Gubernur Ahok di Ujung Tanduk?
Tjipta Lesmana ;
Mantan
Anggota Komisi Konstitusi MPR
|
KORAN
SINDO, 04 April 2015
Dalam hitungan hari, panitia hak angket Dewan Perwakilan Rakyat
DKI Jakarta akan melaporkan hasil kerjanya ke sidang pleno DPRD DKI. Ada dua
pertanyaan yang menarik sehubungan dengan selesainya kerja panitia hak
angket.
Pertama, bagaimana kirakira sikap masing-masing fraksi di DPRD
sehubungan dengan hasil kerja panitia hak angket? Kedua, bagaimana kira-kira
sikap pleno DPRD DKI? Terhadap kedua pertanyaan ini, prediksi saya sebagai
berikut: Pertama, melalui voting, panitia hak angket pasti akan sepakat mengeluarkan
sikap bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama telah melanggar undang-undang,
yaitu menyerahkan RAPBD 2015 secara sepihak, tanpa persetujuan sama sekali
dari Dewan.
Kecuali itu, Gubernur disalahkan karena melakukan pelanggaran
etika, khususnya dalam berkomunikasi. Yang menentang angket sejauh ini adalah
Fraksi Nasdem, PKB, Hanura, dan PAN. Jumlah kursi dari keempat fraksi
tersebut hanya 23. Fraksi-fraksi besar adalah PDIP 28 kursi, Gerindra 15, PKS
11, dan Golkar 9. Mereka ujung tombak angket. Yang unik dan membuat saya
tidak mengerti, Fraksi PDIP sejak awal mendukung penuh angket terhadap
Gubernur.
Hal itu menunjukkan bahwa Basuki alias Ahok sudah kehilangan
dukungan dari Ibu Megawati Soekarnoputri. Jadi, kalau main hitung-hitungan di
atas kertas, kekuatan anti-angket dengan mudah digilas oleh kekuatan
pendukung angket! Kedua, ketika hasil panitia hak angket dibawa ke Pleno
Dewan, hampir dipastikan, mayoritas wakil-wakil rakyat DKI itu, dengan penuh
emosi, berteriak meminta Dewan untuk meningkatkan status hak angket ke ”hak
menyatakan pendapat”!
Seperti kita ketahui bersama, Pasal 20A ayat (2) UUD 1945
menyatakan anggota DPR memiliki tiga hak pokok, yaitu hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat. Ketika sudah sampai pada hak pokok yang
ketiga, hak menyatakan pendapat, presiden atau kepala daerah sesungguhnya
sudah diseret ke ”pengadilan” yang disebut impeachment, atau pemakzulan.
Hanya, prosedur pemakzulan atas presiden berbeda dengan
pemakzulan atas kepala daerah. Peradilan terhadap presiden ditempuh melalui
putusan DPR RI untuk mengadili presiden karena dinilai telah melakukan
pelanggaran terhadap sumpahnya, atau menyimpang dari ketentuan UUD 1945 atau
melakukan tindak kejahatan. DPR kemudian menulis surat ke Mahkamah Konstitusi
untuk dimintakan pendapatnya.
Jika MK memiliki sikap dan pendapat yang sama, DPR meminta MPR
untuk menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan presiden. Namun, jika MK
berbeda pendapat dengan DPR mengenai tuduhan penyimpangan terhadap konstitusi
maka proses pemakzulan pun berhenti. Di Sidang Istimewa, MPR tinggal ketuk
palu, karena seluruh anggota DPR merangkap anggota MPR.
Jumlah anggota DPD di MPR tidak terlalu signifikan, Cuma 4x33
atau 132 anggota. Mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah, jika DPRD
menerima pendapat mayoritas anggota Dewan untuk memberhentikan gubernur/
bupati maka DPRD menulis surat kepada Mahkamah Agung untuk dimintakan
pendapat hukumnya (legal opinion).
Jika MA sependapat dengan DPRD, yaitu terjadi penyimpangan
serius yang dilakukan oleh gubernur/ bupati, maka MA menulis surat kepada
presiden, meminta presiden memberhentikan kepala daerah tersebut. Proses
pemakzulan berhenti manakala MA berseberangan pendapatnya dengan pendapat
DPRD. Permasalahannya: apakah presiden bisa memveto pendapat hukum MA?
Kalangan hukumpastiterbelahpendapatnya. Ada yang berpendapat
presiden mau tidak mau harus mengikuti putusan MA. Namun, ada juga yang
berpendapat presiden tetap memiliki hak untuk menolak, di samping menerima
putusan MA. Presiden Indonesia, berdasarkan ketentuan UUD 1945, memang
memiliki kewenangan legislatif dan yudikatif, di samping pemegang kewenangan
tertinggi di bidang eksekutif.
Dengan demikian, nasib Ahok takkan segera ”tamat” kalau pun
mayoritas anggota DPRD DKI serempak berteriak: ”Pecat Gubernur! Pecat
Gubernur!”. Masih ada dua ”algojo” yang sangat berkuasa yang harus dilewati
oleh Dewan, yaitu Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia. Di MA
sendiri, proses peradilan terhadap gubernur Jakarta dipastikan akan memakan
waktu cukup lama.
Kami sangat percaya bahwa para hakim agung memiliki integritas
tinggi, di samping pengetahuan hukum yang dalam. Mereka takkan terbawa ”arus
hura-hura” di DPRD Jakarta, juga takkan terseret dalam konflik sektarian
antara Gubernur Ahok dan DPRD Jakarta. Kecuali itu, para hakim agung yang
terhormat tentu akan mempelajari secara saksama apakah pelanggaran terhadap
etika komunikasi yang dilakukan oleh Gubernur Ahok, kalau memang demikian,
dapat dijadikan ”obyek perkara” untuk menjatuhkan sang Gubernur.
Kalau toh proses impeachment
lolos di Mahkamah Agung, bagaimana dengan Presiden Jokowi, benteng terakhir
dari seluruh proses impeachment? Di
atas kertas, Presiden akan mati-matian mempertahankan Ahok. Semua orang sudah
mengetahui bagaimana dekatnya hubungan duet Jokowi-Ahok, sejak mereka
berkampanye bersama dalam pemilihan gubernur Jakarta tiga tahun yang lalu.
Namun, jika gonjang-ganjing politik, terutama di DPR RI, masih
terus panas dan menggoyahkan kedudukan Presiden Jokowi, ceritanya akan
berlainan. Jadi, bagaimana Presiden Jokowi bersikap manakala nasib Ahok
akhirnya ”jatuh ke tangannya”, akan sangat ditentukan bagaimana posisi Jokowi
dalam konstelasi politik nasional ketika itu.
Kebencian
Anggota Dewan
Tidak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa angket terhadap
gubernur Jakarta lemah dan tidak rasional, hanya bermotifkan politis. Bahkan,
ada pula tudingan bahwa angket itu semata-mata untuk menutupi ”muka buruk”
wakil rakyat atau sebagai senjata untuk menolong sejumlah oknum anggota Dewan
yang dicurigai terlibat dalam tindak korupsi terkait dengan isi RUU APBD
2015.
Tudingan-tudingan semacam itu bisa benar, bisa juga subjektif.
Tapi menurut keyakinan saya, sentimen mendukung Angket di Dewan merupakan ekor
dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan mayoritas anggota Dewan terhadap
perilaku (politik) Pak Gubernur. Di mana-mana, juga di depan para anggota
panitia hak angket DPRD Jakarta, saya mengemukakan bahwa Ahok sesungguhnya
pemimpin yang bagus, tegas, berani, pekerja keras, dan cepat mengambil
keputusan.
Ia juga berani melawan arus, terutama ”arus jahat” yang memang
sudah sangat fenomenal di Republik Indonesia selama ini. Hanya, komunikasi
politik Ahok buruk, sangat buruk. Yang paling menyakitkan para anggota Dewan,
ketika Ahok menyatakan kesiapannya membangun 106 sel tahanan untuk
(menjebloskan) anggota Dewan!
Seakan-akan ia menuding seluruh wakil rakyat itu maling dan
korup! Dilanda oleh amukan marah, maka praktik politik pun menjadi irasional.
Sebagian besar anggota Dewan, lalu, sepakat, untuk menjatuhkan Ahok dari
kursinya sebagai gubernur DKI. Rasional atau irasional, kalau sebagian besar
yang empunya kuasa di Kebon Sirih sepakat untuk memakzulkan Gubernur, Anda
mau bilang apa.
Tapi, sekali lagi, setelah angket lolos di DPRD Jakarta, proses
menjatuhkan Ahok masih panjang dan alot. Para wakil
rakyat masih harus bersabar menunggu keputusan Mahkamah Agung dan Presiden Indonesia, kalau lolos juga dari Mahkamah Agung. Sementara itu, kalau saja proses hukum di Bareskrim Polri
terhadap para oknum pejabat terkait dengan tudingan korupsi di RAPBD DKI
bergulir cepat, nasib angket selepas gedung DPRD DKI akan berubah pula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar