Kembalikan Kesucian Politik
Thomas Koten ;
Direktur
Social Development Center
|
MEDIA
INDONESIA, 01 April 2015
POLITIK itu hakikat dasarnya suci,
indah, agung, dan terhormat, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama.
Itulah inti dari dua karya klasik dari kedua filsuf Yunani yang menjadi magnum opus, Republiknya Plato, dan Nicomachean Ethics-nya Aristoteles.
Sebuah masyarakat yang terwujud dalam tatanan sosiallah yang berlandaskan
pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
Di situ, parlemen ibarat
Akademinya Plato, yaitu lembaga persemaian pemikiran-pemikiran cemerlang dan
pertukaran ide-ide brilian di kalangan para politikus yang mengemban misi utama
sebagai perumus kebijakan negara. Politikus adalah negarawan yang
berintegritas, arif, dan bijak dengan gagasan-gagasan yang cemerlang yang
memberi pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat. Politik bagi Plato,
sebagaimana sitir Amich Alhumami terhadap Hacker (1961) adalah jalan mencapai
apa yang disebut a perfect society;
bagi Aristoteles adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached.
Dengan demikian, harapan bagi
politikus di parlemen tidak lebih sebagai orang-orang yang memiliki peran
sangat penting sebagai legal drafter
dan policy maker; yakni sebagai
pembuat undang-undang yang dapat menjamin tegaknya keadilan sosial dan
terciptanya kesejahteraan serta perumus kebijakan strategis yang memihak
kepentingan masyarakat.
Hilangnya
kesucian politik
Sayangnya, politik Indonesia
semakin hari semakin kehilangan muruah kesucian, keindahan, kehormatan, dan
keagungan. Politikus Indonesia pun sudah tidak lagi mencitrakan
kenegarawanannya. Parpol pun sudah semakin tergerus pesonanya. Yang ada di
parpol ialah friksi, konflik, dan perpecahan dengan politikus yang banyak
terjerat kasus suap dan korupsi.
Oleh karena itu, yang terjadi
dalam politik ialah pertarungan perebutan kekuasaan dengan segala cara, akal,
kiat, bahkan tidak jarang akal busuk dan tipu daya tanpa peduli lagi etika
politik. Ujungnya, citra kekuasaan tidak lagi menjadi tanggung jawab yang
memikul cita-cita luhur bangsa dan hanya menjadi tempat untuk mempertontonkan
kemuliaan diri. Lalu, politik pun semakin dinilai sebagai sosok yang kotor
dan kekuasaan menjadi panggung yang menjijikkan.
Jika dilihat secara kasat mata,
politikus Indonesia baik di parpol maupun di parlemen, selama ini telah
mendekati deskripsi Max Weber tentang orang-orang yang menghidupi dirinya dari
politik, bukan sebaliknya orang-orang yang menghidupi politik dengan
sumbangsih tenaga, pikiran, dan kearifan. Artinya, politikus Indonesia kini
selalu menjadikan politik sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri. Politik
tidak diorientasikan untuk memperjuangkan nilai. Politikus seperti itu dapat
teridentifikasi dari tindakannya yang instrumentalistik untuk mengeksploitasi
peraturan, prosedur, dan kedudukan dalam menggapai keuntungan pribadi dan
kelompok.
Padahal, menurut Weber, politikus
yang sejati adalah politikus yang semestinya memiliki kearifan untuk menata
negara dan menciptakan kebaikan bersama (bonum
publicum). Politikus yang bermartabat dan berintegritas menganggap bahwa
politik adalah medan perjuangan yang di dalamnya harus ditransformasikan
nilai-nilai kebaikan untuk merealisasikan cita-cita bersama karena di situ
pula letak etika dan tujuan luhur politik.
Politik Indonesia dikerjakan oleh
para politikus yang kurang bermartabat dan berintegritas seperti itu, maka
kita melihat seperti apa yang terjadi saat ini, misalnya lembaga legislatif
berubah menjadi ground breading
bagi praktik suap dan korupsi. Di tangan parlemen, fit and proper test
disulap menjadi fee and property uang
dan materi. Parlemen telah beralih fungsi menjadi medan transaksi politik
untuk pemenuhan kepentingan diri dan kelompok, seperti memperjuangkan nasib
koalisi ketimbang nasib bangsa dan negara.
Semua itulah yang membuat politik
Indonesia semakin kehilangan kesucian, keindahan, keluhuran, kehormatan, dan
keagungannya. Politikus yang tidak bermartabat dan tidak berintegritas, tidak
peduli dengan terpecah belahnya partai politik, dan tidak henti-hentinya
terjadi kegaduhan politik. Mereka juga tidak mau tahu dengan nasib dan
kualitas politik Indonesia yang terus mengalami kemerosotan.
Fenomena kemerosotan politik
seperti itu telah menjadi contoh yang buruk bagi warga negara. Ingat, bahwa
warga negara menurut Aristoteles, yaitu selalu belajar tentang kebaikan
dengan cara meniru perilaku yang baik dari para politikus. Secara substansial,
nilai-nilai kebajikan sosial ialah landasan bagi terbentuknya masyarakat
utama.
Kini, masyarakat pun seperti telah
kehilangan apa yang disebut oleh kaum komunitarian sebagai civic virtue. Civic virtue menurut
Alasdair (1981) adalah akar dan sumber kebajikan masyarakat yang menjadi
faktor determinan bagi tumbuhnya individu-individu berkarakter yang mau
memadukan semua unsur kualitas berkarakter yang dimaksud, sehingga membentuk
kekuatan sinergis guna membangun tatanan sosial yang baik dan berkualitas.
Perlu
kesucian politik
Tidak ada jalan lain. Kesucian,
kehormatan, keindahan, dan keagungan politik harus segera kembali dilekatkan
pada tubuh politik Indonesia. Tubuh politik Indonesia yang suci, indah,
terhormat, dan agung itulah yang sangat didambakan oleh publik bangsa saat
ini. Lantaran publik bangsa kini sudah benar-benar muak melihat wajah politik
yang tak karuan akibat digerayangi para poli tikus yang tidak berperilaku
etis dan terhormat dalam berpolitik.
Politik yang suci, indah, dan
terhormat adalah politik yang selalu h berpijak pada kepentingan rakyat,
bangsa, dan negara, bukan pada kepentingan pribadi dan kelompok. Kesucian,
keindahan, kehormatan, dan keagungan politik terletak pada karya dan
pelayanan politik dari para politikus kepada rakyat secara paripurna. Makna
etis politik terletak pada kemaslahatan rakyat yang diperjuangkan oleh
politikus-politikus yang beretika dan bermoral.Kesucian dan keindahan politik
memancar dari tindakan politikus yang autentik dan tegas dalam memperjuangkan
nilai.
Hanya politikus-politikus yang
beretika dan bermorallah yang sanggup mengerjakan politik sesuai dengan
tujuan sucinya. Politikus-politikus yang mengerjakan politik secara etis
adalah politikus-politikus yang memiliki panggilan jiwa yang agung, mulia, dan
suci. Dalam berpolitik, mereka akan mengedepankan moralitas dan etika,
termasuk dalam meraih dan merebut kekuasaan secara santun.
Politikus-politikus yang
menjalankan politik sesuai dengan panggilan jiwa nan suci akan meletakkan
tujuan luhur dan suci dari politik di atas tujuan lainnya, serta berjuang di
atas landasan nilai-nilai yang tegas. Tujuan luhur dan suci dari politik
adalah memberikan pencerahan dan mengarahkan masyarakat ke hidup yang lebih
baik dengan penuh pengorbanan, bukan berhenti pada kalkulasi untung-rugi.
Jadi, sulit rasanya dapat
mengembalikan politik Indonesia dalam kesejatiannya yang suci, indah, luhur,
dan terhormat jika politikus-politikus di negeri ini tidak memiliki panggilan
jiwa nan suci untuk berpolitik bagi kepentingan rakyat. Karena itu,
diharapkan para politikus Indonesia segera menyadari perihal panggilan
jiwanya dalam berpolitik dengan meletakkan etika dan moralitas di atas
seluruh tindakan politiknya. Dengan demikian, politik Indonesia dapat kembali
kepada kesucian, keluhuran, dan keindahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar