikroalga (Fitoplankton) berpotensi diolah menjadi biofuel. Hingga saat ini,
terdapat empat spesies mikroalga Indonesia yang potensial sebagai biofuel,
antara lain Scenedesmus (22%), Nannochloropsis oculata (24%), Chlorella
(20%), dan Dunaliella salina (15%) (Kawaroe, 2010).
Beberapa keunggulan mikroalga,
yaitu tidak membutuhkan lingkungan yang luas, mampu tumbuh sepanjang tahun
tanpa mengenal musim, 10-100 kali menghasilkan biodiesel dibanding tanaman
lain untuk luas yang sama, dan siklus hidup yang lebih singkat. Satu kilogram
mikroalga menghasilkan 360 gram minyak mentah. Sekitar 60% dari minyak mentah
itu bisa diubah menjadi biofuel. Artinya, 1 kg mikroalga mampu menghasilkan
sekitar 240 gram biofuel (BPPT, 2013).
Dengan demikian, Indonesia
setidaknya perlu menargetkan mulai 2025 biofuel sudah diproduksi dari budi
daya cepat mikroalga yang tumbuh di perairan tawar atau laut, sehingga BBM
alternatif nelayan dapat dipenuhi. Di samping itu, ke depan, program
pembangunan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) hendaknya mulai
menggunakan energi biofuel atau bioetanol di setiap pelabuhan perikanan di
seluruh wilayah Indonesia. Hal ini juga untuk mengatasi kelangkaan BBM dan mengurangi
impor BBM jenis solar. Pengembangan mesin-mesin kapal nelayan agar membuat
hemat BBM juga perlu diadakan.
Akhirnya pemerintah perlu
menyiapkan kebijakan, perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi untuk
secara penuh mewujudkan BBM alternatif bagi nelayan. Mendorong penerapan BBM
alternatif bagi nelayan merupakan suatu keniscayaan dalam mengelola perikanan
laut masa depan di negeri maritim ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar